Wawan Susetya: Optimistis, Indonesia Menggapai Masa Kejayaan
Oleh Wawan Susetya*
ORBITINDONESIA.COM - Suasana tegang yang mewarnai belantara negeri kita—jika tidak disebut gonjang-ganjing—menimbulkan pertanyaan besar: sampai kapan pertengkaran ini akan berakhir?
Disadari atau tidak, derasnya arus informasi dari televisi, media cetak, media sosial hingga grup-grup WhatsApp membuat masyarakat makin mudah terseret ke dalam polarisasi. Kita digiring untuk memilih kubu, membela kelompok sendiri sambil merendahkan yang lain. Hoaks yang kian marak memperuncing suasana. Akibatnya, blok-blokan terbentuk, kecurigaan meningkat, dan sesama anak bangsa pun mudah saling merasa terancam.
Pertanyaannya: apakah pertengkaran ini murni lahir dari dalam diri kita, atau ada kepentingan lain yang ikut meniup bara?
Padahal, kita adalah bangsa besar yang seharusnya mampu menanggulangi perpecahan ini secara dewasa.
Mengurai Benang Kusut
Jika menengok perpecahan di berbagai belahan dunia, Timur Tengah sering disebut sebagai kawasan yang paling rentan. Lingkungan alam—didominasi pasir yang labil dan batu yang keras—membentuk karakter masyarakat yang cenderung berkelompok dan mudah berseteru. Ketika banyak kelompok saling bersaing, pintu untuk adu domba dari kekuatan luar terbuka lebar.
Negeri-negeri Timur Tengah, tanpa disadari, telah berebut dan diperebutkan oleh kepentingan asing yang mengincar minyak mereka. Setelah kawasan itu dikuasai, bukan mustahil Indonesia menjadi target selanjutnya.
Indonesia tidak hanya memiliki minyak dan gas, tetapi juga logam mulia, air melimpah, tanah subur, pangan berlimpah, serta tenaga kerja murah. Itulah sebabnya, seperti pernah diingatkan Jenderal Gatot Nurmantyo ketika masih menjabat Panglima TNI, kekuatan global memiliki kepentingan besar terhadap Indonesia.
Jika ancaman itu nyata, semestinya kita memperkuat persatuan, bukan justru menyalakan bara konflik internal. Satu-satunya jalan keluar adalah duduk bersama, bermusyawarah, dan mencari akar masalah dengan kepala dingin.
Optimistis di Tengah Benturan
Untuk memahami siapa kita hari ini, ada baiknya menengok siapa kita di masa lalu.
Melihat banyaknya TKI/TKW yang bekerja di luar negeri, sebagian orang mungkin merasa bangsa ini hanya “bangsa buruh”. Bahkan di negara tetangga, kita sempat dilecehkan dengan sebutan “Indon”. Luka seperti ini memang menyakitkan.
Namun sejarah mengingatkan bahwa kita bukan bangsa kecil. Kita pernah menjadi bangsa yang disegani: Sriwijaya pada abad ke-7 dan Majapahit pada abad ke-14 adalah bukti kejayaan kita. Bung Karno berulang kali menegaskan: “Jangan sekali-kali melupakan sejarah!” Sebab di situlah jati diri itu berada.
Kita memang pernah ditindas ratusan tahun oleh kolonialisme, tetapi itu tidak menghapus kenyataan bahwa identitas kita adalah Garuda—bukan burung kecil yang mudah diterbangkan angin. Kita bangsa yang pernah menguasai lautan, mengatur perdagangan internasional, dan melahirkan kebudayaan besar.
Pujangga Jawa, Ki Rangga Warsita, bahkan memprediksi bahwa Nusantara memasuki siklus kejayaan setiap 700 tahun. Jika dulu kejayaan itu hadir pada abad ke-7 dan ke-14, maka abad ke-21—yang kita jalani sekarang—adalah masa yang diperkirakan menjadi kebangkitan berikutnya. Tak mengherankan bila pemerintah mencanangkan Indonesia Emas 2045.
Pertanyaannya: apakah kita akan menyia-nyiakan momentum sejarah ini hanya untuk bertengkar?
Menjemput Masa Depan
Daripada saling menghujat dan semakin memupuk dendam, bukankah lebih baik kita mengamalkan pesan Bung Karno: berdaulat secara politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan?
Jika kita ingin Indonesia mencapai masa kejayaannya kembali, perpecahan bukanlah jalan. Kita harus kembali melihat sejarah bukan dengan penyesalan, juga bukan dengan ketakutan pada masa depan, melainkan dengan kesadaran—sebagaimana dikatakan James Thurber: “Jangan lihat masa lampau dengan penyesalan, jangan lihat masa depan dengan ketakutan, tetapi lihatlah sekelilingmu dengan kesadaran.”
Sejarah sudah memberi kita bekal, masa kini menuntut kebijakan, dan masa depan menagih kesiapan. Kini tinggal pilihan kita: terus bertengkar, atau bersama-sama menjemput masa keemasan Indonesia.
*Wawan Susetya adalah sastrawan-budayawan dan pegiat Satu Pena Jawa Timur, tinggal di Tulungagung.