DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Esthi Susanti Hudiono: Kanon Literasi dan Satupena

image
Esthi Susanti Hudiono tentang Kanon Literasi dan Satupena

 

ORBITINDONESIA.COM - Indonesia saat ini belum mempunyai kanon literasi. Pertanyaan Mas Anick penting yakni bagaimana karakter dan nation building terjadi untuk menjadikan warganegara dewasa dan bertanggung jawab (aku tambah)?

Indonesia membutuhkan kanon literasi karena bangsa yang dibentuk berbasis imajinasi bukan identitas primordial. Jalan yang ditempuh saat ini berdasarkan narasi penguasa dan pemegang otoritas yang mempunyai banyak bias. Yang ujungnya adalah ketidakadilan karena segenap bangsa belum diimajinasikan sebagai sesama.

Konsep kanon literasi adalah konsep asing. Nara sumber kemarin tidak asing bagiku. Ada sekitar 4 atau lima bukunya telah aku baca. Martin adalah penulis inovatif dengan rujukan jelas.

Baca Juga: Catatan Kilas Ch. Robin Simanullang: Terimakasih Mbak Mega

Kanon literasi adalah standar bacaan yang harus dibaca murid. Literasi yang semoga tak hanya merujuk buku dengan narasi bahasa tetapi juga bentuk karya lain seperti lukisan, patung, fotografi. Karya-karya di luar teks bahasa Indonesia ikut berproses mengindonesia dan menjadi alat bukti teks dalam metode triangulasi.

Kemarin Mbak Tami minta responku. Aku glagepan karena pahami kerumitan yang terjadi. Hingga pagi ini kanon literasi terus kupikir.

Kanon literasi bisa menjadi pegangan kita berliterasi. Lembaga pengusungnya antara lain Satupena dari masyarakat sipil dan Dinas Kearsipan dan Perpustakaan yang bertebaran di banyak kota di Indonesia. Bagiku ruang literasi tidak hanya sekedar berisi produksi buku saja.

Buku yang diproduksi tanpa standar mutu dan etik, tidak akan bermakna. Malah menambah berisik ruang publik kita. Bintang penuntun itu harus ada dan kanon literasi adalah konsepnya.

Baca Juga: Inilah Klasemen Sementara Liga Inggris Usai 3 Laga Tunda di Pekan ke 28 Selesai Dimainkan

Ikuti webinar kemarin langsung terbaca masalah mengapa tiada kanon literasi di Indonesia. Kita masih bersemangat proyek dan berorientasi pada penguasa dan pemegang otoritas yang berbau feodal dan patriarki dengan bayang-bayang oligarki.

Tiadanya kanon literasi adalah penanda Indonesia belum punya karakter dan style. Apa yang kita hargai bersama? Debat publik yang ada masih dalam wacana adalah pluralisme dan wong cilik (?). Dunia barat menampakkan karakternya yakni keterbukaan dan kejujuran.

Masalah yang langsung terpikir kemarin adalah narasi Pancasila. Dunia pemikiran, praktisi dan pendidikan belum sinkron. Buku-buku pelajaran yang beredar masih tonjolkan Mohammad Yamin sebagai penggagas Pancasila.

Padahal ia ternyata bukan penggagas pertama. Posisinya adalah bagian dari narasi yang ada seperti Hatta. Posisi Soekarno diganti Mohammad Yamin agar penguasa orde baru merasa senang.

Baca Juga: Jonathan Latumahina Emosi karena Mario Dandy Bisa bisanya Main Gitar di Polsek, Berharap Dikeluarkan Ayahnya

Ini ngerinya ilmuwan berkolaborasi dengan penguasa. Di masa PDIP jadi partai pemenang lalu ada tindakan politik yang tetapkan pendiri Pancasila adalah Soekarno dengan penetapan hari lahir Pancasila.

Jadi saat ini belum ada sinkronisasi Badan Ideologi Pancasila, dunia pemikiran dengan karyanya (buku-buku Kang Yudi Latief, Pak Arief, dan banyak lainnya), dunia pendidikan.

Seharusnya dunia pemikiran dalam lahirkan literasi dengan metodologi ketat inilah yang dijadikan dasar sinkronisasi dan konsolidasi.

Ini tanggung jawab birokrasi pemerintah yang seharusnya tak menjadi pengabdi penguasa sepenuhnya. Mengabdi konstitusi dengan alat perekat inilah yang seharusnya menjadi bintang penuntun.

(Oleh: Esthi Susanti Hudiono) ***

Berita Terkait