Hoaks: Industri Kreatif Bagi Orang Tidak Kreatif
Oleh Sudarsono Soedomo*
ORBITINDONESIA.COM - Di era digital, hoaks bukan sekadar kebohongan. Ia sudah naik kelas menjadi industri kreatif . Lucunya, pelakunya sering orang-orang yang tidak kreatif. Mengapa? Karena bikin hoaks tidak perlu riset, cukup imajinasi campur bumbu kepanikan. Tidak perlu data, cukup kata: “Katanya …” Dan anehnya lagi, semakin absurd isinya, justru makin cepat viral.
Sebagaimana dijelaskan oleh Cass Sunstein, internet menciptakan ruang gema (echo chambers) di mana orang hanya mendengar pandangan yang memperkuat keyakinan mereka sendiri (Sunstein, 2014). Hoaks tumbuh subur di ruang ini karena ia menawarkan kepastian emosional, bukan kebenaran faktual. Dalam kebisingan semacam itu, resonansi lebih dihargai daripada refleksi.
Kalau startup butuh modal, riset pasar, dan pitch deck, industri hoaks hanya butuh modal paket data. Yang penting sensasional: semakin tidak masuk akal, semakin cepat viral. Seakan-akan kebodohan kolektif kita adalah bahan bakar terbaik untuk pertumbuhan konten.
Neil Postman pernah memperingatkan bahwa media modern mengubah kebohongan menjadi hiburan (Postman, 2005). Dalam logika itu, hoaks bukanlah “penyakit informasi” melainkan “produk hiburan.”
Manusia tidak lagi mencari kebenaran, melainkan sensasi. Lucunya, banyak manusia yang tidak mengenal jera, meski telah terperosok ke dalam lubang yang sama. Mungkin, manusia perlu lebih banyak mengonsumsi kedelai agar sedikit lebih cerdas dari keledai.
Hoaks sering lebih laris daripada fakta. Fakta berjalan pelan, pakai tongkat data dan kacamata jurnal. Hoaks? Lari kencang, naik motor clickbait, sambil teriak: “Breaking News!!!” Akhirnya, banyak orang lebih percaya pada kabar kiamat besok daripada laporan resmi dari badan antariksa.
Yuval Noah Harari menyebut bahwa manusia modern hidup dalam “agama data” di mana yang penting bukan kebenaran, melainkan daya sebar (virality) (Harari, 2018). Maka, kebohongan pun dapat berjaya jika algoritma menganggapnya “relevan.”
Kalau ditelusuri, hoaks ini seperti franchise. Satu be rita palsu dapat punya banyak cabang: di grup WhatsApp keluarga, di Facebook alumni SMP, sampai di akun TikTok yang pakai filter muka kucing. Dan semua cabang itu untung, walaupun hanya berupa perhatian.
Ironinya, hoaks memang menolong orang-orang tidak kreatif untuk terlihat kreatif. Dengan satu kiriman, mereka dapat menjadi pahlawan informasi di grup RT, atau bahkan dianggap visioner karena “sudah mengingatkan sebelum kejadian.” Mungkin suatu hari, pemerintah akan memasukkan hoaks ke dalam kategori resmi “ekonomi kreatif.” Syaratnya? Cukup tunjukkan berapa kali postingan Anda di-forward. Kalau lebih dari seribu kali, selamat, Anda pengusaha konten abal-abal berskala nasional.
(Bogor, 9 November 2025) ***