Ruang Belakang Ibu dan Keberanian untuk Tidak Sempurna

ORBITINDONESIA.COM - MENJADI ibu sering kali terasa seperti berdiri di bawah sorot lampu. Ada begitu banyak hal yang diharapkan: kuat, sabar, penuh cinta, dan selalu mampu. Kita belajar tersenyum di depan, merapikan cerita, dan memastikan semuanya tampak baik-baik saja, bahkan ketika di dalam diri, lelah sudah menumpuk sejak pagi. 

Di balik peran yang tampak utuh itu, ada ruang sunyi yang jarang dibicarakan. Ruang tempat seorang ibu berhadapan dengan ketidaksempurnaannya sendiri, dan perlahan belajar satu hal yang tak pernah diajarkan sejak awal: keberanian untuk ikhlas.

Beberapa minggu lalu, ruang itu seperti terbuka ketika aku diwawancarai teman kampus di LSPR Institute. Mereka sedang mengembangkan ruang cerita virtual bernama Ruang Cerita Woma, singkatan dari Working Mama. Di antara beberapa pertanyaan, ada satu yang membuatku terdiam lebih lama.

“Apa yang bisa kamu bagikan untuk sesama working mom?”

Tanpa banyak berpikir, aku menjawab: belajar ikhlas. Ikhlas menerima bahwa kita tidak bisa sempurna. Ikhlas ketika rumah sesekali berantakan di akhir pekan karena tubuh terlalu lelah. Ikhlas saat tak selalu bisa menemani anak mengerjakan PR karena ada tanggung jawab pekerjaan yang harus diselesaikan. 

Ikhlas pada ketidaksempurnaan, bukan sebagai kegagalan, melainkan sebagai bagian dari hidup. Anehnya, justru dari kata ikhlas itu aku merasa lebih lega. Karena ketika kita ikhlas, kita berhenti memaksa diri menjadi segalanya sekaligus. Kita mulai melihat dengan jujur, apa yang masih bisa kita maksimalkan, dengan keterbatasan yang nyata.

Saat aku mengucapkannya, temanku yang mewawancarai menitikkan air mata. Bukan karena jawabannya dramatis, melainkan karena ia terasa jujur. Dan kejujuran, terutama di antara para ibu, sering kali jarang diberi ruang.

Lalu kemarin, tanggal 21 Desember, sehari sebelum Hari Ibu, aku kembali diingatkan pada hal yang sama. Aku menghadiri peluncuran buku karya temanku, Lucia Priandarini, berjudul "Ibu, Kamu Tidak (Gila) Sendirian". Buku ini sebenarnya ditulis oleh Rini, begitu aku biasa menyapanya, bersama dengan penulis lainnya yakni Rinda Amalia dan psikolog Fransisca Kumalasari. Acara berlangsung di sebuah kafe di Jakarta Selatan, pada Minggu sore yang diiringi rintik hujan.

Buku ini merangkum belasan cerita ibu, tentang baby blues, tentang kelelahan emosional, tentang kebingungan yang sering datang diam-diam ketika seseorang baru menjadi ibu. Aku belum membacanya hingga tuntas, tapi dari potongan cerita yang dibagikan, aku tahu buku ini penting.

Aku sempat bertanya, setengah bercanda tapi jujur dari hati, mengapa buku ini tidak hadir sembilan tahun lalu, ketika aku pertama kali menjadi ibu. Pada masa itu, aku belum punya kosakata untuk menjelaskan perasaan yang hadir. Perasaan bahwa kadang menjadi ibu tidak selalu membahagiakan, tanpa sedikit pun niat buruk pada anak.

Yang sering terjadi ternyata bukan kurangnya cinta, melainkan hilangnya jati diri. Sejak hari pertama menjadi ibu, perhatian dunia seolah beralih sepenuhnya pada anak. Nama kita perlahan memudar. Kita dikenal sebagai “ibunya A” atau “istrinya B”. Di titik tertentu, kita lupa bagaimana rasanya disebut sebagai diri sendiri.

Pada bagian awal buku, aku tersentak dengan penjelasan penulis bahwa sejak kecil, perempuan kerap diperkenalkan pada gagasan bahwa menjadi ibu adalah kewajiban sekaligus puncak eksistensi hidup perempuan. Kata "ibu" dilekatkan pada begitu banyak makna luhur, cinta, pengorbanan, moral, agama, pendidikan, kekuatan, bahkan pilar bangsa. Makna yang besar ini, tanpa disadari, perlahan berubah menjadi beban, untuk selalu mampu, selalu kuat, selalu benar.

Tak heran jika banyak ibu merasa hanya diperbolehkan menampilkan sisi-sisi positif dari dirinya, terutama di hadapan orang lain. Kita belajar menyaring cerita, menahan keluh, dan merapikan narasi hidup agar tetap terlihat pantas. Penulia juga mengutip teori dramaturgi yang diperkenalkan oleh Erving Goffman, bahwa kehidupan sosial digambarkan layaknya sebuah pertunjukan. Ada panggung tempat kita tampil, memainkan peran sesuai norma yang berlaku. 

Sebagai ibu, peran itu sering kali adalah sosok yang penyayang, kuat, dan sepenuhnya mendedikasikan diri bagi keluarga. Namun, realitas setelah menjadi ibu kerap tidak sejalan dengan gambaran yang tertanam sejak kecil. Jarak antara panggung dan kenyataan itulah yang sering melahirkan kelelahan. Bukan karena kurang cinta, melainkan karena usaha keras untuk menyesuaikan diri dengan peran yang begitu ideal.

Di titik tersebut, buku ini terasa seperti ruang belakang, area di balik panggung, tempat para ibu boleh duduk sejenak, melepas kostum, dan bernapas. Ruang di mana ketidaksempurnaan tidak perlu disembunyikan, dan kejujuran tidak perlu dihakimi.

Di salah satu bagian, buku ini mengutip kalimat dari John Steinbeck, penulis Amerika peraih Nobel Sastra: “And now that you don’t have to be perfect, you can be good.” Barangkali, inilah esensi menjadi ibu hari ini. Bukan tentang menjadi sempurna, melainkan menjalani peran sebaik yang kita bisa, dengan sadar, dengan jujur, dan dengan kasih pada diri sendiri.

Selamat Hari Ibu. Untuk para ibu, dan untuk siapa pun yang menjalankan peran keibuan, dengan cinta, dengan lelah, dan dengan keberanian untuk tidak sempurna. ***