Amidhan Shaberah: Kepemimpinan Amanah

Oleh KH Dr. Amidhan Shaberah*

ORBITINDONESIA.COM - Banyak kalangan tokoh Islam – terutama para politisi --  menjustifikasi keterlibatan politiknya dengan kepribadian Nabi Muhammad SAW. Muhammad --  seperti terukir dalam sejarah Islam – bukan sekadar tokoh spiritual, melainkan tokoh politik dan ekonomi. 

Pelbagai peperangan yang melibatkan Muhammad di masa hidupnya seperti Perang Uhud dan Perang Badar, begitu juga pelbagai perjanjian damai dengan pihak musuh seperti yang terlihat dalam Perjanjian Madinah dan Hudaibiyah – menunjukkan bahwa Rasulullah merupakan seorang politisi. 

Dan lazimnya seorang politisi, maka keterlibatan dalam proses menuju kekuasaan pun terjadi dalam masa kehidupan Nabi.  

Sebuah momen amat indah dalam kehidupan Rasulullah tercatat ketika beliau mampu menyelesaikan konflik antarsuku dalam menyelesaikan pembangunan (renovasi) Kabah secara sangat memuaskan. Ketika itu, Muhammad diminta untuk menyelesaikan konflik antar empat suku besar di Jazirah Arab yang masing-masing ingin mendapat nama dari  pembangunan renovasi Kabah.

Saat itu, setiap suku memaksakan keinginannya untuk menjadi pihak paling bertanggungjawab atas penyelesaian pembangunan renovasi Kabah – monumen  suci yang dibangun Nabi Ibrahim – yang amat dimuliakan masyarakat. Karena tidak tercapai kesepakatan muncullah konflik. Para pemimpin suku pun mengusulkan agar Muhammad menyelesaikan konflik itu. 

Apa yang dilakukan Muhammad untuk menyelesaikan konflik itu? Ternyata sederhana tapi indah.  Muhammad membentangkah kain Kabah berbentuk persegi  ke empat penjuru mata angin. Tiap kepala suku diminta Muhammad untuk memegang ujung kain tersebut.

Lantas Muhammad pun menaruh batu hitam di tengah kain. Dan seterusnya, mereka diminta  mengangkat kain untuk menyelebungi Kabah. Akhirnya pembangunan renovasi Kabah yang menimbulkan konflik antarsuku pun selesai dengan memuaskan semua pihak.  

Dari sanalah, Muhammad mendapat gelar  Al-Amin atau orang  yang dipercaya, amanah, jujur, dan adil dari masyarakatnya. 

Al-Amin Sebagai Proses 

Gelar Al-Amin – orang yang dapat dipercaya dan memegang amanah --  kepada Muhammad yang diberikan oleh masyarakat Arab saat itu, tentu saja bukan datang serta merta hanya karena peristiwa konflik dalam renovasi Kabah. Sebelumnya, masyarakat Arab – khususnya suku Quraisy – telah mengamati sepak terjang Muhammad dalam kehidupan sehari-harinya.

Ketika Muhammad ikut berdagang ke Syam (Suriah), misalnya, mereka mengamati perilaku dagang Muhammad yang amat jujur bila menawarkan barang-barang kepada pembelinya. Mereka juga mengamati perilaku Muhammad ketika menghitung pembagian hasil dari upah menggembala kambing dan berdagang. Semuanya dilakukan Muhammad dengan kejujuran tanpa kompromi. 

Hal yang sama dilakukan Muhammad dalam menghadapi setiap konflik antarsuku dan konflik di keluarga besar suku Quraisy. Muhammad selalu menyelesaikan permasalahan dengan adil dan jujur. Muhammad pernah menyatakan, seandainya Fatimah – putri kesayangannya -- mencuri, maka beliau akan menghukumnya dengan adil seperti pencuri-pencuri lain dan tidak membedakan perlakuan hukum atasnya. 

Pelbagai perilaku dan perjalanan hidup Muhammad sejak kecil, remaja, dewasa, hingga mejadi pemimpin itulah yang kemudian  membuahkan gelar Al-Amin. Gelar itu tentu saja tidak diminta Muhammad, tapi masyarakatlah yang memberuikannya. Gelar itu didapat Muhammad melalu proses panjang yang teruji dan dapat diverifikasi oleh siapa pun.  

Ironi Politisi

Keteladanan Muhammad yang indah itu, sering menjadi “justifikasi”  tokoh politisi Indonesia, yang mayoritas bergama Islam. Dalam situasi pemilihan presiden yang secara strategi politik niscaya calon presiden (capresnya) beragama Islam, kehidupan Muhammad sering menjadi tema kampanye capres.

Dan setiap capres selalu berjanji untuk mejadi pemimpin yang amanah, bersih, dan jujur (al-amin). Mereka, para capres yang (sejauh ini) beragama Islam rupanya terinspirasi dari kepemimpinan Muhammad yang adil, jujur, dan amanah  untuk kemudian ditransformasikan ke dalam tema-tema kampanye kepresidenanya. 

Seorang capres dalam pelbagai iklannya di media massa berjanji untuk menjadi presiden yang bersih dan melayani rakyat. Begitu pula yang dilakukan oleh capres yang lain. 

Tema kampanye mereka berada di sekitar makna al-amin: bersih, adil, jujur, dan amanah. 

Persoalannya kemudian: Pantaskah para capres tersebut mengusung tema-tema al-amin dalam kampanye pemilu presiden, padahal masyarakat sudah tahu sepak terjang para capres tersebut sebelumnya? Para capres tampaknya terlalu mensimplifkasi gelar al-amin untuk tujuan-tujuan jangka pendeknya tanpa sedikit pun kikuk melihat masa lalu kehidupannya. 

Jika Muhammad memperoleh gelar Al-Amin setelah  umat memperhatikan perilaku beliau sejak kecil, remaja, dewasa hingga berkuasa – para capres rupanya ingin mendapat gelar al-amin hanya untuk sekadar “kendaraan” guna mendapatkan kemenangan dalam pemilu presiden. 

Barangkali inilah perbedaan fundamental antara proses pencapaian gelar al-Amin antara Muhammad dan capres. 

Muhammad mendapat predikat Al-Amin  tanpa kehendaknya, sementara capres ingin mendapat predikat al-amin melalu berbagai upaya pencitraan  dan rekayasa habis-habisan. 

Mereka memasang iklan di layar kaca, media massa, dan billboard pinggir jalan untuk mendapatkan predikat pemimpin al-amin dari rakyat. 

Para capres rupanya – pinjam sinisme Jean Paul Sartre – telah memaafkan dan mensucikan dirinya sendiri dari segala dosa  untuk kemudian merasa berhak memakai predikat al-amin.   

Muhammad memang hidup di zaman yang masih tradisional, di mana rakyat hanya bisa menilai pemimpinnya melalui sebuah proses yang panjang dan alamiah. Di masa sekarang, di zaman cyber semuanya bisa direkayasa. Sebuah proses penilaian yang panjang dan alamiah bisa direkayasa menjadi penilian yang instan dan digital hanya dalam beberapa menit. 

Hasilnya yang tersebar di masyarakat sama: bahwa si A adalah baik dan amanah. Sedang si B adalah jujur dan demkratis. Penilaian instan dan digital yang penuh rekayasa ini seakan merupakan penilaian yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan. Inilah ironi kemajuan teknologi informatika yang kini mendominasi dunia.

Umat Muhammad saat ini gandrung meraih gelar al-amin. Sayangnya gelar itu tidak muncul dari sebuah proses yang panjang dan alamiah seperti yang terjadi pada era Muhammad, tapi sebaliknya gelar itu muncul secara mendadak dan manipulatif untuk tujuan-tujuan jangka pendek. 

Kita pun bisa membayangkan, kepemimpinan macam apakah yang akan diterima masyarakat Indonesia jika proses untuk menaiki tangga kekuasaan dicapai dengan rekayasa dan manipulasi? 

Rasul Muhammad menyatakan: orang yang pertama masuk neraka adalah pemimpin yang korup dan manipulatif. Ini terjadi karena kepemimpinannya telah merusak moral dan menyebabkan penderitaan masyarakat.

*KH Dr. Amidhan Shaberah, Ketua MUI 1995-2015/Komisioner Komnas HAM 2002-2007. ***