DECEMBER 9, 2022
Puisi

Yang Tercecer di Era Kemerdekaan (1): Jangan Panggil Aku Gadis Penghibur

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Oleh Denny JA

ORBITINDONESIA.COM - Di era pendudukan Jepang di Indonesia, 1943-1945, ribuan perempuan Indonesia dipaksa menjadi  penghibur tentara Jepang. Di masa tua, mereka menuntut permintaan maaf Jepang dan kompensasi.

 

“Aku belum ikhlas mati,

sebelum bertemu Hasan.”

Berulang mantra ini ia sebutkan.

Suaranya serak, nafas terengah.

Burung elang hitam yang pedih terbang di matanya.

Badannya sudah bau tanah.

 

Perempuan yang sakit tua itu,

bernama Rahma (1).

Zainal anak angkatnya,

sejak minggu lalu,

menemani.

Duduk di tepi ranjangnya.

 

Desember 2007, dalam usia 79 tahun, Rahma meninggal.

Zainal dititipkan sebuah foto hitam- putih yang sudah menguning.

Di foto itu, nampak sepasang remaja, dengan latar belakang stasiun Yogjakarta, tempo dulu:

Rahma dan Hasan.

 

Dari foto itu, Zainal mencari Hasan.

Ia mendapatkan kisah hidup Rahma.

Zainal menangis.

Lebih dari yang ia duga.

Hidup Rahma, hidup dengan luka yang menganga.

Di dalam luka itu,

berkubang lautan air mata.

Juga nanah yang membusuk.

 

Di usia 15 tahun,

Hasan mengantarkan Rahma ke stasiun.

“Senang hatiku, akhirnya aku menjadi penyanyi di Kalimantan,” ujar Rahma, riang dan polos.

Di tahun 1942, penjajah Jepang,

membujuk banyak perempuan muda, untuk bekerja dan berkarya.

 

Ternyata, oh ternyata.

Rahma di sekap di sebuah kamar kecil.

Ruang sepetak, ukuran 7,5 meter.

Setiap hari, ia harus melayani sekitar 10-15 tentara Jepang.

Ia dijadikan budak seks.

Ia disiksa.

Makan seadanya.

Tidur sekenanya.

Tak ada jalan keluar.

 

Berkali- kali, Rahma ingin mati.

“Ya, Tuhan, ambil saja nyawaku.”

Hanya satu yang membuatnya bertahan: cinta Hasan.

 

Kekasihnya itu di stasiun,

membisikkan untaian kata syahdu:

“Rahma, kita menikah ya,

selekasnya kau pulang dari Kalimantan.”

 

Tiga tahun Rahma menjadi gadis penghibur.

Bukan atas kehendak sendiri.

Akhirnya, tentara Jepang pergi.

Indonesia merdeka.

 

Berbeda dengan Mardiyem,

sesama gadis penghibur tentara Jepang,

Rahma menutup kisahnya rapat- rapat.

Ia pindah ke Sumatera.

Dijauhinya Kalimantan, tempat ia disiksa.

Dijauhinya Jogjakarta, tempat ia dilahirkan.

 

Sebelum Rahma mati di tahun 2007,

Rahma sudah menguburkan dirinya sendiri.

Rahma ingin hidup baru.

Tapi rasa bersalahnya pada Hasan,

selalu datang, mencakar- cakar batinnya.

 

Beberapa kali ia mencari Hasan.

Tapi Hasan entah dimana.

Cintanya pada Hasan,

membuatnya tahan derita.

Cintanya pada Hasan,

memberinya harapan.

Tapi Hasan, tak pernah dijumpainya lagi.

 

Hasan menghilang.

Menghilang entah kemana. ***

3 Mei 2024

CATATAN

(1) Kisah Rahma ini diilhami kisah Mardiyem, perempuan yang dipaksa menjadi budak seks di era kependudukan Jepang 1943-1945.

https://www.jurnalperempuan.org/tokoh-feminis/almh-mardiyem-momoye-keadilan-untuk-jugun-ianfu

Berita Terkait