BRICS Literary Award: Panggung Baru Sastra Dunia Non-Barat

ORBITINDONESIA.COM - Ketika penghargaan sastra dunia selama ini didominasi nama-nama dari Eropa dan Amerika, sebuah inisiatif baru muncul dari poros selatan: BRICS Literary Award.

Didirikan oleh negara-negara anggota BRICS — Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan — penghargaan ini lahir dari gagasan sederhana namun kuat: membangun jembatan budaya di antara negara-negara berkembang yang memiliki suara, sejarah, dan imajinasi sendiri.

Tujuan utama penghargaan ini bukan sekadar mencari “penulis terbaik”, tetapi menghidupkan kembali nilai, tradisi, dan pengalaman hidup masyarakat di tiap negara. BRICS ingin menunjukkan bahwa sastra dari Global Selatan tak kalah kaya, reflektif, dan universal dibandingkan karya dari dunia Barat.

Dalam pernyataan resminya, panitia menekankan bahwa penghargaan ini akan “menarik perhatian komunitas dunia terhadap literatur yang mencerminkan jiwa bangsa.”

Setiap negara anggota memiliki national expert council yang menyeleksi karya untuk diajukan ke tingkat internasional. Setelah itu, juri lintas negara menilai karya berdasarkan kedalaman refleksi budaya, kekhasan nilai lokal, dan relevansi universalnya.

Proses seleksi dilakukan berjenjang — mulai dari longlist yang diumumkan di Brasil, shortlist di akhir tahun, hingga pengumuman pemenang yang dijadwalkan berlangsung di Moskow pada November 2025.

Hadiah utamanya cukup simbolis: medali kehormatan dan uang sebesar satu juta rubel Rusia. Namun, yang lebih penting dari angka itu adalah pengakuan internasional yang menyertainya. Pemenang tak hanya akan diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa BRICS, tapi juga mendapat akses ke jaringan penerbitan dan festival sastra di seluruh dunia.

Inisiatif ini jelas memiliki lapisan geopolitik. Di tengah rivalitas global, BRICS menggunakan sastra sebagai instrumen diplomasi budaya — cara halus untuk menegaskan bahwa kekuatan bukan hanya soal ekonomi dan militer, tapi juga narasi. Sastra menjadi medan tempat bangsa-bangsa ini menampilkan “siapa kita”, dengan segala kompleksitas sosial dan spiritualnya, tanpa harus meniru gaya Barat.

Menariknya, dalam daftar panjang (longlist) BRICS Literary Award 2025, sudah muncul nama-nama dari Indonesia. Di antaranya Iksaka Banu, Intan Paramaditha, dan Denny JA. Kehadiran mereka menandai peluang baru bagi sastra Indonesia untuk menembus lingkaran literasi dunia, kali ini bukan melalui pintu Eropa, melainkan melalui solidaritas kultural negara-negara Global Selatan.

Bagi Indonesia, partisipasi ini lebih dari sekadar kompetisi sastra. Ia membuka jalan bagi diplomasi budaya yang lebih luas — memperkenalkan nilai-nilai, kisah, dan cara pandang Nusantara ke panggung dunia. Dalam konteks global yang kini tengah menata ulang keseimbangan kekuasaan, suara sastra dari selatan dunia menjadi semakin penting: ia mengingatkan bahwa kemanusiaan tidak hanya tumbuh dari pusat-pusat kekuasaan, tetapi juga dari tepian yang tahu bagaimana merasakan.

BRICS Literary Award bukan sekadar ajang penghargaan, tapi pernyataan: bahwa dunia tak bisa lagi hanya mendengar dari satu arah. Sastra, dalam bentuk paling jujur dan terbuka, sedang memimpin revolusi sunyi — mengembalikan makna tentang siapa yang berhak bercerita, dan siapa yang didengarkan.

Sejauh penelusuran hingga Oktober 2025, belum ada pemenang yang diumumkan secara resmi untuk BRICS Literary Award — penghargaan sastra yang baru dibentuk dan akan mengadakan seremoni pemenang pertamanya pada November 2025 di Moskwa.

Penghargaan ini didirikan pada November 2024 pada forum negara-anggota BRICS, dan edisi pertama akan mulai dengan longlist pada September 2025.

Negara-negara mitra (contoh: Iran) sudah mengajukan kandidat untuk edisi pertama longlist, namun hingga sekarang hanya sebagai nominasi, belum sebagai pemenang.***