Resensi Buku The Future of Just Transitions: Theory and Implementation - Menggeser Fokus dari Energi ke Keadilan

ORBITINDONESIA.COM- Buku The Future of Just Transitions: Theory and Implementation yang disunting oleh Darren McCauley dan rekan-rekannya merupakan salah satu karya paling signifikan dalam kajian transisi energi global pasca-pandemi.

Terbit pada 2024, buku ini berupaya menggeser fokus diskursus energi dari sekadar "peralihan teknologi" menuju "peralihan nilai" — dari sekadar mengganti sumber daya fosil ke sumber terbarukan, menjadi perjuangan menuju keadilan sosial, ekonomi, dan ekologis yang lebih luas.

Para penyuntingnya bukan nama baru dalam wacana ini. Darren McCauley dan Benjamin Sovacool dikenal sebagai dua tokoh kunci dalam riset energy justice dan sustainability transitions. 

Sementara Leah Temper mewakili perspektif environmental justice dari gerakan sosial di Amerika Latin, dan Kirsten Jenkins membawa pendekatan kebijakan energi berbasis etika. Kombinasi keempatnya menghasilkan sebuah karya yang kaya secara konseptual, interdisipliner, dan juga reflektif terhadap praktik kebijakan global.

Buku ini tidak hanya menawarkan teori baru, tetapi juga mencoba memformulasikan arsitektur keadilan transisi energi — suatu sistem konseptual yang berupaya menyeimbangkan tuntutan ekonomi, sosial, dan ekologis dalam perubahan menuju energi bersih.

Bab-Bab Utama: Dari Landasan Teori hingga Kasus Lapangan

Struktur buku ini dibagi menjadi tiga bagian besar: (1) Teori dan Evolusi Konsep Just Transition, (2) Implementasi dan Kasus Lapangan, serta (3) Masa Depan Politik Energi yang Adil.

Pertama: Teori dan Evolusi Konsep

Bagian pertama membuka ruang bagi refleksi teoretis mendalam. McCauley dan Sovacool menelusuri sejarah gagasan just transition yang awalnya berakar pada gerakan serikat buruh di Amerika Serikat pada 1980-an.

Dari konsep yang menekankan kompensasi pekerja tambang yang kehilangan pekerjaan, kini konsep tersebut telah melebar mencakup dimensi gender, kolonialisme, dan hak masyarakat adat.

Leah Temper menulis bab penting berjudul "From Compensation to Transformation", yang menegaskan bahwa transisi energi sejati tidak cukup “memperbaiki” sistem lama, melainkan harus mentransformasikan cara kita memahami hubungan antara manusia dan alam.

Kedua: Implementasi dan Kasus Lapangan

Bagian kedua menyajikan serangkaian studi kasus yang luas — dari upaya dekarbonisasi di Polandia dan Afrika Selatan, hingga transformasi ekonomi berbasis energi surya di India dan Meksiko.

Bab tentang Indonesia juga menarik perhatian, menyoroti dilema transisi batubara di Kalimantan, yang menempatkan pemerintah dalam tekanan antara janji iklim dan kepentingan ekonomi nasional.

Setiap kasus tidak hanya disajikan deskriptif, tetapi dianalisis dalam kerangka justice lens — keadilan distribusi, keadilan pengakuan, dan keadilan prosedural.

Model tiga dimensi ini menjadi sumbu konseptual seluruh buku: siapa yang mendapat manfaat, siapa yang menanggung beban, dan siapa yang punya suara dalam pengambilan keputusan.

Ketiga: Masa Depan Politik Energi yang Adil

Bagian terakhir bersifat reflektif dan spekulatif. Para penulis memperdebatkan masa depan just transition dalam konteks geopolitik baru: meningkatnya ketegangan utara-selatan, perang sumber daya, dan dominasi perusahaan multinasional dalam rantai pasok mineral transisi (lithium, kobalt, nikel).

Bab pamungkas oleh Sovacool dan Jenkins menegaskan bahwa masa depan transisi energi akan ditentukan bukan oleh kecepatan teknologi, melainkan oleh keberanian moral dan politik untuk memastikan bahwa energi bersih tidak lahir dari ketidakadilan baru.

Kekuatan Buku: Keseimbangan Antara Teori dan Realitas

Kekuatan utama The Future of Just Transitions terletak pada keseimbangan yang jarang ditemukan: ia menyatukan refleksi filosofis dan data empiris dengan sangat anggun.

Pendekatan lintas disiplin yang digunakan — menggabungkan ilmu politik, ekonomi, sosiologi, hingga etika lingkungan — menjadikan buku ini tidak hanya relevan bagi akademisi, tetapi juga bagi pembuat kebijakan dan aktivis.

Salah satu aspek paling mengesankan adalah keberanian penulis untuk menantang paradigma “net zero” yang terlalu teknokratik.

Mereka mengingatkan bahwa tanpa keadilan sosial, proyek dekarbonisasi justru bisa melahirkan kolonialisme hijau — di mana negara kaya beralih energi bersih dengan mengekstraksi sumber daya dan tenaga kerja murah dari selatan global.

Selain itu, gaya tulisnya relatif mudah diikuti, meskipun tetap padat teori.

Setiap bab ditutup dengan refleksi praktis dan rekomendasi kebijakan, menjadikannya bacaan ideal bagi lembaga think-tank dan lembaga pembangunan internasional.

Kelemahan: Keterbatasan Representasi dan Kompleksitas Bahasa

Meski begitu, The Future of Just Transitions tidak tanpa kekurangan. Sebagian pembaca mungkin merasa bahwa buku ini terlalu Euro-sentris dalam kerangka teorinya, terutama di bagian awal yang masih berpusat pada pengalaman industri batubara di Eropa Timur.

Meskipun bab-bab selanjutnya mencoba memperluas cakupan geografis, proporsi studi kasus Global South masih kalah banyak dibandingkan kawasan Global North.

Bahasa akademis yang digunakan — terutama pada bab teori awal — juga bisa terasa berat bagi pembaca non-akademisi. Term seperti ontological justice, ecological citizenship, atau decolonial transitions membutuhkan pembacaan mendalam untuk dicerna dengan baik.

Namun bagi pembaca yang sabar, kedalaman tersebut justru memberi dimensi baru pada wacana keadilan energi.

Relevansi bagi Indonesia dan Asia Tenggara

Dalam konteks Indonesia, buku ini relevan bukan hanya karena negeri ini sedang menghadapi agenda penghentian batubara, tetapi juga karena kompleksitas sosialnya.

Ketika pemerintah mendorong percepatan Just Energy Transition Partnership (JETP), perdebatan yang diangkat McCauley dkk. menjadi semakin penting: siapa yang benar-benar diuntungkan oleh transisi ini?

Buku ini membantu pembaca Indonesia untuk melihat bahwa transisi energi yang adil bukan sekadar mengganti PLTU dengan PLTS, tetapi menuntut rekonstruksi struktur ekonomi, peran masyarakat lokal, dan pola distribusi manfaat.

Konsep procedural justice — keterlibatan komunitas dalam pengambilan keputusan — bisa menjadi acuan etis dalam desain kebijakan energi nasional.

Penutup: Menuju Transisi yang Manusiawi

The Future of Just Transitions: Theory and Implementation adalah sebuah karya penting yang mengingatkan bahwa masa depan energi tidak hanya soal listrik yang bersih, tetapi juga tentang dunia yang lebih adil.

Dengan keberanian intelektualnya, buku ini menempatkan kembali manusia di pusat diskursus energi.

Sebagai bacaan, ia menantang sekaligus menginspirasi. Para penyuntingnya mengajarkan bahwa energi terbarukan tanpa keadilan hanyalah bentuk baru dari ketidaksetaraan lama.

Maka, tugas generasi kini bukan sekadar mempercepat transisi, tetapi memastikan bahwa dalam setiap megawatt listrik yang dihasilkan, tersimpan nilai-nilai kemanusiaan dan solidaritas ekologis.

Buku ini layak menjadi referensi utama bagi akademisi, pembuat kebijakan, dan aktivis lingkungan yang ingin memahami — dan mewujudkan — masa depan energi yang bukan hanya bersih, tetapi juga adil.***