Amidhan Shaberah: ICC Tolak Banding Netanyahu

Oleh Dr. Amidhan Shaberah, Ketua MUI 1995-2015/Komisioner Komnas HAM 2002-2007

ORBITINDONESIA.COM - Kabar dari Den Haag akhirnya mengguncang diplomasi dunia: Mahkamah Pidana Internasional (ICC) menolak banding Israel atas perintah penahanan terhadap Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant. 

Ini artinya, surat perintah penangkapan terhadap dua pejabat tinggi Israel itu tetap berlaku. Dunia, yang selama ini seolah tak berdaya menyaksikan tragedi Gaza, kini memiliki secercah alasan untuk percaya: hukum internasional belum sepenuhnya mati.

Salah satu yang paling lantang menyambut keputusan itu adalah Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid (HNW). Ia menyebut langkah ICC sebagai “tonggak penting dalam menegakkan keadilan bagi korban kejahatan kemanusiaan di Gaza.”

“Keputusan ICC yang menolak banding Israel perlu diapresiasi dan didukung. Ini menjadi penegasan agar Netanyahu dan Gallant segera ditangkap oleh negara anggota ICC demi tegaknya keadilan hukum dan terwujudnya perdamaian,” ujar HNW, Senin, 20 Oktober 2025.

Menurutnya, gencatan senjata atau perjanjian damai tidak bisa dijadikan tameng untuk menghapus dosa perang. “Israel sudah melanggar lebih dari 48 kali sejak gencatan senjata, termasuk serangan udara yang menewaskan warga sipil dan penutupan akses bantuan kemanusiaan ke Gaza. Keputusan ICC harus segera dilaksanakan, agar tragedi kemanusiaan tak terus berulang,” tegasnya.

Namun, suara dukungan terhadap ICC kali ini tidak hanya datang dari Jakarta. Dari Eropa hingga Amerika, sejumlah pemimpin politik dan tokoh moral ikut mengapresiasi langkah berani Den Haag tersebut.

Pedro Sánchez, Perdana Menteri Spanyol, menyebut keputusan ICC sebagai “kemenangan kecil bagi kemanusiaan di tengah kebisuan politik global.” Dalam pernyataannya di Madrid, Sánchez mengatakan:

“Ini bukan soal agama atau ideologi, tapi soal nilai universal — bahwa siapapun yang memerintahkan pembunuhan ribuan warga sipil harus mempertanggungjawabkannya di depan hukum.”

Dukungan serupa datang dari Gustavo Petro, Presiden Kolombia, yang memang sejak awal menjadi salah satu pemimpin paling keras mengkritik Israel. Melalui akun resminya di media sosial, Petro menulis bahwa dunia tak boleh lagi tunduk pada impunitas.

“Keputusan ICC adalah langkah kecil menuju dunia yang lebih beradab. Netanyahu bukan simbol keamanan, melainkan wajah kejahatan yang selama ini dilindungi politik global,” tulisnya.

Di Inggris, anggota parlemen Partai Buruh Jeremy Corbyn — yang sejak lama menyerukan embargo terhadap Israel — menilai langkah ICC itu “sebuah preseden moral.”

“Kini pengadilan internasional menunjukkan bahwa bahkan seorang perdana menteri pun bisa dimintai pertanggungjawaban. Dunia perlu belajar bahwa keadilan tak boleh selektif,” ujar Corbyn dalam wawancara dengan BBC.

Dari Amerika Serikat, komentar lebih hati-hati datang dari Senator Bernie Sanders, tokoh progresif Partai Demokrat. Meski Washington masih menjadi sekutu utama Israel, Sanders menegaskan pentingnya menghormati lembaga internasional.

“Jika kita benar-benar percaya pada hukum internasional, maka keputusan ICC harus dihormati, tak peduli siapa yang menjadi terdakwa,” katanya.

Sementara itu, di Eropa Timur, Ursula von der Leyen, Presiden Komisi Eropa, menyampaikan pandangan yang cukup mengejutkan. Dalam pernyataan resmi, ia menegaskan bahwa Uni Eropa mendukung supremasi hukum internasional, termasuk keputusan ICC.

“Uni Eropa mendukung keadilan tanpa pandang bulu. Korban di Gaza berhak atas kebenaran, dan dunia berhak atas keadilan,” katanya di Brussels.

Keputusan ICC ini seolah menampar logika politik global yang selama ini membiarkan Israel bertindak tanpa batas. Selama lebih dari setahun, laporan-laporan dari lembaga kemanusiaan internasional menunjukkan bukti kejahatan yang sistematis: penyiksaan terhadap tawanan Palestina, pemboman fasilitas sipil, dan blokade yang menyebabkan jutaan orang kelaparan.

Data mencatat: lebih dari 67.000 warga Palestina tewas, 169.000 luka-luka, dan 2,3 juta terpaksa mengungsi. Angka-angka ini lebih menyerupai statistik perang dunia ketimbang “operasi pertahanan diri.”

Hidayat Nur Wahid menegaskan, dokumen perdamaian yang ditandatangani di hadapan Donald Trump dan sejumlah pemimpin dunia tidak memuat klausul penghapusan perkara pidana di ICC maupun ICJ. Maka, penolakan banding Israel oleh ICC bukan hanya sah secara hukum, tapi juga legitimasi moral bahwa dunia tak bisa lagi menutup mata terhadap genosida di Gaza.

Menariknya, bahkan Donald Trump — sang arsitek perjanjian damai — kali ini ikut mendukung langkah ICC secara terbuka. Dalam konferensi pers di Washington, Trump berkata:

 “Kesepakatan perdamaian tidak boleh dijadikan alasan untuk menghapus kejahatan perang. Semua pihak harus diperlakukan adil — termasuk warga Gaza yang menjadi korban.”

Kini bola panas ada di tangan negara-negara anggota ICC. Apakah mereka berani melaksanakan perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan Gallant, atau justru membiarkan hukum internasional kembali menjadi tontonan tanpa gigi?

Dunia sedang diuji — antara moralitas dan kepentingan politik.

Dan di antara reruntuhan Gaza, jutaan warga Palestina masih menatap langit yang kelabu, menunggu satu hal yang kini terasa sedikit lebih mungkin: keadilan.***