Denny JA di Paris: Menara Eiffel, Refleksi Perjalanan & Harapan Kemandirian Energi

Oleh Dr. Satrio Arismunandar

ORBITINDONESIA.COM - Di sebuah sore yang sendu di kota Paris, dengan latar belakang Menara Eiffel, tampak sosok Denny JA — seorang figur publik yang melintasi dunia survei politik, akademik, literasi, dan kini dunia energi.

Foto itu bukan sekadar potret biasa: ia tampak bagai simbol dualitas antara masa lalu dan masa depan, antara kontemplasi budaya dan ambisi strategis. Dalam refleksi ini, saya ingin menyelami makna perjalanan rekan dan sahabat saya Denny JA, cerminan dalam fotonya, serta tanggung jawab besar yang kini dipikulnya.

Dari Survei Politik sampai Energi

Denny JA, putra kelahiran Palembang, 4 Januari 1963 ini memulai kiprahnya sebagai pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) --kini LSI Denny JA-- lembaga survei opini publik yang sejak lama menjadi acuan riset politik dan sosial di Indonesia.

Dia lalu mengembangkan jaringan riset, konsultan opini, literasi, serta media—menjadi tokoh pemikir dan pengamat sosial-politik yang dikenal luas.

Tapi pada 10 Juli 2025, terjadi lompatan signifikan dalam kariernya: dalam RUPS, ia ditunjuk sebagai Komisaris Utama sekaligus Komisaris Independen PT Pertamina Hulu Energi (PHE) — subholding hulu migas di grup BUMN Pertamina.

Perubahan ini menunjukkan bahwa Denny JA kini melangkah dari ruang opini publik dan analisis politik ke ruang strategis nasional: energi dan kedaulatan energi.

Dalam pidatonya sebagai komisaris baru, Denny JA menegaskan sebuah premis tegas: “No discovery, no sovereignty.” Tanpa penemuan lahan minyak dan gas baru, tidak akan ada kemandirian energi—dan tanpa itu, ketahanan nasional berada di ujung tanduk.

Dengan demikian, Denny JA bukan sekadar figur lalu; ia kini bagian dari proyek besar bangsa: menjaga masa depan energi Indonesia — sebuah tanggung jawab yang tidak ringan.

Makna Paris, Eiffel, dan Seni sebagai Refleksi

Foto Denny JA dalam kunjungan kerja sebagai Komisaris Utama PHE di Paris, dengan latar belakang Eiffel, membawa banyak simbol sekaligus:

Jembatan antara lokal dan global — dari Palembang ke Jakarta, dari ruang survei ke koridor energi global, hingga cityscape Paris yang kosmopolitan.

Foto ini memperlihatkan bahwa identitas dan tanggung jawab seseorang bisa melampaui batas geografis dan sektoral. Denny tidak lagi hanya “pengamat dalam negeri”, tetapi aktor di arena global—di mana energi, politik internasional, dan dinamika pasar dunia berpotongan.

Kesunyian refleksi di tengah hiruk dunia — sendirinya di jalanan Paris, di bawah Menara besi yang dikenal romantis, memberi kesan bahwa pengambilan keputusan besar sering lahir dari momen hening, momen kontemplatif. Yakni, ketika ide, tanggung jawab, dan idealisme digodok secara batiniah, bukan oleh “gemuruh suara” publik semata.

Gambaran masa depan yang penuh harapan — sekaligus beban moral. Menara Eiffel bisa dipandang sebagai simbol modernitas dan kemajuan peradaban. Bagi seseorang yang sekarang memikul amanat strategis, ia bisa dilihat sebagai panggilan untuk membawa Indonesia tumbuh, maju dan mandiri, bukan sebagai entitas ekonomi semata, tetapi bangsa dengan martabat, kedaulatan, dan harga diri.

Foto itu, dalam makna paling dalam, menjadi potret perjalanan intelektual dan tanggung jawab: dari “suara rakyat” melalui survei hingga “tulang punggung energi nasional” melalui PHE.

Kemandirian Energi: Paradigma Baru & Tantangan Nyata

Gagasan kemandirian energi yang diusung Denny JA bukan semata retorika. Kata-katanya: “No discovery, no sovereignty” menyiratkan urgensi nyata — bahwa tanpa menemukan cadangan migas baru, masa depan energi Indonesia terancam, terutama di tengah ketidakpastian geopolitik dan pasar global.

Ini membuka beberapa implikasi:

Eksplorasi dan investasi harus diprioritaskan: produksi migas nasional saat ini jauh di bawah kebutuhan nasional. Tanpa eksplorasi baru, impor energi akan terus membebani neraca energi dan ekonomi.

Profesionalisme dan good governance: dengan seseorang seperti Denny JA—yang punya latar belakang riset, akademik, dan publik—ada harapan bahwa manajemen PHE bisa dijalankan dengan visi jangka panjang, transparansi, dan akuntabilitas.

Keseimbangan antara eksplorasi dengan keberlanjutan: tantangan terbesar bukan hanya menemukan cadangan, tapi memastikan eksplorasi dan produksi dilakukan dengan memperhatikan lingkungan, masyarakat lokal, dan pengelolaan risiko jangka panjang.

Dengan posisi barunya, Denny JA menjadi simbol harapan sekaligus ujian: apakah Indonesia bisa memadukan semangat kemandirian energi dengan tanggung jawab sosial dan ekologis?

Refleksi Individu dan Kolektif

Melihat sosok Denny JA sekarang—di Paris, di bawah Eiffel—membuat kita bertanya lebih luas: apa arti “kemajuan” bagi sebuah bangsa? Apakah kemajuan hanya soal angka produksi dan cadangan energi, atau juga soal martabat, rasa memiliki, dan identitas kolektif?

Foto itu seakan menyampaikan pesan: masa depan membutuhkan kepemimpinan yang fleksibel — orang yang bisa berpikir secara kritis (survei, akademik), merawat budaya literasi (tulisan, opini, refleksi), dan mengambil keputusan strategis (energi, kebijakan nasional).

Tetapi lebih dari itu: masa depan juga butuh kesadaran kolektif. Kemandirian energi tidak cukup hanya urusan PHE atau negara. Ia perlu dukungan publik: kesadaran bahwa konsumsi energi, eksplorasi, dan lingkungan adalah tanggung jawab bersama.

Jika Denny JA hanyalah satu manusia di bawah Eiffel Paris, maka Indonesia adalah segenap manusia di bawah langit senja Nusantara — beragam, kuat, dan penuh potensi.

Harapan dan Kebangkitan

Foto Denny JA di Paris adalah potret perjalanan — dari survei politik ke energi hulu; dari riset opini ke tanggung jawab strategis; dari analisis ke aksi nyata. Tapi lebih dari itu, ia adalah simbol harapan: bahwa Indonesia, di tangan orang seperti Denny JA (dan banyak lainnya), bisa menjembatani masa lalu dan masa depan.

Kemandirian energi bukan sekadar jargon teknokratis. Ia adalah soal kedaulatan, identitas, harapan generasi, dan derap bangsa. Di bawah temaram bayangan Eiffel — jauh dari hingar-bingar opini dan debat publik — ada bisikan halus: bahwa besar kemungkinan Indonesia masih punya waktu, peluang, dan kecerdasan kolektif untuk mewujudkan masa keemasannya.

Semoga saat foto itu dibingkai di ruang kerja atau arsip sejarah masa depan, ia bukan hanya menjadi kenangan — tetapi momentum kebangkitan.

Depok, 5 Desember 2025

*Satrio Arismunandar adalah jurnalis dan penulis buku, lulusan S1 Elektro FTUI, S2 Pengkajian Ketahanan Nasional UI, dan S3 Filsafat FIB UI. Kontak/WA: 081286299061.