Ayu Suminar: Mengapa Harus Belajar Seni?
Oleh Ayu Suminar, S.Pd., Guru SMPN 1 Tukak Sadai
ORBITINDONESIA.COM - “Apa itu seni?” — pertanyaan sederhana yang pernah dijadikan judul buku oleh Leo Tolstoy dalam What Is Art?, sebuah kritik tajam terhadap seni Eropa modern. Pertanyaan yang sama mungkin juga muncul di benak para murid: mengapa kita harus belajar seni?
Bahkan di masyarakat luas, seni dan profesi seniman kerap masih dipandang sebelah mata, seolah bukan jalan hidup yang menjanjikan. Namun, mari kita telusuri bagaimana seni sebenarnya hadir dalam kehidupan manusia.
Seni ada di mana-mana, meski sering luput dari kesadaran kita. Lukisan di dinding gua purba muncul jauh sebelum tulisan ditemukan. Musik dan tarian selalu hadir dalam setiap upacara adat dan ritual keagamaan. Seni pertunjukan bahkan menjadi hiburan yang dinanti masyarakat, sekaligus sarana penyebaran nilai dan keyakinan.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sesungguhnya terus berinteraksi dengan seni. Motif pada piring, ukiran di kursi ruang tamu, warna pakaian yang kita pilih, hingga desain rumah tempat kita bernaung — semua mengandung sentuhan estetika.
Ketika kita larut dalam lagu yang menyentuh hati, tertawa oleh adegan film, atau ikut bergoyang mendengar musik viral, di situlah seni berperan tanpa kita sadari. Begitu dekatnya seni dengan hidup manusia, hingga wajar bila ia menjadi bagian penting dalam pendidikan.
Tujuan pelajaran seni di sekolah bukan untuk mencetak semua murid menjadi seniman. Lebih dari itu, seni berfungsi menumbuhkan kreativitas, melatih kecerdasan emosional, motorik halus, serta menanamkan nilai budaya. Melalui seni, murid belajar fokus, disiplin, tanggung jawab, kerja sama, dan rasa menghargai karya orang lain.
Bayangkan jika murid terus-menerus belajar matematika atau IPA tanpa jeda. Seni hadir sebagai penyeimbang antara otak kiri dan otak kanan. Otak kiri mengasah logika, analisis, dan penalaran, sementara otak kanan menumbuhkan imajinasi, kreativitas, serta kepekaan emosi. Ketika keduanya bekerja seimbang, lahirlah manusia yang berpikir jernih sekaligus memiliki rasa.
Pelajaran seni juga memadukan logika, estetika, dan etika — tiga pilar pembentuk karakter. Logika mengasah akal budi, estetika menumbuhkan keindahan rasa, dan etika membimbing perilaku moral. Karena itu, seni mudah berkolaborasi dengan bidang ilmu lain; ia lentur, menghubungkan berbagai disiplin dalam satu kesatuan yang harmonis.
Goresan, gerak, dan irama yang dipelajari murid bukan sekadar latihan keterampilan, melainkan cermin dari kehidupan itu sendiri. Seni mengajarkan kita berpikir dan merasa, menyeimbangkan akal dan hati.
Jadi, sudah siapkah kamu belajar seni?
Jika seni begitu dekat dan bermanfaat, mungkinkah kita masih tega menganggapnya sepele? ***