DECEMBER 9, 2022
Kolom

Entang Sastraatmadja: Petani Perlu Dibela, Jangan Ditindas

image
Ilustrasi petani yang gembira dengan naiknya harga gabah (Foto: Antara)

ORBITINDONESIA.COM - Judul tulisan kali ini,memang terkesan agak bombastis. Petani Perlu Dibela, Jangan Ditindas. Salah satu pertimbangan memilih judul seperti ini, karena sekarang ini, yang namanya petani, khususnya petani berlahan sempit, tampak semakin terdesak dan terpinggirkan dari panggung utama pembangunan.

Petani bangkit mengubah nasib, lebih mengedepan sebagai jargon. Secara regulasi, bahkan setingkat Undang Undang, Pemerintah telah melahirkan UU No.19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

Semangat dilahirkannya UU tersebut lebih dilandasi oleh perlunya "pembelaan" terhadap petani, seandainya ada pihak-pihak tertentu, yang ingin memarginalkan kehidupan para petani.

Baca Juga: Kepala Wilayah Bulog Ahmad Mustari: Baru 24 Persen Beras Bantuan Pangan Tersalurkan di Tanah Papua

Sayangnya, UU ini masih tertulis indah di atas kertas. Dalam kenyataannya, belum terterapkan dengan baik. Sebagai contoh, naiknya harga gabah yang mampu menembus angka Rp.7.000 per kg, cukup menarik untuk diselami lebih dalam. Jarang-jarang harga gabah melesat jauh di atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang mematok angka Rp.5.000 per kg. 

Akibatnya wajar, bila para petani padi pun terlihat sangat sumringah. Secara sadar, petani mengaku bahwa jerih payah dan kerja keras yang mereka lakukan sekitar 3 bulan lebih ini, dinilai dengan harga cukup wajar.

Rasa senang semacam ini, secara spontan disampaikan langsung para petani padi kepada Presiden Jokowi yang saat itu tengah melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Subang dan Indramayu.

Baca Juga: Untuk Stabilkan Harga, Bulog Karawang Sebar Beras SPHP Hingga Menjelang Lebaran 2024

Namun begitu, di sisi lain, ada juga pihak-pihak tertentu yang merasa tidak senang dengan kenaikan harga gabah ini. Kita sendiri, tidak tahu persis, mengapa masih ada orang yang menginginkan harga gabah murah? Atau bisa juga pertanyaannya diubah menjadi: "kok bisa, hari gini masih ada orang yang ingin memupus keriangan para petani?"

Bagi petani, naiknya harga gabah hingga menembus angka Rp.7.000 per kg, hal ini merupakan berkah kehidupan yang patut disyukuri.

Petani mengerti betul, kenaikan harga gabah lebih dari 40 persen atas HPP yang ditetapkan Pemerintah, juga dipacu oleh kenaikan harga beras yang melejit dengan cepat. Rumus dasarnya, harga beras dua kali lebih tinggi dari harga gabah.

Baca Juga: Pemerintah Provinsi Sumatra Selatan Jamin Stok Beras Aman Hingga Lebaran 2024

Catatan kritisnya adalah mengapa harga beras melesat jauh diatas HPP dan Harga Eceran Tertinggi (HET) seperti yang ditentukan Pemerintah? Benarkah El Nino yang jadi penyebab terjadinya penurunan produksi beras, sehingga Pemerintah seperti yang tak berdaya menghadapinya? Hebatnya lagi, naiknya harga beras langsung diikuti oleh naiknya harga gabah.

Berbagai langkah banyak digelar Pemerintah, agar harga beras kembali ke tingkat harga yang wajar dan tidak terus-menerus ugal-ugalan. Operasi Pangan/Beras Murah banyak dilakukan di Kabupaten/Kota  yang ada di negeri ini. Beras impor banyak dikucurkan di berbagai pasar. Ironisnya, harga beras masih enggan turun dan tetap bertengger di posisi harga yang cukup tinggi.

Beras sebagai komoditas politis dan strategis, betul-betul penuh dengan misteri. Selain bagi bangsa kita, beras merupakan bahan makanan pokok rakyat yang harus tersedia setiap waktu, ternyata beras pun kerap menjadi ukuran mati hidupnya sebuah bangsa. Terlebih bagi bangsa Indonesia, yang sebagian besar warga masyarakatnya, sangat tergantung atas ketersediaan beras itu sendiri.

Baca Juga: Tentang Beras, Duta Besar Santo Darmosumarto Bangun Kerja Sama dengan Kamboja: Ingin Impor Beras

Dalam sudut pandang yang tidak jauh berbeda dengan apa yang sudah digambarkan tadi, beras merupakan sumber kehidupan dan sumber penghidupan sebagian besar warga bangsa.

Itu sebabnya, beras harus tersedia sepanjang waktu. Beras tidak boleh langka atau menghilang di pasar. Sekalinya produksi beras turun dan langka di pasar, maka harga beras akan meroket guna mencari harga keseimbangan baru.

Lalu, apakah betul kenaikan harga beras hingga menembus angka Rp.17.000 per kg, akan memberi keuntungan bagi petani? Ah, rasanya belum tentu. Sebab, dalam konteks dunia perberasan, yang jadi "pemilik" beras, umumnya bukan petani.

Baca Juga: Entang Sastraatmadja: Menggoreng Isu Beras

Fakta di lapangan, para pemilik beras, rata-rata bandar atau tengkulak. Bisa juga para pengusaha penggilingan padi, termasuk di dalamnya Perum BULOG.

Petani sendiri, sebagian besar hanya memiliki gabah. Itu sebabnya, kalau Pemerintah ingin membela petani di saat panen raya nanti, misalnya, maka harga gabah harus tetap berada pada kisaran Ro.7.000 hingga Rp.8.000 per kg.

Sebab, berdasarkan pengakuan jujur para petani, harga gabah pada angka tersebut, benar-benar memberi keuntungan dan kegembiraan tersendiri bagi kehidupan petani beserta keluarganya.

Baca Juga: Entang Sastraatmadja: Bulog, Mau Beli Gabah atau Beras?

Pemerintah akan lebih keren lagi, kalau pada saat panen raya beberapa waktu ke depan, dapat pula menurunkan harga beras pada angka yang wajar.

Langkah mempertahankan harga gabah pada angka Rp.7.000 hingga Rp.8.000 per kg, sekaligus menurunkan harga beras hingga Rp.13.000/Rp.14.000 per kg, bukanlah hal yang gampang untuk dilakukan. Tanpa ada terobosan cerdas, omong kosong hal itu bisa diwujudkan.

Panen raya padi, pasti akan berlangsung. Menghadapi panen raya, para petani bergarap agar Pemerintah hadir secara nyata di tengah-tengah kehidupannya. Petani ingin supaya Pemerintah betul-betul mendampingi, mengawal, mengawasi dan mengamankan panen raya, sekiranya ada pihak-pihak tertentu yang ingin mengganggu hajatannya para petani.

Baca Juga: Percakapan tentang Produksi Beras Lokal, Impor Beras, dan Mengapa Harganya Mahal

Wujud nyata pembelaan terhadap petani di saat panen raya nanti adalah sampai sejauh mana Pemerintah dapat menjaga dan mempertahankan harga gabah, agar tetap berada pada kisaran angka Rp.7.000 hingga Rp.8.000 per kg.

Seiring dengan itu, Pemerintah pun dapat menurunkan harga beras pada angka wajar menuju keseimbangan harga beras baru. Namun, jika tidak mampu mewujudkannya, lagi-lagi terjadi penindasan petani.

*Entang Sastraatmadja, Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat.

Sumber: Medsos WhatsApp@generasi pasca'45 Jateng

Berita Terkait