Abdul Aziz: Urgensi Fikih Lingkungan
Oleh Dr. Abdul Aziz, M.Ag., Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta
ORBITINDONESIA.COM - Banjir bandang dan longsor yang berulang kali melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat bukan lagi sekadar kabar duka musiman. Ia telah menjadi semacam “ritual tahunan” yang selalu menelan korban jiwa, menghancurkan rumah warga, memutus akses ekonomi, dan meninggalkan trauma sosial yang panjang.
Setiap kali bencana datang, narasi yang muncul hampir selalu sama: hujan ekstrem, anomali iklim, atau faktor alam semata. Padahal, di balik itu semua, ada persoalan yang jauh lebih mendasar—kerusakan lingkungan yang sistematis dan kegagalan etika manusia dalam memperlakukan alam.
Di Aceh, pembukaan hutan di kawasan hulu sungai terus berlangsung atas nama pembangunan dan investasi. Di Sumtera Utara, alih fungsi hutan menjadi perkebunan skala besar, tambang, dan konsesi industri telah merusak daerah tangkapan air. Sementara di Sumatra Barat, kawasan perbukitan dan lereng curam yang semestinya menjadi benteng ekologis justru dipreteli oleh aktivitas tambang dan proyek infrastruktur yang minim kehati-hatian.
Ketika hujan turun deras, air tidak lagi diserap tanah, melainkan meluncur deras membawa lumpur, batu, dan kematian. Ironisnya, wilayah-wilayah ini dikenal sebagai daerah dengan identitas keislaman yang kuat. Aceh dengan status keistimewaannya, Sumatera Barat dengan falsafah adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah, serta Sumatera Utara dengan tradisi keagamaan yang hidup di tengah masyarakatnya.
Namun kesalehan itu sering berhenti pada ritual, belum menjelma menjadi kesadaran ekologis. Di sinilah kita perlu berbicara tentang satu hal yang selama ini terpinggirkan: fikih lingkungan.
Fikih lingkungan bukan gagasan asing dalam Islam. Al-Qur’an secara tegas menyebut manusia sebagai khalifah fil ardl — pemelihara bumi, bukan penguasa sewenang-wenang. Larangan berbuat fasad (kerusakan) di muka bumi diulang berkali-kali dalam kitab suci itu.
Nabi Muhammad SAW mengajarkan etika lingkungan yang konkret: melarang menebang pohon sembarangan, mengecam pencemaran air, bahkan menjanjikan pahala bagi siapa pun yang menanam pohon meski kiamat di ambang tiba. Namun ajaran-ajaran ini jarang diterjemahkan menjadi kerangka hukum dan etika sosial yang mengikat.
Selama ini, fikih lebih banyak dipersempit pada urusan ibadah personal dan moral individual. Padahal, kerusakan lingkungan adalah dosa kolektif, dan karena itu memerlukan respon fikih yang juga kolektif.
Fikih lingkungan seharusnya berani menyatakan bahwa perusakan hutan, pembiaran tambang ilegal, atau kebijakan izin yang merusak ekosistem adalah perbuatan haram secara moral dan sosial. Tidak cukup hanya mengatakan “melanggar aturan negara”; ia harus dipahami sebagai pelanggaran terhadap amanah Tuhan.
Banjir dan longsor di Aceh, Sumut, dan Sumbar seharusnya dibaca sebagai ayat kauniyah — tanda alam yang menegur manusia. Tragedi itu adalah akibat logis dari keserakahan yang dilegalkan, dari negara yang absen atau justru menjadi fasilitator ekstraksi sumber daya.
Dalam konteks inilah fikih lingkungan harus eksis dan tidak boleh jinak. Ia harus kritis terhadap relasi kuasa, berani menyentuh kepentingan modal, dan tidak berhenti pada imbauan moral yang normatif.
Dalam konteks inilah, peran ulama, ormas Islam, dan institusi keagamaan menjadi sangat penting. Mimbar khutbah tidak cukup hanya dipenuhi nasihat tentang kesabaran menghadapi musibah, tanpa keberanian menyebut sebab-sebab strukturalnya.
Pesantren, dayah, dan surau semestinya menjadi pusat pendidikan ekologis—mengajarkan bahwa menjaga hutan, sungai, dan tanah adalah bagian dari iman. Fatwa-fatwa keagamaan perlu diperluas, tidak hanya soal halal-haram konsumsi, tetapi juga halal-haram praktik ekonomi yang merusak alam.
Pada akhirnya, fikih lingkungan adalah upaya mengembalikan agama ke fungsi profetiknya: membela kehidupan. Ia bukan sekadar wacana akademik, melainkan kebutuhan mendesak di tengah krisis ekologis yang kian parah. Jika banjir dan longsor terus kita terima sebagai takdir tanpa introspeksi, maka sesungguhnya kita sedang menormalisasi kejahatan ekologis.
Bencana di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat sedang memberi pesan keras kepada kita semua. Alam telah berbicara dengan caranya sendiri.
Pertanyaannya: apakah kita masih ingin menutup telinga, atau mulai merumuskan ulang cara beriman — dengan fikih yang berpihak pada bumi dan masa depan manusia? ***