Goenawan Mohamad: Pangku
Oleh Goenawan Mohamad
ORBITINDONESIA.COM - Di kampung nelayan Eretan Kulon di pantai utara Jawa itu penduduk hidup dalam rumah-rumah kayu yang rapuh. Mereka mencari nafkah dengan mengais-ngais apa yang tercecer dari laliu lintas perdagangan ikan. Tapi jangan salah paham: film "Pangku" tak bicara tentang kemiskinan yang getir. Karya Reza Rahadian ini (karya pertama sebagai sutradara) justru berbicara tentang yang lumrah, “the banality of penury”, ketika hidup yang melarat jadi rutin, sesuatu yang banal, sehari-hari, tak dramatis.
Bukannya tak ada ketegangan. Suspens dalam film satu jam 40 menit ini terasa pelan dan samar-samar. Yang menarik, suspens itu berlangsung bukan dalam konflik antara kemelaratan dan keserakahan seperti biasanya, melainkan lebih berupa kisah tanpa-konflk dengan "K". Suspens itu hanya proses silang selisih, antara kemelaratan dan kebaikan hati.
Sebuah film yang melodramatis akan meletakkan tegangannya dalam kesengsaraan yang ekstrim, yang menjerit, ala film Bollywood, ketika kemiskinan ditampikan sebagai kontras kerakusan yang bengis. Atau, seperti dalam "Slumdog Millionaire", sebuah film Inggris dengan rasa Bombai dari tahun 2008, yang dramatik ada dalam kontras antara kemelaratan di satu saat dan sukses yang bagaikan mukjizat di saat berikutnya. Sebuah melodrama mudah tergelincir jadi sesuatu yang berlebihan.
Kekuatan "Pangku": ia tak menjadi melodrama. Film ini tak pernah berlebihan. Sartika (Claresa Taufan) tiba malam hari di kampung Eretan Kulon (ia didrop dari truk yang ditumpanginya dari tempat asalnya) dalam keadaan terjepit. Ia hamil, mungkin delapan bulan. Ia mencari kerja. Cemas dan nekad.
Ia sampai di warung kopi kecil milik Ibu Maya (Christine Hakim) yang sudah hampir tutup. Ibu Maya melihat kondisinya; ia pun langsung menolongnya. Tak ada negosiasi, tak ada juga kutipan khotbah moral dari kiai, tak ada kalkulasi untung-rugi seorang pedagang. Sartika diterima, titik. Ia diterima sebagai pekerja (yang sebenarnya tak teramat dibutuhkan) dan juga sebagai sesama tempat berbagi kemiskinan. Jaya, suami Maya, bekas buruh pabrik plastik, tanpa bertanya merelakan tempat tidurnya yang apak dan sempit untuk istirahat seorang perempuan yang tak dikenalnya.
Dan Sartika pun jadi pembantu kedai kecil itu. Melayani tamu, menyenangkan para lelaki (tanpa sex), dan membujuk mereka membeli rokok yang dijual Ibu Maya. Di pondok ringsek itu juga anaknya lahir, diberi nama Bayu, tak jelas ayahnya, dan dirawat sampai usia sekolah, Sementara itu, keluarga itu pun terus hidup sebagai bagian kelas bawah yang "normal."
Memang kita akan menemukan sebuah cerita yang datar. Tak ada klimaks. Tapi tak ada yang membosankan: manusia-manusia baik hati dalam "Pangku" sedang menyintas dalam keadaan terjepit, dan kita ikut berdebar-debar, apa yang akan tejadi selanjutnya? Mungkinkah dan bagaimana nasib Sartika, Bayu, Maya dan lain-lain akan berujung?
Realisme (katakanlah "realisme sosial") mendasari "Pangku" -- dan itu tampak dalam latar fisik yang dihadirkan dengan cermat, dialog yang pendek-pendek dan bersahaja. Realisme pula yang membuat film ini meyakinkan justru dalam temanya yang tidak pretensius, alur ceritanya yang tak bergejolak, dan tak adanya "moral cerita" yang berpetuah-- satu corak yang di tahun 2015 juga tampak mengesankan dalam film "Siti" (disutradarai Eddie Cahyono), juga tentang secercah hidup di desa nelayan Parangtritis yang miskin.
Pesan, petuah dan propaganda justru sering mengebiri dan membelokkan sifat realistis yang otentik dalam film. Dalam "Pangku", itu semua tak ada. Yang ada hanya kearifan sosial yang sayup-sayup, yang dalam tembang anak-anak Jawa dari generasi ke generasi diucapkan dengan frase "enak panganane yen dipangan karo kancane" (enak makanan jika dinikmati bersama teman) --kearifan yang tumbuh dari masyarakat yang bertahan dalam "shared poverty" berabad-abad.
Realisme yang seperti ini menggemakan hidup nyata dengan lugas.
Reza Rahadian dan Felix K. Nessi (nereka berdua menulis skrip "Pangku") menggaris-bawahi sifat lugas itu dengan membiarkan gerak, gestur dan bahasa tubuh lain berproses tanpa kata-kata. Dalam salah satu adegan yang mendebarkan, Sartika menemui si juragan ikan yang keras dan dingin-hati untuk menanyakan perkara suaminya yang tak kunjung pulang. Mereka tampak dari jauh, di seberang ruang yang becek, di malam hari, di lantai atas. Dalam "long shot" itu mereka hanya kelihatan berkomunikasi dengan gerak tangan.
Percintaan antara Hadi (Fedi Nuril) dan Sartika juga dimulai dengan saling memandang lewat kaca jendela kamar yang kusam. Tak ada rayuan. Setelah persetubuhan pertama mereka dalam bilik yang pengap dan sempit mereka hanya diam, seperti terkesima. Mereka akhirnya tinggal bersama, tanpa upacara.
Hubungan mereka putus ketika Anisa, istri Hadi, seorang pekerja migran, pulang dari Arab. Mau tak mau Sartika -- dengan menangis --harus membiarkan Hadi kembali kepada isterinya. Ada kepedihan, tapi tak ada cekcok. Sang isteri (dimainkan sebentar oleh Happy Salma) hanya menggerutu dan menyuruh Sartika keluar membawa angkringan soto mie yang dibuat Hadi untuknya. Hadi tak hadir, hanya nampak selintas di jalan ketika Sartika dan Bayu berjalan meninggalkan rumah. Ia bukan laki-laki kejam. Cintanya bertaut dengan empati yang diam.
Sayang bahwa film ditutup dengan sebuah lagu yang dibebani kata-kata. Tapi tetap mengesankan (dan mengharukan) ketika Sartika meninggalkan rumah Maya suaminya, untuk menempuh hidupnya sendiri dengan Hadi. Dalam perpisahan itu Maya menahan sedih, tak sanggup bicara, dan mencoba memandang ke tempat lain, lalu segera masuk ke rumah --- dan saya melihat sebuah puncak seni peran yang ditunjukkan Christine Hakim. Tanpa ungkapan verbal.
Budi baik dan pesabahatan yang tulus adalah laku dari batin, bukan penerapan satu ajaran, bukan pula untuk diceramahkan. Justru dengan itu "Pangku" mengisahkan hidup yang berat tapi bahagia. Saya teringat satu kalimat dalam "Human Comedy", novel pendek William Saroyan, tentang satu keluarga miskin di kota kecil Ithaca yang dikelilingi tetangga yang ramah, tak pernah berkeluh-kesah, juga ketika kehilangan anak sulung dalam Perang Dunia Pertama: "You must not be unkind, especially when it happens that you're right." ***