Supriyanto Martosuwito: Maaf, Presiden Bukan Manajer Proyek

Oleh Supriyanto Martosuwito

ORBITINDONESIA.COM - Presiden bukan kepala daerah. Ia juga bukan direktur utama BUMN. Ia adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, yang pada dirinya melekat kewenangan tertinggi untuk menentukan arah bangsa.

Seorang presiden berpikir dalam horizon 20–30 tahun ke depan, bukan pada siklus tahunan anggaran. Karena itu, ia tidak bisa diperlakukan seperti pejabat administratif yang harus menjelaskan setiap butir angka dari setiap proyek yang berjalan.

Ini jawaban sederhana atas pertanyaan nyinyir, "Bagaimana cara membayar utang Whoosh?" - "Dari mana cicilan tahunan Rp 1,2 triliun didapat?" - "Uang siapa yang dipakai untuk membayar utang proyek itu?"

Dalam sistem presidensial, mandat rakyat memberi presiden ruang gerak yang luas. Ia memiliki tanggung jawab besar terhadap bangsa, tetapi pertanggungjawabannya bersifat konstitusional, bukan emosional. Selama keputusan dan kebijakannya berada dalam koridor undang-undang dan memperoleh persetujuan DPR, maka di situlah letak legitimasi tertinggi yang sah.

Kontrol masyarakat memang penting, tetapi tidak berarti setiap proyek dan setiap kebijakan harus dirinci - seolah negara sedang menggelar audit publik terbuka setiap hari.

Pernyataan Presiden Prabowo Subianto mengenai pembayaran utang proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (Whoosh) adalah contoh konkret bagaimana kepala negara mengambil posisi kepemimpinan, bukan sekadar posisi penjelasan teknis.

“Kita mampu, kita kuat, duitnya ada,” katanya tegas. Kalimat itu sederhana, namun sarat makna. Ia bukan retorika kosong, melainkan pernyataan keyakinan nasional yang ingin menegaskan bahwa negara ini masih memiliki daya tahan fiskal dan kemampuan mengelola utangnya dengan tanggung jawab.

Bahwa sang presiden tidak menjelaskan secara rinci sumber dana—apakah berasal dari APBN, Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara, atau mekanisme "off-balance-sheet" lainnya — bukanlah kelalaian, tetapi pilihan strategis.

Tidak semua keputusan fiskal perlu dibuka kepada publik, terutama yang menyangkut mekanisme keuangan lintas lembaga atau kerja sama bilateral.

Keterbukaan memang prinsip demokrasi, tetapi dalam urusan fiskal dan geopolitik, kehati-hatian juga bagian dari tanggung jawab kenegaraan.

Negara bukan ruang seminar ekonomi; presiden bukan dosen yang harus memaparkan tiap tabel dan laporan kas di depan umum.

Yang kerap dilupakan ialah bahwa Prabowo mewarisi beban politik dan fiskal dari pemerintahan sebelumnya. Proyek-proyek besar yang kini jatuh tempo bukan lahir di masa kepemimpinannya, namun menjadi tanggung jawab moral dan politik yang harus diselesaikan tanpa menimbulkan gejolak baru.

Dalam konteks itu, pernyataan Prabowo justru memperlihatkan semangat kontinuitas negara—bahwa kepemimpinan nasional tidak boleh berhenti pada masa lalu, tapi harus bergerak ke depan.

China Development Bank, sebagai kreditor proyek kereta cepat, tentu memiliki posisi strategis dalam relasi ekonomi Indonesia – Tiongkok. Namun, menempatkan setiap transaksi dengan kecurigaan berlebihan hanya akan memperlemah posisi diplomatik Indonesia sendiri.

Presiden tidak sedang berurusan dengan satu kontrak bisnis, tetapi dengan sistem hubungan internasional yang melibatkan politik, perdagangan, dan keamanan kawasan.

Dalam ranah seperti itu, keputusan fiskal tidak bisa dipisahkan dari kalkulasi geopolitik.

Yang dibutuhkan saat ini bukan presiden yang menjelaskan setiap angka, melainkan pemimpin yang berani mengambil keputusan ketika banyak pihak ragu.

DALAM politik, kejelasan arah lebih penting daripada kelengkapan data. Rakyat butuh keyakinan bahwa negara ini dikelola oleh tangan yang kuat dan rasional, bukan oleh kerumunan yang setiap hari menuntut klarifikasi tanpa memahami konteks kebijakan.

Memang benar bahwa transparansi publik harus dijaga. Namun, transparansi tidak berarti membuka seluruh dapur negara kepada siapa saja.

Dalam pengelolaan fiskal, ada hal-hal yang sifatnya strategis dan hanya bisa dijelaskan pada waktunya. Otoritas presiden justru diuji dalam kemampuan menjaga keseimbangan antara keterbukaan dan stabilitas.

Terlalu terbuka, pasar bisa panik; terlalu tertutup, kepercayaan bisa hilang. Di antara dua ekstrem itu, presiden harus berdiri tegak sebagai penjaga rasionalitas negara.

Kita tidak bisa menilai kekuatan bangsa hanya dari angka-angka fiskal semata. Keyakinan nasional juga bagian dari aset ekonomi.

Pernyataan “kita mampu” adalah upaya membangun psikologi kolektif agar publik tidak terjebak pada ketakutan fiskal. Dalam banyak hal, kepercayaan diri negara berawal dari keyakinan pemimpinnya sendiri.

Presiden tidak perlu menjawab semua suara yang berbeda. Ia hanya perlu memastikan bahwa arah kebijakan tetap berpijak pada kepentingan nasional jangka panjang.

Karena pada akhirnya, seorang kepala negara tidak diukur dari seberapa sering ia menjelaskan kebijakan, tetapi seberapa kuat ia memegang kompas masa depan bangsanya. ***