Alquran Berbicara: Dari Kerusakan Moral Menuju Krisis Ekologis Global

Oleh Ali Samudra

ORBITINDONESIA.COM - Ketika Al-Qur’an menyatakan, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan tangan manusia” (QS. Ar-Rūm: 41), ayat ini sering dibaca sebagai kritik ekologis. Namun ada satu pertanyaan mendasar yang jarang diajukan: kerusakan apa yang dimaksud Al-Qur’an, ketika ayat itu turun di dunia yang belum mengenal industri, mesin, dan teknologi perusak lingkungan?

Umat-umat terdahulu hidup dengan jumlah penduduk yang relatif sedikit. Teknologi mereka sederhana. Dampak ekologisnya nyaris tak signifikan jika dibandingkan dengan zaman modern yang menyaksikan deforestasi massal, pencemaran laut, dan krisis iklim global. Namun, Al-Qur’an tetap menamai mereka sebagai mufsidūn—para perusak bumi. Di sinilah letak kedalaman cara baca Al-Qur’an: ia tidak menunggu kerusakan membesar untuk menamainya sebagai fasad.

Kerusakan yang Tidak Selalu Berupa Polusi

Al-Qur’an tidak memulai pembicaraan tentang kerusakan dari hutan, sungai, atau laut. Ia memulainya dari manusia. Dalam kosakata Qur’ani, fasad bukan semata kerusakan fisik, melainkan kondisi ketika sesuatu keluar dari tujuan penciptaannya. Kerusakan pertama-tama adalah kerusakan arah, bukan volume.

Karena itu, kaum ʿAd disebut perusak bukan karena mereka mencemari bumi, tetapi karena kesombongan peradaban mereka. Fir‘aun disebut perusak bukan karena emisi karbon, melainkan karena kekuasaan yang menindas dan menuhankan diri. Kaum Madyan dikritik bukan karena merusak alam, tetapi karena merusak keadilan ekonomi dan menipu dalam timbangan.

Kerusakan mereka bersifat moral dan struktural, bukan ekologis dalam pengertian modern. Namun justru di situlah akar dari segala kehancuran. Ketika etika runtuh, alam hanya menunggu giliran.

Al-Qur’an Membaca Watak, Bukan Teknologi

Ketika malaikat bertanya, “Apakah Engkau akan menjadikan di bumi makhluk yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah?” (QS. Al-Baqarah: 30), yang dibaca bukanlah alat yang dimiliki manusia, melainkan wataknya. Manusia diberi kehendak bebas, daya cipta, dan ambisi. Jika ketiganya berjalan tanpa etika dan amanah, kerusakan hanyalah soal waktu.

Teknologi bukan pencipta kerusakan. Ia hanya pengganda.

Dosa-dosa lama manusia—keserakahan, kesombongan, eksploitasi—tetap sama, hanya kini memiliki daya rusak yang jauh lebih besar.

Manusia modern tidak menemukan dosa baru. Ia hanya menemukan cara yang lebih efisien untuk mengulang dosa lama. Apa yang dahulu bersifat lokal kini menjadi global. Apa yang dahulu lambat kini menjadi eksponensial. Maka ayat QS. Ar-Rūm:41 terasa seolah diturunkan untuk zaman ini—bukan karena baru, tetapi karena kini menjadi nyata.

Sumatra 2025: Fasad yang Menjadi Kenyataan

Peringatan Al-Qur’an itu kini tampak nyata di Pulau Sumatra. Sejak 24 November 2025, banjir bandang dan longsor besar melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Ini bukan bencana satu-dua hari, melainkan kehancuran berkepanjangan.

Hingga 18 Desember 2025, laporan lapangan BNPB menunjukkan: 51 kabupaten/kota terdampak; 1.068 orang meninggal dunia; 190 orang masih dinyatakan hilang; 147.236 rumah rusak atau hancur, 514.200 orang mengungsi (setelah lebih dari 3 minggu kejadian), ratusan desa terisolasi akibat jalan dan jembatan putus.          

Namun angka-angka itu tidak sepenuhnya mampu menggambarkan kenyataan. Di balik statistik, ada keluarga yang hampir satu bulan hidup tanpa rumah, anak-anak yang berhenti sekolah, lansia yang bertahan di tenda darurat, dan desa-desa yang terputus dari dunia luar tanpa akses jalan, listrik, pangan dan layanan kesehatan.

Negara, Oligarki, dan Produksi Bencana

Banjir dan longsor di Sumatra bukan semata akibat hujan ekstrem. Ia adalah bencana yang diproduksi manusia. Deforestasi masif, alih fungsi lahan yang serampangan, pertambangan dan konsesi skala besar, serta lemahnya pengawasan negara telah merusak daerah hulu dan memperparah dampak bencana.

Di Aceh, sebagian masyarakat bahkan menyatakan bahwa kerusakan ekologis hari ini lebih menghancurkan secara jangka panjang dibandingkan tsunami 2004. Tsunami adalah bencana alam yang datang dan pergi. Tetapi kerusakan ekologis akibat tangan manusia adalah bencana yang diwariskan, pelan tetapi terus-menerus, lintas generasi.

Di sinilah persoalan menjadi politis. Negara kerap tampil bukan sebagai pelindung rakyat, melainkan sebagai penjamin kepentingan oligarki. Regulasi dilonggarkan, peringatan ekologis diabaikan, dan suara masyarakat adat serta petani kecil dipinggirkan. QS. Al-Baqarah ayat 205 seolah membaca situasi ini sejak awal: “Apabila ia berkuasa, ia berusaha membuat kerusakan di bumi dan membinasakan tanaman serta ternak.”

Rakyat miskin akhirnya menjadi korban ganda: korban kerusakan alam dan korban kebijakan yang abai.

Ketika Khalifah Berubah Menjadi Predator

Al-Qur’an tidak pernah menyebut manusia sebagai pemilik bumi. Ia menyebutnya khalifah—penjaga dan pemikul amanah. Status ini bukan kehormatan kosong, melainkan tanggung jawab etis yang berat. Khalifah bukanlah makhluk yang bebas mengeksploitasi, melainkan yang terikat oleh batas-batas moral.

Namun krisis ekologis global hari ini menandai sebuah pergeseran besar: manusia modern berhenti menjadi khalifah, dan mulai bertindak sebagai predator. Alam tidak lagi dipandang sebagai ayat-ayat Tuhan yang hidup, melainkan sebagai komoditas mati. Hutan berubah menjadi angka konsesi. Sungai menjadi saluran limbah. Gunung menjadi cadangan tambang.

Di titik ini, fasād bukan lagi penyimpangan individual, melainkan sistem peradaban. Kerusakan tidak lahir dari ketidaktahuan, melainkan dari kesadaran yang sengaja dibungkam. Ilmu tersedia, data lengkap, peringatan ada—namun kehendak politik justru memilih menutup mata. Inilah fasād paling berbahaya: kerusakan yang disadari, tetapi tetap dilanjutkan.

Al-Qur’an mengingatkan bahwa amanah pernah ditawarkan kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, namun mereka menolaknya karena berat (QS. Al-Ahzab: 72). Manusia menerimanya—dan di situlah ujiannya. Ketika amanah dikhianati, bencana bukan lagi peringatan, melainkan konsekuensi.

Jalan Keluar: Etika Qur’ani dan Kebijakan Berpihak pada Rakyat

Bencana Sumatra 2025 adalah momen ketika Al-Qur’an dan alam berbicara dalam satu suara. Yang satu melalui ayat, yang lain melalui banjir, longsor, dan penderitaan manusia. Keduanya menyampaikan pesan yang sama: peradaban tanpa etika akan runtuh oleh tangannya sendiri.

Kerusakan bumi bukan kegagalan alam, melainkan kegagalan manusia menjaga amanah. Dan selama negara terus tunduk pada kepentingan segelintir orang, sementara rakyat miskin menjadi korban, maka peringatan Al-Qur’an akan terus berulang—dengan harga yang semakin mahal.***

Pondok Kelapa, 19 Desember 2025

REFERENSI:

Abdullah Yusuf. The Holy Qur’an: Text, Translation and Commentary. Maryland: Amana Corporation, 1983.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Laporan Situasi Banjir dan Longsor di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat, 18 Desember 2025.

(Tulisan ini adalah pengantar diskusi Ba'da Salat Jumat, 19 Desember 2025 Masjid Baitul Muhajirin - Pondok Kelapa - Jakarta Timur) ***