Supriyanto Martosuwito: Setelah Prabowo Mengambil Alih Whoosh
Oleh Supriyanto Martosuwito
ORBITINDONESIA.COM - Ketika Presiden Prabowo menegaskan dia mengambil alih masalah kereta cepat Whoosh - bahkan melanjutkan hingga Surabaya - publik seharusnya melihatnya sebagai kabar baik, polemik segera berakhir - sebab ada keberlanjutan pembangunan. Bukan pergantian arah.
Namun, penegasan di Stasiun Tanah Abang - Jakarta Pusat, itu masih menimbulkan gelombang sinis. Terus digaungkan utang yang akan ditanggung negara dan rakyat - melalui APBN.
“Saya sudah pelajari masalahnya. Tidak ada masalah. Saya tanggung jawab, itu Whoosh semuanya. Indonesia bukan negara sembarangan. Kita hitung. Gak ada ada masalah. PT KAI gak usah khawatir, semua gak usah khawatir" kata Prabowo.
"Rakyat, kita layani rakyat kita. Semua tanggung jawab bersama. Teknologi, semua sarana, tanggung jawab bersama, ” tambahnya.
Keputusan Prabowo mengambil alih tanggung jawab proyek Whoosh mengandung pesan yang jauh lebih strategis: pengakuan terhadap efektivitas kebijakan presiden sebelumnya dan konsistensi terhadap pembangunan infrastruktur nasional. Seandainya narasi tak diselewengkan.
Dalam ruang publik yang bising - penuh ‘noise’ politik, apa pun yang bersentuhan dengan Jokowi - yang mewujudkan Whoosh - segera diputar menjadi alat untuk menurunkan pamor mereka. Bukan karena substansi, melainkan karena ketakutan terhadap pengaruhnya yang masih kuat.
HARAP dipahami juga bahwa upaya memisahkan dan menjauhkan presiden Prabowo dari Jokowi–Gibran selama ini bergerak dari tiga arah sekaligus. Dari luar pemerintahan, kelompok oposisi dan mantan rival politik yang terus menggaungkan “kegagalan Jokowi” demi memastikan tidak ada ruang bagi pengaruhnya pada 2029. Ada juga serangan dari dalam: dari kalangan partai pendukung pemerintah sendiri.
Bahkan sebagian unsur di internal pendukung Presiden Prabowo; kelompok lama - para “die hard” - yang pernah berdiri di lingkaran keras Prabowo di masa lalu, tapi kalah dalam perebutan posisi, tersingkir dalam kontestasi politik. Dan mencoba kembali dengan menyingkirkan figur yang dianggap “menempel” pada Prabowo: Jokowi dan Gibran.
Mereka menyebarkan bisik-bisik politik, menebar keraguan, dan menampilkan diri seolah menjadi “penjaga kemurnian” Prabowo dari pengaruh Jokowi.
Di antara dua itu, masih ada pengamat partisan, kaum kecewa yang tersingkir dari kekuasaan dan jurnalis “independen” kaki tangan George Soros yang terus menyebarkan disinformasi, fitnah dan kebencian.
Prabowo bukan figur yang mudah didikte, apalagi dikendalikan. Ia selalu sadar bahwa keberhasilannya berkuasa di Istana atas peran Jokowi Gibran. Sehingga kebijakan justru memperkuat legitimasinya, bukan melemahkannya. Melanjutkan programnya.
Meneruskan proyek Whoosh dan IKN bukan berarti tunduk pada Jokowi, melainkan menegaskan prinsip keberlanjutan pembangunan. Tapi di kalangan yang gagal membaca politik secara matang, hubungan Prabowo–Jokowi dipelintir menjadi relasi bayangan kekuasaan.
Narasi ini disiram dan disebarkan dengan sistematis. Setiap langkah yang menunjukkan harmoni antara Prabowo dan Jokowi segera dikontraskan dengan kalimat “Prabowo harus berdiri sendiri.” Setiap keberhasilan Gibran sebagai wakil presiden muda dibingkai sebagai ancaman politik dini bagi 2029. Seolah tidak boleh ada generasi penerus yang bersinar terlalu cepat, atau terlalu dekat dengan Jokowi.
Dalam politik yang sehat, kesinambungan seperti ini seharusnya menjadi nilai positif. Tetapi bagi sebagian pemain lama yang kehilangan akses, kesinambungan adalah ancaman.
Di sinilah publik perlu jernih membaca politik kekuasaan. Serangan terhadap Jokowi–Gibran bukan semata berasal dari oposisi ideologis, tetapi juga dari rival internal yang gagal berkompetisi secara terbuka.
Mereka yang kehilangan panggung kini mencoba menciptakan wacana seolah Jokowi adalah beban, agar mereka sendiri tampak relevan kembali.
IRONISNYA - sebagian media tanpa sadar ikut mengamplifikasi wacana ini — bukan karena niat jahat, tapi karena tergoda oleh sensasi konflik. Rating. Clickbite. Slot untuk sponsor.
Narasi dari “media kritis” yang dibangun bukan “mengoreksi kebijakan,” - “mengkritisi penguasa” melainkan kampanye “menghapus pengaruh.”
Padahal politik semacam itu bukan membangun masa depan, melainkan menanam benih permusuhan jangka panjang.
BUKAN rahasia lagi. Sebagian awak media arus utama (mainstream) kita telah menjadi corong bagi politik balas dendam atau persekongkolan internal yang berbalut opini.
Media yang seharusnya menjadi penjaga konteks, ikut menyebar prasangka. Konflik dan efek sensasi ditempatkan di atas kebenaran - Upaya verifikasi hanya untuk mensahkan sensasi.
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel telah mengingatkan lewat “The Elements of Journalism” : “The first obligation of journalism is to the truth. The essence of journalism is a discipline of verification.” - Kewajiban utama jurnalis adalah menyampaikan kebenaran. Hakekat jurnalisme adalah disiplin verifikasi”.
Di tengah turbulensi politik menuju 2029, jurnalisme yang (benar benar) independen menjadi benteng terakhir agar publik tidak terseret dalam permainan persepsi.
Sebab politik boleh berstrategi, tapi media harus tetap beretika.
Jokowi dan Gibran boleh menjadi subjek politik, tetapi kebenaran tak boleh menjadi korban.
Selalu utamakan kepentingan dan kesejahteraan publik. ***