DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Puisi Esai Karya Denny JA Menuju Film Layar Lebar

image
Denny JA (kiri) dan Direktur Utama Produksi Film Negara, Dwi Heriyanto (kanan) Menandatangani Kerja Sama Produksi Film yang Diangkat Berdasar Puisi Esai, Rabu 7 Desember 2022.

ORBITINDONESIA - Sudah banyak film layar lebar yang diangkat dari novel atau cerpen. Sangatlah jarang, bahkan untuk ukuran dunia film layar lebar yang  diangkat dari puisi.

Untuk bisa diubah menjadi film, puisi itu sendiri harus memiliki unsur drama di dalamnya. Di sinilah keunggulan puisi esai. Puisi esai ini disamping selalu berangkat dari kisah sebenarnya yang sudah populer di masyarakat, ia juga memiliki elemen drama.

Hal ini disampaikan oleh Denny JA ketika bulan Desember ini, Studio Denny JA menandatangani kerja sama dengan PFN (Produksi Film Negara) untuk membuat film layar lebar.

Baca Juga: Remy Sylado Meninggal, Denny JA dan Komunitas Penulis SATUPENA Berbela Sungkawa

“Setelah film ini, berbagai puisi esai unggulan lainnya akan menyusul diangkat menjadi film layar lebar,” ujar Denny JA melalui keterangannya di Jakarta pada Senin 12 Desember 2022.

Film pertama yang diangkat dari puisi esai akan segera diproduksi untuk layar lebar. Hal itu disepakati oleh Studio Denny JA dan PFN yang menandatangani kerja sama produksi film yang diangkat berdasarkan puisi esai pada Rabu 7 Desember 2022.

Film tersebut berjudul "Seribu Payung Hitam dan Sisanya Rindu”. Film ini adalah pengembangan dari puisi esai karya Denny JA berjudul “Kutunggu di Setiap Kamis”.

Dalam kerja sama produksi film tersebut, Direktur Utama Produksi Film Negara Dwi Heriyanto dan tim inti Studio Denny JA sepakat untuk menyusun rencana makro.

Baca Juga: Konflik di Maluku 1999/2002 dalam Puisi Esai Denny JA, BIARLAH REBANA DAN TOTOBUANG KEMBALI BERSANDING

Denny JA yang juga penggagas genre puisi esai ini menjelaskan bahwa PFN selaku wakil budaya dari pemerintah RI yang ikut menjadi fasilitator, patut diapresiasi karena menumbuhkan inisiatif para kreator masyarakat melahirkan film yang menginspirasi.

"Jika kita memiliki gagasan yang mencerahkan dan ingin gagasan itu menyentuh publik luas, maka sampaikanlah gagasan itu lewat musik dan film," ujar Denny JA.

Bukan tanpa dasar, ia merujuk pada data dari PEW Research Center pada tahun 2012 yang menunjukkan bahwa 67 persen social networkers menyukai musik dan film.

Lebih lanjut Denny JA mengungkapkan bahwa cerita asli dari puisi esai yang diangkat ke layar lebar itu mengenai seorang perempuan muda yang menunggu suaminya yang hilang pada peristiwa 1998.

Baca Juga: Konflik Sampit 2002, Dayak Melawan Madura dalam Puisi Esai Denny JA: Amarah Terpendam, Kesedihan yang Puitis

"Sambil bergurau, suaminya berjanji akan pulang di hari Kamis, entah hari Kamis pada minggu ini, atau Kamis sepuluh tahun lagi,”katanya.

Karena itu, perempuan muda tersebut menunggu suaminya di stasiun kereta, berminggu-minggu, lalu berbulan-bulan, hingga bertahun-tahun.

"Namun suaminya tak kunjung pulang. Perempuan ini akhirnya pindah ke Jakarta. Ia bergabung dengan aksi kamisan dengan payung hitam, sesama warga yang kehilangan keluarganya masing-masing," tambahya.

Denny JA menjelaskan bahwa skenario film ini akan dikembangkan topiknya, seperti Aksi Kamisan dengan payung hitam tidak hanya terjadi di Jakarta tetapi juga di daerah lain yang terinspirasi oleh Aksi Kamisan di Jakarta.

Baca Juga: Perkosaan Massal di Kerusuhan Mei 98 Jakarta dalam Puisi Esai Denny JA, DARI SEJARAH YANG DILUPAKAN

"Keluarga yang hilang juga bukan karena peristiwa politik, melainkan juga karena konflik sumber daya pertanahan, air dan lingkungan hidup. Sebuah perusahaan multinasional merebut tanah dan sumber daya alam rakyat banyak secara paksa. Mereka yang melawan banyak yang kemudian hilang, tak kunjung kembali," papar Denny JA.

Ia menambahkan, skenario ini adalah gabungan antara isu lingkungan hidup, perjuangan perempuan dan kisah cinta.

Jika kita memperhatikan industri perfilman, banyak film yang mengangkat cerita hasil adaptasi novel atau cerpen, namun ini adalah film layar lebar pertama yang diadaptasi berdasarkan puisi esai.

"'Seribu Payung Hitam dan Sisanya Rindu' akan menjadi film layar lebar pertama yang diangkat berdasarkan puisi esai," kata Denny JA.

Baca Juga: Denny JA: Satupena Teruskan Tradisi Menghargai Penulis Berdedikasi Lewat Satupena Award

Menurutnya, kisah dalam puisi esai potensial untuk diangkat ke layar lebar, jika dibandingkan dengan puisi biasa. Pasalnya, puisi esai ini mengembangkan drama fiksi dengan karakter tokoh, dan plot, yang dituliskan secara puitis.

"Kisah dalam puisi esai pun selalu berdasarkan peristiwa sebenarnya yang difiksikan. Dengan sendirinya publik luas menyimpan memori kolektif tentang isu yang diangkat dalam puisi esai," ujarnya.

Denny JA menjelaskan, pada tahun 2012, sutradara Hanung Bramantyo pernah membuat lima film berdasarkan lima puisi esainya. Namun saat itu, film berdurasi 45 menit itu hanya dibuat untuk tujuan sosialisasi Gerakan Indonesia Tanpa Diskriminasi dan bukan ditujukan untuk layar lebar di bioskop.

"Para Dosen seringkali memutarkan film-film itu untuk kelas humanity studies dan para aktivis memutarkan film itu sebagai awal diskusi isu diskriminasi di Indonesia," kata Denny JA.

Baca Juga: Konflik Suku Asli Lampung vs Pendatang Bali 2012 dalam Puisi Esai Denny JA

Sementara film "Seribu Payung Hitam dan Sisanya Rindu" sengaja dibuat untuk film layar lebar yang akan diputar di bioskop komersial.

"Ini akan membuka pintu bagi puisi esai lainnya untuk juga diangkat ke layar lebar," tutupnya.***

Berita Terkait