DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Ekspresi Data Denny JA: TikTok Jangan Dilarang Tapi Dipungut Pajak

image
TikTok membuat bisnis online semakin mendominasi pasar.

 

ORBITINDONESIA.COM - Yang  sudah dicapai oleh teknologi, jangan dilarang oleh politik, jangan dihapuskan atau dilarang beroperasi oleh kebijakan pemerintah. 

Baca Juga: Liga Inggris: Sheffield United Jadi Tim Pertama yang Terdegradasi

Mengapa? Karena  trend teknologi dan  trend peradaban lebih kuat dibanding pemerintahan nasional manapun!

Itulah respon saya ketika membaca berbagai seruan di media soal TikTok Shop. Salah satunya menyatakan: Pemerintah Harus Tegas Menyikapi  TikTok Yang Ogah  Pisahkan Bisnis Media Sosial dan Ecommerce.

Baca Juga: Ekspesi Data Denny JA: Lagu yang Dinyanyikan Pemimpin Memberi Efek Politik untuk Capres

Baca Juga: Liga 1: Persib Bandung Pastikan Masuk ke Championship Series

Sebagian publik ingin e-commerce dipisahkan dari media sosial. 

Juta berita yang mengatakan Menteri Koprasi dan UKM akan melarang praktik yang menggabungkan media sosial dan e-commerce sekaligus.

Tapi bagaimana kita bisa memisahkan itu, melarang itu  jika teknologi inovasinya sudah sampai di sana?

Baca Juga: Megawati Sampaikan Surat Amicus Curiae atau Sahabat Pengadilan ke Mahkamah Konstitusi: Semoga MK Bukan Ketok Palu Godam

Mari kita mulai dengan data. Ada tiga tahap perkembangan teknologi dalam industri online.

Pertama, datangnya E-commerce, di tahun 1994. Ini adalah era awal meluasnya internet.

Amazon termasuk yang memulai online shopping. Ia melihat ada potensi luar biasa di dunia internet dan ada peluang mengalihkan belanja dari offline di darat menjadi online di viral di udara.

Baca Juga: Presiden Jokowi Menikmati Libur Idulfitri Bersama Cucunya di Objek Wisata Satwa Deli Serdang

Kedua, kemudian datanglah itu revolusi social commerce di tahun 2000-an. Ini era awal media sosial di mana kemudian e-commerce pun dikombinasi dengan media sosial.

Yang pertama-pertama menggabungkan ini justru bukan TikTok, tapi Instagram dan Facebook.

Ketiga, lebih dari itu lagi muncul tahap online shopping berikutnya: live commerce, di tahun 2010.

Baca Juga: Todung Mulya Lubis: TPN Ganjar-Mahfud Minta Mahkamah Konstitusi Hadirkan Kapolri Dalam Sidang PHPU Pilpres

Ini era ketika video streaming meluas. Melalui live commerse, interaksi antara penjual dan pembeli menjadi lebih hidup, personal, layaknya seperti pertemuan di darat.

Tak hanya TikTok yang mencapai dan menggabungkan ketiganya, tapi juga Instagram dan Facebook. Ada pula yang non- media sosial seperti Shopee dan Lazada.

TikTok Shop memang bisa mencapai penjualan yang lebih meledak walaupun ia datang belakangan.

Baca Juga: Sidang Komite Disiplin PSSI: Persita Tangerang, Persebaya Surabaya, PSS Sleman Didenda Seratusan Juta

Di tahuh 2022, TikTok Shop  di tingkat dunia sudah menghasilkan Rp375,5 triliun.  Di Indonesia, ia sudah meraih penjualan Rp228 miliar.

Pengguna TikTok di Indonesia pun juga nomor 2 terbanyak di dunia.

Dari sisi daya tarik penjualan, TikTok Shop sudah mengalahkan shopee, dan Instagram, Facebook, dan lazada. TikTok Shop juga sudah membuat Tanah Abang sepi.

Baca Juga: New Year Gaza 24 B

Mengapa TikTok Shop bisa sehebat itu? Sihirnya adalah: Harga Lebih Murah!  Itulah hukum besi ekonomi.

Siapapun yang bisa menawarkan harga lebih murah akan menjadi raja!

Masalahnya: How? Bagaimana Tik Tok Shop bisa menjual lebih murah dibandingkan pihak lain?

Baca Juga: DKI Jakarta Temukan Ratusan Penerima Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul tidak Sesuai Data

Ini rahasianya. Pertama, itu karena pemilik Tik Tok yaitu Byte dance di Beijing mempunyai algoritma trend barang yang laku.

Data ini memberi mereka informasi untuk produksi massal barang sejenis secara lebih murah.

Semakin banyak sebuah barang diproduksi masal, lebih murah biaya barang itu. Ini juga hukum besi ekonomi.

Baca Juga: Hasil Rapat Rekapitulasi, KPU RI Sahkan Prabowo-Gibran Unggul di Kalimantan Barat

TikTok Shop juga banyak mengambil barang-barang dari China, yang bahan baku, serta upah buruh jauh lebih murah.

Dan TikTok Shop pun sedang membentuk brand, sehingga mereka bersedia bakar uang. Mereka menyediakan fitur ongkos kirim gratis.

Kombinasi tiga hal ini yang membuat mereka bisa menawarkan barang lebih murah (algoritma, biaya produksi, dan bakar uang).

Baca Juga: KBRI Tokyo Kawal Penanganan 20 Warga Indonesia Anak Buah Kapal Jepang Fukuei-Maru yang Kandas di Izu

Lalu bagaimana seharusnya pemerintah menghadapi serbuan TikTok Shop? 

Jangan melarang keberanian dan kemampuan sebuah usaha yang menawarkan barang lebih murah. Publik luas diuntungkan oleh harga lebih murah.

Tapi pemerintah di sisi lain, bisa melindungi pelaku usaha kecil dan menengan (UKM) dengan membuat mereka mampu bersaing. 

Baca Juga: Liga 1: Petik Hasil Seri Melawan Bhayangkara FC, Arema FC Merangkak Naik Satu Peringkat

Pemerintah dapat memulai paket usaha itu dengan PAJAK!

Cari cara agar pemerintah bisa menerapkan pajak, memperoleh penghasilan dari pajak atas TikTok Shop dan usaha sejenis.

Hasil dari pajak oleh pemerintah dapat digunakan untuk membuat pelaku UKM lebih bersaing.

Baca Juga: Lewat Sebuah Diskusi Berdua: Inilah Alasan Denny JA Memilih Berdiri di Samping Presiden Jokowi

Misalnya pemerintah memberikan insentif kepada pelaku UKM, agar mereka punya akses ke dana, atau mendapat subsidi, dan pelatihan.

Pelaku UKM dapat pula diberi wawasan entrepreneurship agar mereka bisa menjalankan diferensiasi, membuat produk yang lebih unik dan berkualitas.

Pemerintah juga bisa meningkatkan literasi digital kepada UKM, dan kampanye agar publik Indonesia lebih cinta produk dalam negeri.

Baca Juga: Diskusi Satupena, Satrio Arismunandar: Pers Bukan Sekadar Pilar Demokrasi, Namun Juga Ikut Bermain Politik

Daripada ambil sikap serba mudah dan gampang  tapi buruk: Melarang!, ada pilihan pemerintah untuk lebih kreatif.

Yaitu pilihan kebijakan yang tidak melarang inovasi teknologi, dan melawan trend zaman, bahwa tak hanya e-commerse sudah kawin dengan media sosial, namun sudah diperkaya pula oleh live commerse. ***

Berita Terkait