Satu Tahun Pemerintahan Prabowo–Gibran: Antara Stabilitas dan Ujian Tata Kelola

Oleh Pius Lustrilanang*

ORBITINDONESIA.COM - Satu tahun sudah pemerintahan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka berjalan. Dari Istana hingga jalanan pasar, dari pelaku usaha hingga masyarakat kecil, semua kini mulai menilai arah baru yang dibawa duet presiden dan wakil presiden termuda dalam sejarah republik ini.

Apakah perubahan besar yang dijanjikan mulai terasa? Atau justru stabilitas yang menjadi prestasi utama tahun pertama?

Ekonomi: Stabil, Tapi Belum Melonjak

Dari sisi makro, ekonomi Indonesia mencatat pertumbuhan 5,12% (yoy) pada Triwulan II-2025 dan 4,99% (c-to-c) sepanjang semester pertama. Data Badan Pusat Statistik (5 Agustus 2025) menunjukkan daya tahan ekonomi yang cukup baik di tengah gejolak global. Inflasi juga terkendali di 2,65% (yoy) per September 2025, menurut rilis BPS 1 Oktober 2025, mencerminkan stabilitas harga bahan pokok yang relatif terjaga.

Namun, di balik angka stabil itu, daya beli masyarakat belum meningkat signifikan. Kebijakan efisiensi fiskal melalui Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2025, yang memangkas belanja hingga Rp306,7 triliun, memberi sinyal disiplin fiskal, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran: jangan-jangan efisiensi besar justru menahan pergerakan ekonomi rakyat.

Kesejahteraan: Angka yang Membaik

Ada kabar baik dari front sosial. Tingkat kemiskinan turun menjadi 8,47% per Maret 2025, setara dengan 23,85 juta orang (BPS, 25 Juli 2025). Tingkat pengangguran terbuka (TPT) juga turun ke 4,76% per Februari 2025, level terendah sejak krisis 1998. Bahkan Indeks Gini membaik dari 0,381 (Sept 2024) menjadi 0,375 (Maret 2025).

Angka-angka ini menunjukkan kebijakan sosial mulai berdampak. Namun, pemerataan antarwilayah masih menjadi tantangan: Pulau Jawa tetap menyumbang porsi terbesar pertumbuhan, sementara wilayah timur masih tertinggal dari sisi pendapatan dan lapangan kerja.

Tata Kelola Fiskal: Disiplin dengan Risiko

Langkah efisiensi lewat Inpres 1/2025 merupakan gebrakan besar. Pemerintah mengklaim penghematan ini akan meningkatkan fokus pada program prioritas dan menekan pemborosan. Kementerian Keuangan dalam laporan 17 Oktober 2025 menyebut penguatan tata kelola fiskal sebagai capaian utama setahun pemerintahan.

Namun, kritik muncul karena pemangkasan drastis ini berpotensi menunda proyek-proyek pembangunan dan mengganggu layanan publik di daerah. Pemerintah harus membuktikan bahwa efisiensi ini bukan sekadar pemotongan anggaran, tetapi juga peningkatan produktivitas dan akuntabilitas birokrasi.

Program Makan Bergizi Gratis: Ambisi dan Kontroversi

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi simbol paling konkret dari janji kampanye Prabowo. Diluncurkan Januari 2025, program ini menargetkan 83 juta penerima, namun hingga Oktober 2025 baru menjangkau sekitar 70 juta orang dengan 11.000 dapur yang melayani 35,4 juta anak sekolah (Reuters, 16 Oktober 2025).

Kendala utama datang dari aspek logistik dan keamanan pangan. Serangkaian kasus keracunan—dari laporan AP (akhir September) hingga CNN Indonesia (19 September 2025)—menyebut lebih dari 5.000 anak terdampak, bahkan menurut Transparency International Indonesia (6 Oktober 2025) mencapai 9.413 kasus. Pemerintah menutup sekitar 40 dapur dan memperketat SOP makanan olahan.

Program ini menunjukkan niat baik dan dampak ekonomi besar—memicu produksi pangan lokal dan penyerapan tenaga kerja—namun sekaligus mengingatkan kita pada satu hal penting: governance matters. Skala besar tanpa pengawasan ketat justru bisa menimbulkan risiko sosial.

Hukum, Pers, dan Antikorupsi: Mixed Signals

Di bidang hukum dan tata kelola, sinyal yang muncul masih beragam. Indeks Persepsi Korupsi (CPI 2024) yang dirilis Januari 2025 mencatat skor 37/100, naik tiga poin dari tahun sebelumnya—sebuah indikasi bahwa upaya antikorupsi kembali dihidupkan. Presiden sendiri dalam pidato kenegaraan 17 Agustus 2025 menegaskan komitmen melawan korupsi dan “serakahnomics”.

Namun, di sisi lain, kebebasan pers justru memburuk. Indonesia turun ke peringkat 127 dunia (RSF, 2025), merosot 16 posisi dibanding tahun sebelumnya. Kasus pencabutan kartu liputan wartawan CNN pada September lalu—meskipun akhirnya dipulihkan—menjadi simbol tarik-menarik antara kontrol dan kebebasan dalam era komunikasi politik baru.

Persepsi Publik: Antara Optimisme dan Kritik

Survei berbagai lembaga menunjukkan kontras menarik. Poltracking Indonesia (3–10 Oktober 2025) mencatat 78,1% responden puas terhadap kinerja Prabowo–Gibran. IndoStrategi (18–20 Oktober 2025) memberi nilai 3,07 dari 5, kategori “sedang menuju baik”.

Namun, CELIOS (20 Oktober 2025) justru memberikan rapor 3 dari 10, menyoroti lemahnya implementasi janji kampanye dan tata kelola program. Dua wajah survei ini menggambarkan dilema umum pemerintahan muda: narasi besar diterima publik, tapi hasil teknis masih dalam proses.

Refleksi

Setahun ini seolah menjadi ujian kedewasaan bagi Presiden Prabowo: bagaimana menyeimbangkan kekuatan militeristik dalam gaya kepemimpinan dengan kebutuhan manajemen sipil yang transparan. Stabilitas tercapai, tetapi reformasi birokrasi, digitalisasi layanan publik, dan pembangunan berkelanjutan masih menunggu langkah besar.

Seperti kata pepatah Latin: Festina lente—bergegaslah dengan tenang. Setelah satu tahun menanam fondasi, ujian sebenarnya baru dimulai: menjaga momentum agar stabilitas tidak berubah menjadi stagnasi.

Prof. Dr. Pius Lustrilanang
Komisaris Independen PT Aneka Tambang Tbk, Aktivis Reformasi 1998 ***