Resensi Buku The Unaccountability Machine Karya Dan Davies: Mesin, Kesalahan, dan Hilangnya Wajah Manusia
ORBITINDONESIA.COM- The Unaccountability Machine: Why Big Systems Make Terrible Decisions—and How the World Lost Its Mind (2024) karya Dan Davies adalah sebuah peringatan tajam tentang paradoks modernitas: pada saat kita menciptakan sistem yang semakin canggih untuk membuat keputusan lebih “objektif” dan efisien, kita juga melahirkan mekanisme yang membuat kegagalan menjadi tidak dapat dituntut—kesalahan yang tak punya wajah untuk dimintai pertanggungjawaban.
Davies, yang dikenal sebagai analis risiko dan penulis kritis soal birokrasi serta pasar keuangan, menulis buku ini sebagai upaya menerjemahkan sejumlah kegagalan kolektif—krisis keuangan, kebuntuan kebijakan publik, ledakan disinformasi—ke dalam satu istilah yang gampang diingat: mesin ketidakbertanggungjawaban.
Di era algoritma dan dashboard metrik, argumen Davies terasa mendesak. Ia tidak sekadar mengkritik teknologi; ia menelisik bagaimana struktur organisasi, insentif, bahasa manajerial, dan budaya profesional ikut membentuk suatu logika keputusan yang melepas tanggung jawab moral individu demi kepatuhan pada prosedur.
Dengan gaya satir namun akademis, Davies mengajak pembaca melihat bahwa masalah zaman bukan hanya soal “kurangnya data”, melainkan soal kehilangan etika pengambilan keputusan.
Isi dan Struktur Buku: Anatomy of an Unaccountable System
Buku ini tersusun sebagai arsip kegagalan kolektif dan refleksi teoritis. Davies membuka dengan narasi-narasi konkret: bank yang menyebabkan krisis finansial besar tanpa eksekutif yang benar-benar dimintai tolong.
Rumah sakit yang mematuhi protokol sampai merusak perawatan pasien, platform media sosial yang mengoptimalkan perhatian sekaligus mereduksi kebenaran menjadi komoditas—setiap contoh berfungsi sebagai bagian dari anatomi mesin yang sama.
Selanjutnya ia menelusuri akar historis: bagaimana birokrasi modern, sejak Weber, dirancang untuk mengatur kompleksitas dengan aturan dan spesialisasi sehingga tanggung jawab individu terfragmentasi; bagaimana manajemen modern lalu menambah lapisan metrik dan KPI sehingga keputusan dipindahkan dari kebijaksanaan profesional kepada angka; dan akhirnya bagaimana algoritma dan platform data mengaburkan lagi siapa yang membuat pilihan.
Setiap bab menggabungkan studi kasus empiris dengan analisis teoretis—dari mekanisme pasar modal, sistem kesehatan, hingga tata kelola publik dan rekayasa perangkat lunak—sehingga pembaca dapat mengikuti jejak yang sama: kompleksitas → fragmentasi tanggung jawab → pembenaran melalui prosedur → ketidakbertanggungjawaban praktis.
Dalam bab penutup, Davies berpindah dari diagnosis ke panggilan moral: jika mesin membuat keputusan buruk tidak dapat dituntut, maka manusia harus merebut kembali ranah etis itu—bukan dengan nostalgia terhadap keputusan otoriter, melainkan dengan membangun kembali praktek akuntabilitas yang mengutamakan kebijaksanaan, transparansi, dan tanggung jawab personal.
Makna dan Analisis: Antara Teknik dan Etika
Inti argumen Davies sederhana namun dalam: sistem besar cenderung memproduksi keputusan yang salah bukan karena mereka bodoh, tetapi karena struktur mereka menghapus subjek moral dari proses.
Ketika keputusan dikodekan menjadi protocol, dashboard, atau rekomendasi model, maka siapa yang “berdosa” ketika terjadi malfungsi? Davies menunjukkan bahwa jawaban lukanya adalah: tidak ada—atau semua sekaligus sehingga tidak ada yang bisa dimintai pertanggungjawaban bermakna.
Analisisnya menyingkap beberapa mekanisme penting. Pertama, obsesinya pada metrik membuat organisasi mengejar apa yang terukur bukan apa yang baik;
Kedua, spesialisasi ekstrem memecah rantai kausal sehingga tidak ada agen tunggal yang melihat keseluruhan.
Ketiga, pasca-otonomi teknologi — algoritma dan model yang “merekomendasikan” — memberi ruang bagi manusia untuk melepaskan tanggung jawab moral dengan alasan “itu keputusan sistem/algoritma”.
Davies menamakan fenomena terakhir ini sebagai algorithmic abdication — pengunduran diri moral atas nama efisiensi.
Namun buku ini tidak sekadar tuntutan moral romantis. Davies juga menunjukkan realitas tekanan praktis: pejabat harus mematuhi aturan hukum dan auditor, manajer harus menunjukkan kepatuhan pada KPI agar kariernya aman, perusahaan publik harus menjaga nilai saham.
Dalam bahasa Davies, sistem memaksa agen individual berperilaku “bertanggung jawab” secara formal sambil merusak akuntabilitas substantif. Kritiknya menyentuh ke jantung dilema kontemporer: reformasi institusional tanpa rekonstruksi etika tidak akan menyelesaikan masalah.
Relevansi bagi Dunia Modern: Politik, Ekonomi, dan Teknologi
Membaca The Unaccountability Machine hari ini berarti membaca peta kelemahan masyarakat terorganisir modern. Dari krisis iklim yang tertunda responsnya karena pembagian tugas antarnegara dan lembaga, hingga kegagalan sistem kesehatan yang mengikuti protokol tanpa beralih pada kebijaksanaan kasus per kasus, semua adalah wajah berlainan dari satu mesin yang sama.
Davies menegaskan bahwa teknologi bukan determinan tunggal; ia bekerja bersama budaya profesional dan struktur institusional untuk menghasilkan hasil yang kadang tragis.
Buku ini sangat relevan untuk pembuat kebijakan, pengembang teknologi, pimpinan korporasi, dan warga yang khawatir tentang demokrasi. Untuk negara-negara Global South, termasuk Indonesia, pelajaran Davies penting: meniru dashboard dan algoritma tanpa membangun budaya akuntabilitas akan memindahkan masalah lama ke dalam format teknis baru.
Bahkan sistem yang dirancang untuk meminimalkan korupsi bisa diperalat menjadi mesin yang menyembunyikan kesalahan. Oleh karena itu, reformasi harus simultan: perbaikan prosedur, pendidikan etika untuk para pengambil keputusan, dan mekanisme transparansi publik yang nyata.
Davies juga mengangkat implikasi psikologis: ketika manusia terbiasa melemparkan keputusan pada mesin, kapasitas moral kolektif — kemampuan untuk merasa bersalah, mengakui kesalahan, dan belajar dari kegagalan — menipis. Akibatnya bukan hanya efisiensi yang merosot, melainkan kerusakan pada kepercayaan sosial, yang pada akhirnya membuat sistem lebih rapuh.
Penutup: Mengembalikan Wajah pada Mesin
The Unaccountability Machine bukan sekadar polemik antiteknologi; ia seruan etis yang praktis. Dan Davies mengingatkan bahwa solusi bukan meniadakan sistem besar—itu mustahil—melainkan mengubah cara kita mengaitkan tanggung jawab dalam sistem itu.
Ia menyerukan pembelajaran ulang tentang apa arti «bertanggung jawab»: bukan semata mematuhi prosedur, melainkan berani menempatkan nama dan konsekuensi pada keputusan yang diambil.
Di akhir buku, pembaca ditinggalkan dengan pertanyaan yang sederhana namun menuntut: maukah kita hidup dalam dunia di mana kegagalan besar tidak memiliki wajah untuk dimintai pertanggungjawaban?
Atau maukah kita merekonstruksi institusi dan budaya kita sehingga mesin—sebaik apapun kecanggihannya—kembali memiliki manusia yang bertanggung jawab di belakangnya?
Bagi siapa pun yang peduli pada masa depan pemerintahan, bisnis, dan teknologi, karya Davies wajib dibaca: ia memadukan empirisisme, kritik institusional, dan tuntutan moral menjadi satu narasi yang kuat.
The Unaccountability Machine mengingatkan satu kebenaran lama dalam kacamata baru—bahwa sistem tanpa akuntabilitas akhirnya adalah sistem yang meniadakan kemanusiaan.***