Jaringan Sky News Mengungkap “Pembunuhan Keluarga Sistematis" oleh Israel di Jalur Gaza

ORBITINDONESIA.COM - Sangat sedikit media yang diizinkan oleh Israel untuk memasuki Jalur Gaza. Di antara yang terpilih pada tahun 2025—dua tahun setelah eskalasi dimulai—adalah jaringan Inggris Sky News, yang sekarang dimiliki oleh Comcast dan tidak memiliki hubungan dengan Rupert Murdoch sejak 2018.

Selama akses terbatas dan di bawah pengawasan militer yang ketat, media tersebut melakukan sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk jaringan Barat utama: mereka menguji keandalan data kuantitatif yang berasal dari Jalur Gaza menggunakan metode independen dan dapat diverifikasi.

Pada 18 Maret 2025, melalui analisis menyeluruh yang menggabungkan citra satelit, video geolokasi, dan sumber independen, Sky News memverifikasi 112 serangan yang menyebabkan 465 kematian yang dilaporkan di Gaza pada hari itu.

Hanya 14% dari serangan tersebut terkait dengan kombatan atau orang yang diduga sebagai kombatan; 86% mempengaruhi warga sipil atau daerah tanpa kehadiran militer. Dalam 11 serangan paling mematikan, hanya 6 militan yang tewas bersama 207 warga sipil, yang berarti 97% korban adalah non-kombatan. Sebagian besar serangan ini terjadi sebelum subuh, ketika keluarga sedang tidur, sehingga secara signifikan memperbesar jumlah kematian warga sipil.

Hasil investigasi mengkonfirmasi konsistensi angka dari Kementerian Kesehatan Gaza dan mengungkapkan pola sistematis serangan yang tidak proporsional terhadap penduduk Palestina, sejalan dengan kesimpulan dari badan-badan internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, Amnesty International, dan Human Rights Watch, yang telah mengklasifikasikan peristiwa-peristiwa ini sebagai kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan indikasi genosida.

Laporan Sky News, meskipun bersifat teknis dan berdasarkan bukti yang dapat diverifikasi, mengungkap ketidakseimbangan kekuatan yang ekstrem, pelanggaran hukum humaniter internasional, dan cara sebagian pers Barat sering mereduksi kematian warga Palestina menjadi angka statistik, menghilangkan dimensi kemanusiaannya—kebalikan dari apa yang terjadi pada korban Israel.

Asal Usul Investigasi
Pada tanggal 18 Maret 2025, saluran Inggris Sky News memutuskan untuk menguji keandalan data yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan Gaza, sebuah lembaga yang, di tengah serangan Israel, telah menjadi sumber informasi utama tentang jumlah korban Palestina akibat blokade total Gaza. Tanggal yang dipilih bukanlah kebetulan: itu adalah salah satu hari paling mematikan yang tercatat hingga saat itu, dengan 465 kematian dilaporkan.

Tujuan media tersebut adalah untuk menentukan apakah angka-angka tersebut—yang sering dipertanyakan oleh Israel dan sebagian pers Barat, yang menuduh adanya pengaruh Hamas—dapat bertahan dari pengawasan yang cermat menggunakan sumber independen.

Namun, analisis tersebut tidak hanya memvalidasi data tetapi juga mengungkap pola serangan sistematis yang, menurut para ahli internasional, berkontribusi pada apa yang digambarkan PBB sebagai genosida di Gaza (Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, 2025).

Pola Sistematis

Pola yang diungkapkan oleh analisis Sky News selaras dengan apa yang digambarkan oleh organisasi internasional sebagai genosida yang sedang berlangsung terhadap penduduk Palestina di Gaza.

PBB, melalui Komisi Penyelidikan Independennya, menyimpulkan pada September 2025 bahwa Israel telah melakukan genosida, melanggar empat dari lima tindakan yang ditentukan dalam Pasal 2 Konvensi Genosida 1948, termasuk pembunuhan massal dan kondisi yang menghancurkan kehidupan (Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, 2025).

Amnesty International, dalam laporannya pada November 2025, menyatakan bahwa “genosida Israel terhadap warga Palestina di Gaza terus berlanjut tanpa henti meskipun ada gencatan senjata,” menyoroti serangan sistematis terhadap warga sipil sebagai bukti niat genosida (Amnesty International, 2025). Human Rights Watch mendokumentasikan “kejahatan pemusnahan dan tindakan genosida” di Gaza, dengan pola penghancuran keluarga yang melanggar hukum internasional (Human Rights Watch, 2025).

Fakta bahwa sebagian besar serangan yang didokumentasikan tidak ditujukan kepada kombatan, dan bahwa banyak yang terjadi pada malam hari sehingga memaksimalkan korban sipil, menunjukkan kebijakan militer yang tidak membedakan antara kombatan dan warga sipil—suatu praktik yang dilarang berdasarkan hukum humaniter internasional (Konvensi Jenewa, 1949/1977).

Hal ini sejalan dengan perintah sementara dari Mahkamah Internasional dalam kasus Afrika Selatan vs. Israel, yang pada tahun 2024–2025 menemukan risiko genosida masuk akal dan memerintahkan tindakan untuk mencegahnya, perintah yang telah diabaikan oleh Israel (Mahkamah Internasional, 2025).

Kesimpulan: Data dan Kehidupan

Pada hari itu, Sky News menunjukkan bahwa angka-angka Kementerian Kesehatan Gaza konsisten. Namun, secara paradoks, cerita tersebut direduksi menjadi satu angka: 465 orang tewas.

Di balik angka itu terdapat seluruh keluarga, anak-anak, dan lansia yang terkubur di bawah reruntuhan. Namun, nada laporan tersebut bersifat teknis, statistik—seolah-olah setiap nyawa hanyalah sebuah titik data dalam spreadsheet.

Kematian warga Palestina, dalam banyak liputan Barat, disajikan sebagai data, bukan sebagai tragedi kemanusiaan. Kematian warga Israel, sebaliknya, dinarasikan sebagai kisah pribadi.

Asimetri ini adalah bentuk dehumanisasi. Karena ketika kehidupan warga Palestina direduksi menjadi angka semata, rasa sakitnya tidak lagi terasa.

Pada tanggal 18 Maret, Sky News tidak hanya memverifikasi data—tetapi secara tidak sengaja mendokumentasikan kebenaran yang lebih dalam: bahwa perang di Gaza menghancurkan bukan hanya tubuh tetapi juga kemampuan untuk melihat mereka sebagai manusia.

Pola penghancuran sistematis ini, yang menewaskan 9 warga sipil untuk setiap militan dalam serangan paling mematikan, memperkuat peringatan Mahkamah Internasional tentang risiko genosida dan menyoroti keterlibatan internasional dalam menormalisasi penghancuran kolektif suatu bangsa, sebagaimana dikecam oleh Amnesty International dan Human Rights Watch.

(Sumber: Palestinian Historiographical Research) ***