Edhy Aruman: Konsep Purbayanomic Mulai Jadi Pembicaraan Serius di Kalangan Pelaku Ekonomi

Oleh Edhy Aruman, wartawan senior.

ORBITINDONESIA.COM - Konsep Purbayanomic mulai menjadi pembicaraan serius di kalangan pelaku ekonomi dan pengamat sejak serangkaian kebijakan fiskal dan deregulasi yang digagas oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menunjukkan hasil di lapangan. 

Kebijakan ini lahir dari kesadaran bahwa Indonesia sedang berada pada dekade paling kritis menuju bonus demografi yang menentukan apakah bangsa ini akan “getting rich before getting old.”

Purbayanomic, dalam makna paling sederhana, adalah upaya menggabungkan kebijakan pro-bisnis, pro-rakyat, dan pro-stabilitas fiskal dalam satu kerangka kerja yang memperkuat konsumsi domestik, meningkatkan kepercayaan sektor usaha, dan menjaga keseimbangan.

Dengan bahasa lain, kebijakan ekonomi yang dipimpin oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menekankan stimulus fiskal terarah, stabilitas harga, serta kebijakan pro-bisnis yang bertujuan memulihkan daya beli dan memperkuat basis pertumbuhan domestik. 

Indikator ekonomi terbaru memperlihatkan tanda-tanda bahwa strategi tersebut mulai bekerja di tingkat makro dan konsumsi masyarakat.

Data ekonomi Oktober 2025 menunjkkan inflasi Indonesia tercatat sebesar 2,86% secara tahunan, naik dari 2,65% pada September. Meski merupakan angka tertinggi sejak April 2024, inflasi ini tetap berada dalam rentang target Bank Indonesia di 1,5–3,5%. Secara bulanan, inflasi mencapai 0,28%, sementara inflasi inti naik ke 2,36% — tertinggi dalam empat bulan terakhir. 

Kenaikan ini tidak mencerminkan gejala overheating, tetapi menandakan pulihnya daya beli dan permintaan domestik. Setelah hampir dua tahun menghadapi stagnasi konsumsi, data ini justru mengindikasikan bahwa stimulus fiskal, penyesuaian regulasi, dan dorongan terhadap sektor riil mulai menghidupkan kembali aktivitas ekonomi masyarakat.

Sinyal lain datang dari sektor eksternal dan industri. Neraca perdagangan Indonesia tetap menunjukkan surplus sebesar USD4,3 miliar pada September 2025, meskipun sedikit turun dari USD5,5 miliar pada Agustus. 

Ekspor tumbuh 11,4% secara tahunan — pertumbuhan tercepat sejak Februari — sementara impor meningkat 7,2%, menjadi kenaikan pertama dalam tiga bulan. Kombinasi ini menandakan bahwa aktivitas industri sedang bergerak, karena kenaikan impor bahan baku dan barang modal umumnya menjadi indikator awal ekspansi produksi. 

Sejalan dengan itu, Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur naik menjadi 51,2 dari 50,4 pada bulan sebelumnya, memperlihatkan ekspansi industri selama tiga bulan berturut-turut. 

Di sini tampak bagaimana Purbayanomic bekerja secara simultan: mendorong permintaan domestik tanpa mengorbankan kinerja ekspor dan tetap menjaga neraca perdagangan positif.

Dari sisi konsumsi, laporan Consumer Sector Report: Purbaya Effect yang disusun oleh Mandiri Institute dan ekonom Yongky Susilo menunjukkan bahwa pada Oktober 2025 belanja masyarakat meningkat signifikan. 

Indeks Mandiri Spending naik 2,3% secara mingguan, dan secara tahunan pertumbuhan konsumsi pada tiga minggu pertama Oktober mencapai rata-rata 34,5%, jauh lebih tinggi dari kuartal sebelumnya yang hanya 28,7%. 

Peningkatan ini terjadi di semua wilayah, dengan lonjakan tertinggi di Sulawesi, Kalimantan, dan Jawa. Yang lebih menarik, pertumbuhan paling kuat justru datang dari kelompok barang tahan lama — seperti handphone, peralatan elektronik, dan rumah tangga — kategori yang biasanya menjadi indikator awal pemulihan kepercayaan kelas menengah. 

Sementara kelompok bawah masih defensif, fokus pada konsumsi esensial, kelompok menengah mulai menunjukkan perilaku impulsif dan optimistik, sedangkan kelompok atas semakin percaya diri dalam belanja gaya hidup.

Korelasi antara data makro dan tren konsumsi ini menjadi bukti empiris bahwa strategi fiskal dan kebijakan sosial ala Purbaya mulai efektif. Kenaikan inflasi yang masih moderat memperlihatkan adanya aktivitas ekonomi yang menghangat, namun tetap dalam kendali. 

Surplus perdagangan dan ekspansi manufaktur menunjukkan fondasi ekonomi riil yang lebih kuat, sementara peningkatan belanja rumah tangga membuktikan adanya efek nyata dari kebijakan pro-konsumsi seperti penghapusan utang kecil di bawah Rp1 juta dan distribusi kredit yang lebih lancar. 

Pasar saham yang menguat sejak Oktober 2025 juga memperlihatkan bagaimana pelaku usaha merespons positif arah kebijakan pemerintah yang lebih pasti dan berpihak pada pertumbuhan.

Meski demikian, efektivitas Purbayanomic belum dapat dinilai sebagai transformasi struktural. Tantangan fundamental seperti produktivitas tenaga kerja yang stagnan, daya saing industri yang masih lemah, serta disparitas antara kelompok pendapatan tetap menjadi masalah yang belum terpecahkan. 

Purbayanomic sejauh ini berhasil menjadi “stabilisator psikologis” bagi ekonomi Indonesia — menumbuhkan optimisme baru di kalangan konsumen dan pelaku bisnis — tetapi keberlanjutan keberhasilannya akan ditentukan oleh konsistensi pelaksanaan deregulasi lintas kementerian, pemberantasan korupsi, dan penguatan human capital.

Jika dilihat secara keseluruhan, Oktober 2025 dapat dianggap sebagai titik balik ekonomi Indonesia. Inflasi yang terkendali di tengah pemulihan konsumsi, surplus perdagangan yang tetap kuat, dan ekspansi industri yang stabil menjadi fondasi bagi narasi baru: bahwa kebijakan Purbayanomic mulai bekerja. Bukan hanya menjaga ekonomi agar tidak melemah, tetapi juga menyalakan kembali mesin kepercayaan yang selama ini padam. 

Ia belum sempurna, tetapi jelas bergerak ke arah yang benar — sebuah awal dari perubahan yang menandai bahwa Indonesia mulai belajar menyeimbangkan antara pertumbuhan, pemerataan, dan keberlanjutan.

(Edhy Aruman) ***