Presiden Trump Bilang Ia Akan Tinggal di New York City di Bawah Mamdani, Setelah Pertemuan Tatap Muka
ORBITINDONESIA.COM - Presiden Donald Trump dan Wali Kota terpilih New York City, Zohran Mamdani, bertemu pada hari Jumat, 21 November 2025 di Gedung Putih dan lebih berfokus pada tujuan bersama mereka daripada perbedaan yang mudah meledak.
Presiden sebelumnya mengatakan Mamdani adalah "100% Komunis Gila" dan "benar-benar gila." Mamdani menyebut pemerintahan Trump "otoriter" dan menggambarkan dirinya sebagai "mimpi terburuk Donald Trump."
Pertemuan pertama Trump dengan wali kota terpilih tersebut bisa saja menjadi ajang perdebatan sengit, tetapi presiden penuh pujian — dan janji kerja sama — untuk Mamdani. Mereka membahas keterjangkauan perumahan dan biaya bahan makanan serta utilitas, karena Mamdani berhasil memanfaatkan frustrasi atas inflasi untuk terpilih, seperti yang dilakukan presiden pada pemilihan 2024.
"Saya pikir dia akan mengejutkan beberapa orang konservatif," kata Trump.
Ketika ditanya apakah ia akan merasa nyaman tinggal di New York City di bawah wali kota yang baru, presiden berkata: "Tentu saja saya akan merasa nyaman, terutama setelah pertemuan itu."
Trump, Retorika, dan Zohran Mamdani: Ketika Politik Amerika Mencari Kambing Hitam Baru
Sebelum ini, Trump beberapa kali menyerang Mamdani. Serangan verbal Donald Trump terhadap Zohran Mamdani mungkin terlihat seperti satu episode kecil dalam hiruk-pikuk politik Amerika, tetapi ia sebenarnya mencerminkan sesuatu yang jauh lebih besar: pergeseran medan pertempuran politik yang semakin brutal, emosional, dan identitas-sentris. Dalam lanskap itu, Mamdani—seorang politisi muda progresif keturunan imigran, dengan suara tegas untuk Palestina—menjadi sasaran empuk.
Trump, yang sudah lama memupuk basis pendukung lewat retorika polarizing, kembali memainkan nada yang ia kenal baik. Dalam beberapa pidato kampanye, ia menuding Mamdani sebagai bagian dari “radikal kiri anti-Amerika”, sosok yang dianggap mengancam keamanan Israel dan melemahkan posisi AS di Timur Tengah. Tuduhan-tuduhan itu sama sekali tidak baru; Trump telah menggunakan pola serupa terhadap Ilhan Omar, Rashida Tlaib, dan tokoh-tokoh progresif lain yang berani mengambil posisi berbeda dalam isu-isu global.
Namun kali ini, konteksnya jauh lebih panas. Perang Gaza mengobarkan kembali sensitivitas politik Amerika, membuat siapa pun yang bersimpati pada Palestina menjadi sasaran retorika keras kubu konservatif. Dan Mamdani, dengan konsistensinya mengkritik kekerasan Israel dan menyerukan pengurangan dukungan militer AS, langsung masuk dalam garis tembak.
Menariknya, Mamdani tidak membalas dengan nada yang sama. Ia menegaskan bahwa serangan Trump adalah bentuk tekanan terhadap kebebasan berpendapat—upaya membungkam suara-suara yang menantang narasi dominan tentang politik luar negeri Amerika. Ia menempatkan kritik Trump sebagai bagian dari pola lebih luas: demonisasi terhadap politisi progresif keturunan imigran yang tidak sepenuhnya tunduk pada arus utama politik Washington.
Dalam kerangka yang lebih besar, serangan ini menunjukkan bagaimana dinamika politik AS kini bergerak bukan hanya soal kebijakan, tapi soal identitas dan siapa yang dianggap “bagian” dari Amerika itu sendiri. Trump, dengan gaya khasnya, memainkan sentimen tersebut secara terbuka: ia tahu bahwa menjadikan politisi progresif sebagai simbol ancaman dapat menyatukan para pendukungnya. Mamdani, dengan nama, latar belakang, dan posisinya, menjadi simbol tandingan yang mudah dihadirkan.
Tetapi serangan semacam ini justru memantulkan wajah politik Amerika yang sesungguhnya: negara yang tengah berjuang mendefinisikan dirinya kembali, di tengah perpecahan yang semakin dalam. Mamdani bukan hanya korban serangan retorika; ia adalah representasi dari generasi politisi baru yang mencoba memperluas batas percakapan publik, menantang kebijakan luar negeri lama, dan memperjuangkan solidaritas lintas bangsa.
Pada akhirnya, yang menarik bukan hanya apa yang Trump katakan, tapi mengapa ia merasa perlu mengatakannya. Serangan itu adalah sinyal betapa kuatnya pengaruh gerakan progresif dalam isu Palestina, sampai-sampai menjadi ancaman politik yang harus “dijinakkan”. Dan di sisi lain, ia menunjukkan betapa rapuhnya narasi dominan jika hanya bisa dipertahankan dengan cara mempermalukan dan menakut-nakuti.
Dalam benturan dua dunia itu—retorika keras Trump dan politik nilai yang dibawa Mamdani—kita melihat gambaran Amerika yang sedang bergeser, penuh gesekan, tapi juga penuh kemungkinan menuju sesuatu yang baru.***