Resensi Buku: Sesat Pikir dalam "The Art of Thinking Clearly" Karya Rolf Dobelli
Dalam bukunya The Art of Thinking Clearly, Rolf Dobelli mengajak pembaca menyelami labirin pikiran manusia yang tampak rasional di permukaan, namun sejatinya dipenuhi jebakan ilusi kognitif.
Buku ini bukan sekadar panduan berpikir logis, melainkan cermin yang menyorot cara kita mengambil keputusan, mempercayai intuisi, dan menilai realitas.
Dobelli, seorang penulis dan mantan pengusaha, menulis dengan gaya yang ringan tetapi tajam, mengurai lebih dari 90 bias berpikir yang sering menyesatkan kita tanpa disadari.
Salah satu gagasan paling menarik dari buku ini adalah bahwa otak manusia tidak dirancang untuk berpikir objektif.
Dalam evolusi panjang manusia, insting lebih berperan daripada rasio; itulah sebabnya kita cepat mengambil kesimpulan, mengikuti kerumunan, dan terjebak dalam confirmation bias — kecenderungan untuk mencari bukti yang menguatkan keyakinan kita sendiri.
Dobelli dengan tajam mengingatkan bahwa berpikir jernih bukanlah kemampuan bawaan, melainkan disiplin yang harus dilatih.
Bagian paling memikat adalah ketika Dobelli membahas “survivorship bias”, atau kecenderungan mengagumi kisah sukses tanpa melihat mereka yang gagal di jalan yang sama.
Ia menulis bahwa dunia hanya memperlihatkan pemenang, sementara ribuan kegagalan tersembunyi di balik layar.
Kita kagum pada kisah Steve Jobs atau Elon Musk, lalu lupa bahwa ada banyak orang lain dengan ide brilian yang tidak pernah berhasil, bukan karena kurang cerdas, tetapi karena realitas tidak sesederhana narasi sukses.
Melalui contoh-contoh seperti ini, Dobelli mengajak pembaca untuk menumbuhkan sikap skeptis yang sehat terhadap cerita-cerita heroik yang menyesatkan persepsi kita.
Dobelli juga menyentuh action bias—dorongan untuk “melakukan sesuatu” meskipun tindakan itu tidak selalu perlu. I
a menulis dengan getir namun jujur: banyak keputusan buruk diambil hanya karena kita tidak tahan dengan ketidakpastian dan diam.
Di sinilah letak pesan moral bukunya: bahwa kebijaksanaan bukanlah soal banyaknya tindakan, tetapi kemampuan untuk menahan diri ketika pikiran sedang keruh.
Yang membuat The Art of Thinking Clearly begitu humanis adalah cara Dobelli mengakui bahwa kita semua tidak kebal terhadap bias.
Ia tidak berbicara dari menara gading, tetapi dari posisi manusia yang sama-sama belajar menata pikirannya di tengah arus informasi yang deras.
Membaca buku ini seperti berdialog dengan diri sendiri—menguliti lapisan-lapisan kesombongan intelektual dan menemukan bahwa berpikir jernih berarti berani mengakui keterbatasan.
Akhirnya, Dobelli menutup pesan pentingnya dengan refleksi sederhana: berpikir jernih tidak membuat kita sempurna, tetapi menyelamatkan kita dari banyak kesalahan yang tidak perlu.
Dalam dunia yang kian bising dan impulsif, buku ini menjadi pengingat lembut bahwa kejernihan adalah bentuk kebijaksanaan tertinggi—sebuah seni yang lahir dari kerendahan hati untuk mempertanyakan pikiran kita sendiri.***