DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Penyair Sebagai Pemimpin Spiritual Sebuah Bangsa, Sambutan Hadiah Sastra Sutardji Calzoum Bachri dari Denny JA

image
Penyair sebagai pemimpin spiritual sebuah bangsa.

ORBITINDONESIA.COM - Merenungkan Sutardji Calzoum Bachri, saya teringat kutipan dari Johann Wolfgang von Goethe, penyair besar dan negarawan Jerman, 1749-1832.

Menurut Goethe, “Penyair itu pemimpin spiritual sebuah bangsa. Ia menjadi cermin batin terdalam komunitasnya.”

Tahun 1981, empat puluh dua tahun yang lalu, itu tahun pertama saya menjadi mahasiswa. Saat itulah saya berkenalan dengan puisi Sutardji Calzoum Bachri.

Baca Juga: Meriahkan Bulan Bung Karno, Ratusan Orang Ikuti Lomba Baca Puisi Karya Si Bung di Sumenep Jawa Timur

Baca Juga: Bedah Buku Gagasan Denny JA tentang Jembatan Antaragama

Baca Juga: Denny JA: Puisi Esai Sudah Waktunya Masuk Sekolah

Saya masih ingat momentum itu. Di beranda mesjid Salemba Universitas Indonesia, saya mengulang-ulang membaca puisi Sutardji berjudul KUCING. Puisi itu ditulisnya di tahun 1973.

Sebagian bait itu saya hafal luar kepala.

“Berapa Tuhan yang kalian punya? Beri aku satu, sekedar pemuas kucingku hari ini.”

“Aku pasang perangkap di Afrika, Aku pasang perangkap di Amazon, Aku pasang perangkap di Riau, Aku pasang perangkap di kota-kota, Siapa tahu nanti ada satu tuhan yang kena. Lumayan, kita bisa berbagi Sekerat untuk Kau, Sekerat untuk aku”

Saya juga teringat puisinya, berjudul Walau. Ini ia tulis di tahun 1979.

“Dulu pernah kuminta Tuhan dalam diri.?Sekarang tak.”

“Kalau mati? mungkin matiku bagai batu tamat, bagai pasir tamat.”

“Jiwa membumbung dalam baris sajak.

Tujuh puncak membilang bilang.”

“Nyeri hari mengucap ucap,? di butir pasir kutulis rindu rindu.”

 “Walau huruf habislah sudah,? alifbataku belum sebatas Allah.”

-000-

Di tahun itu, saya menjadi ketua mahasiswa angkatan ‘81 Universitas Indonesia untuk Fakultas Teknik. Intensitas kegiatan agama di kalangan mahasiswa sangat tinggi. Ini terutama akibat Revolusi Islam di Iran yang dibawa Khomeini tahun 1979.

Slogan dan pernyataan soal prinsip agama Islam agar semakin hadir di ruang publik sangat sering diwacanakan.

Saya pribadi, yang saat itu banyak membaca filsafat dan sastra, agak kurang nyaman dengan pemahaman agama yang formalistik dan literal.

Puisi Sutardji saat itu mengisi kebutuhan batin saya. Kerinduan akan sentuhan Tuhan yang mendalam terasa dalam puisi Sutardji. Tapi ia mengekspresikan kerinduan religius itu dengan pola yang tak biasa.

Berdasarkan data riset, mereka yang menganggap agama penting dan sangat penting dalam hidupnya di Indonesia sangatlah banyak, di atas 90 persen.

Agama menggores batin kita sangat dalam. Sutardji sebagai penyair mengekspresikan batin dirinya, juga batin Indonesia.

Tapi sebagai sastrawan, sebagai penyair, ia mengekspresikan batin agama itu berbeda dibandingkan yang disampaikan oleh para kiai, dai dan ustad di mesjid. Berbeda pula dengan cara seorang akademisi dan intelektual dalam menyatakannya.

Bahasa puisi membuat Sutardji dapat mengekspresikannya secara lebih urakan, tak biasa, out of the box.

Namun justru ekspresi tak biasa itu membuat renungan religiusnya memiliki tempat sendiri yang berbeda  dalam memori kita.

Selamat untuk Sutardji Calzoum Bachry yang memperoleh Anugrah Sastra 2023, sekaligus perayaan ulang tahunnya yang ke-82.

Saya Denny JA, selaku Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena menempatkan Sutardji sesuai sebuah ungkapan; “Bahwa Bangsa yang besar adalah bangsa yang juga melahirkan penulis besar.”

Sutardji tak dipungkiri adalah salah seorang penulis  besar dalam sejarah Indonesia.***

(Sambutan Denny JA selaku Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA ini dibacakan oleh Swary Utami Dewi)

Berita Terkait