Cancel Culture: Pisau Bermata Dua di Era Digital
ORBITINDONESIA.COM – Di dunia maya, cancel culture menjadi fenomena yang tak terhindarkan, menghancurkan karir dengan satu cuitan.
Pertarungan di media sosial sering kali melampaui diskusi konstruktif dan menjelma menjadi serangan pribadi. Selebritas, khususnya, menjadi target empuk dari fenomena ad hominem yang sering kali tidak relevan dengan opini yang mereka ajukan. Cancel culture menjadi ancaman nyata bagi reputasi mereka, di mana satu tagar bisa membalikkan karir yang telah dibangun selama bertahun-tahun.
Cancel culture tidak hanya menyasar selebritas dunia, tetapi juga tokoh publik di Indonesia. Dalam konteks ini, alasan pembatalan sering kali berakar pada pernyataan atau tindakan yang dianggap tidak pantas. Richard Ford dari Stanford University menyatakan bahwa meskipun beberapa aktivisme di media sosial konstruktif, cancel culture dapat membatasi perdebatan dan memicu diskriminasi. Ini menciptakan lingkungan yang tidak kondusif bagi diskusi yang sehat dan membangun.
Cancel culture, meskipun dapat digunakan untuk menarik perhatian pada isu penting, sering kali digunakan sebagai alat untuk 'menggembalakan' opini publik. Fenomena ini mendorong kita untuk menjadi hakim di dunia maya, sering kali tanpa mempertimbangkan konteks yang lebih luas. Ini menuntut kita untuk tidak hanya mengikuti arus majority atau mob mentality, tetapi untuk mengembangkan perspektif kritis dan analitis.
Cancel culture mengingatkan kita akan pentingnya etika dalam bermedia sosial. Kita harus bijak dalam menilai dan menyikapi isu, tidak hanya mengedepankan ego untuk menjatuhkan seseorang. Edukasi dan dialog yang sehat harus menjadi prioritas, bukan pemboikotan atau shaming yang destruktif. Pada akhirnya, keputusan untuk meng-cancel seseorang adalah keputusan pribadi yang harus dipertimbangkan dengan matang, demi menciptakan ruang diskusi yang lebih inklusif dan reflektif.
(Orbit dari berbagai sumber, 20 August 2025)