Resensi Buku Islam dan Sekularisme Karya Syed Naquib Alattas: Membaca Ulang dan Mendekonstruksi Sekularisme
ORBITINDONESIA.COM- Buku monumental karya Syed Muhammad Naquib al-Attas berjudul Islam and Secularism pertama kali diterbitkan tahun 1978 oleh Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM) dan diterbitkan ulang oleh International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC). Buku diterbitkan di Indonesia oleh penerbit Pustaka di Bandung pada tahun 1981.
Karya ini menandai tonggak penting dalam sejarah intelektualisme Islam modern, khususnya dalam upaya melawan gelombang sekularisasi yang melanda dunia Muslim pascakolonial.
Buku ini bukan hanya karya akademik, tetapi juga seruan moral dan spiritual dari seorang pemikir yang menganggap krisis dunia Islam bukan krisis politik atau ekonomi semata, melainkan krisis ilmu (the crisis of knowledge).
Bagi al-Attas, akar kejatuhan umat Islam terletak pada bagaimana ilmu dan konsep-konsep dasar kehidupan telah “tersekularisasi” — dipisahkan dari sumber wahyu, dipengaruhi oleh pandangan dunia Barat, dan kehilangan orientasi terhadap kebenaran Ilahiah.
Dengan bahasa yang padat dan bernuansa filosofis, Islam and Secularism mengajak pembaca untuk kembali memahami hakikat Islam sebagai worldview (pandangan dunia) yang utuh — yang tidak dapat dicampur dengan sekularisme, karena keduanya berdiri di atas epistemologi dan ontologi yang berbeda secara diametral.
Isi dan Struktur Buku: Kritik Terhadap Sekularisme dan Upaya Islamisasi Ilmu
Naquib al-Attas memulai bukunya dengan menjelaskan apa yang ia maksud dengan istilah “Islam”, “sekular”, dan “sekularisme”. Ia menegaskan bahwa Islam bukan sekadar agama ritual, tetapi sistem pengetahuan dan tatanan hidup total yang menyatukan dimensi spiritual, moral, sosial, dan intelektual.
Sebaliknya, sekularisme adalah pandangan dunia Barat yang menyingkirkan Tuhan dari urusan dunia, menjadikan manusia sebagai pusat makna, dan menjadikan rasionalitas sebagai satu-satunya ukuran kebenaran.
Bagian pertama buku ini menelusuri asal-usul sejarah dan intelektual sekularisme di Barat — mulai dari Zaman Yunani, Humanisme Renaisans, hingga Pencerahan. Al-Attas menjelaskan bahwa proses sekularisasi di Eropa merupakan hasil pengalaman sejarah Kristen Barat yang penuh konflik antara Gereja dan ilmu pengetahuan.
Namun, ia menolak keras anggapan bahwa dunia Islam perlu mengikuti jalan sejarah yang sama. Menurutnya, Islam tidak pernah mengalami pertentangan antara agama dan ilmu, karena wahyu dan akal selalu bersinergi dalam peradaban Islam klasik.
Bagian kedua buku ini berfokus pada bahaya sekularisasi dalam dunia Islam modern. Al-Attas menyebut bahwa banyak kaum intelektual Muslim telah “terjajah secara intelektual” (intellectual captivity), mengadopsi istilah dan konsep Barat tanpa menyadari bahwa konsep itu membawa nilai dan worldview yang bertentangan dengan Islam.
Misalnya, konsep “freedom”, “progress”, “rationality”, atau bahkan “education” dalam paradigma Barat memiliki muatan sekular yang menolak keterikatan kepada wahyu.
Bagian ketiga buku ini menawarkan solusi, yaitu “Islamisasi ilmu pengetahuan” (Islamization of Knowledge). Bagi al-Attas, Islamisasi bukan berarti menolak sains modern, tetapi menata kembali struktur pengetahuan agar berpijak pada prinsip-prinsip Tauhid.
Ilmu dalam Islam harus mengarahkan manusia kepada pengenalan terhadap Tuhan (ma‘rifah), bukan sekadar untuk dominasi material atas alam. Ia menulis dengan tegas bahwa tujuan pendidikan Islam adalah melahirkan manusia yang baik (al-insān al-ṣāliḥ), bukan hanya warga negara yang baik.
Analisis Kritis: Antara Kritik Modernitas dan Kejernihan Metafisis
Kekuatan utama buku Islam and Secularism terletak pada kedalaman analisis filosofisnya. Al-Attas tidak sekadar menolak sekularisme secara emosional, tetapi membedah akar epistemologisnya: bagaimana sekularisme berawal dari hilangnya konsep Tuhan sebagai pusat makna, dan bagaimana hal itu merembes ke dalam seluruh cabang ilmu, politik, ekonomi, bahkan bahasa.
Ia dengan elegan memperlihatkan bahwa bahasa sendiri dapat menjadi alat penjajahan epistemik. Istilah-istilah Barat yang diterjemahkan begitu saja ke dalam konteks Islam sering membawa makna yang menyesatkan. Karena itu, salah satu agenda penting al-Attas adalah “menyucikan bahasa” — mengembalikan istilah-istilah seperti ‘ilm (ilmu), ‘adl (keadilan), adab (etika dan tatanan), dan haqq (kebenaran) ke dalam konteks Islam yang sejati.
Namun, bagi sebagian pembaca modern, gaya tulisannya bisa terasa berat dan padat, penuh istilah Arab, Yunani, dan Latin, serta menuntut pemahaman filsafat mendalam.
Kritik lain yang kadang diajukan adalah bahwa gagasannya terlalu normatif dan idealis, kurang memberikan panduan praktis bagi pembangunan ilmu di universitas Muslim kontemporer. Meski begitu, bagi kalangan cendekiawan Muslim, karya ini justru menjadi fondasi konseptual yang kokoh untuk membangun kerangka ilmu Islam yang mandiri.
Relevansi dan Signifikansi: Peta Jalan Intelektual Dunia Islam
Lebih dari empat dekade setelah diterbitkan, Islam and Secularism tetap relevan, bahkan semakin penting di era globalisasi digital. Dunia Muslim kini berhadapan dengan bentuk baru sekularisasi — bukan lagi melalui kolonialisme fisik, tetapi melalui kolonialisme intelektual dan kultural.
Ketika pengetahuan, teknologi, dan nilai-nilai Barat mendominasi seluruh aspek kehidupan, seruan al-Attas untuk menegakkan worldview Islam menjadi semakin mendesak.
Di Malaysia dan Indonesia, gagasan-gagasannya melahirkan arus besar pemikiran baru dalam dunia akademik dan pendidikan Islam. Konsep “Islamisasi ilmu pengetahuan” yang ia gagas menginspirasi banyak institusi, seperti International Islamic University Malaysia (IIUM), ISTAC, dan juga berbagai program studi Islam di Indonesia. Tokoh-tokoh seperti Ismail Raji al-Faruqi, Ziauddin Sardar, dan Osman Bakar turut memperluas wacana ini di tingkat global.
Bagi al-Attas, sekularisme bukan sekadar ide, tetapi ancaman terhadap jiwa manusia modern. Ia menulis bahwa sekularisasi menimbulkan “kekosongan spiritual dan kehilangan adab” — dua gejala utama peradaban yang kehilangan arah.
Oleh sebab itu, tugas umat Islam bukan hanya memodernisasi teknologi, tetapi memulihkan makna ilmu agar kembali berpusat pada Tuhan.
Penutup: Seruan untuk Menyucikan Ilmu dan Jiwa
Islam and Secularism adalah salah satu karya paling penting dalam khazanah intelektual Islam abad ke-20. Ia bukan buku dogmatis, melainkan refleksi metafisis tentang makna pengetahuan, manusia, dan Tuhan dalam dunia modern.
Al-Attas berbicara dengan otoritas seorang filosof, mistikus, dan sejarawan sekaligus — menggabungkan rasionalitas dan spiritualitas dalam satu garis perjuangan intelektual.
Membaca buku ini bukan hanya latihan akademik, melainkan latihan rohani: menguji kembali keyakinan kita terhadap asal-usul dan tujuan ilmu. Ia menantang kita untuk bertanya — apakah ilmu yang kita kejar hari ini mengantarkan kita kepada kebenaran, atau justru menjauhkan kita dari-Nya?
Dengan gaya bahasa yang elegan, tajam, dan visioner, Syed Muhammad Naquib al-Attas menghadirkan buku yang bukan sekadar kritik terhadap Barat, tetapi juga cermin bagi dunia Islam untuk mengenali dirinya kembali. Sebuah karya klasik yang mengingatkan: ilmu yang terpisah dari Tuhan adalah ilmu yang kehilangan jiwa.***