Ketika Pangkalan Angkatan Darat AS di Fort Bragg Terlibat Jaringan Perdagangan Narkoba Skala Besar
Seth Harp. The Fort Bragg Cartel: Drug Trafficking and Murder in the U.S. Army. New York: Viking, 2025.
ORBITINDONESIA.COM - Buku The Fort Bragg Cartel: Drug Trafficking and Murder in the U.S. Army karya Seth Harp adalah laporan investigatif mendalam yang mengguncang mitos lama tentang militer Amerika Serikat sebagai institusi disiplin, tertutup rapat, dan kebal dari kejahatan terorganisasi.
Melalui riset bertahun-tahun, wawancara dengan prajurit aktif dan pensiunan, aparat penegak hukum, serta penelusuran dokumen pengadilan, Harp membongkar kisah nyata tentang jaringan perdagangan narkoba berskala besar yang beroperasi di jantung salah satu pangkalan militer paling elit di AS: Fort Bragg, North Carolina.
Sejak awal, buku ini menegaskan bahwa Fort Bragg—markas pasukan khusus seperti Green Berets dan unit elite lainnya—bukan sekadar lokasi militer strategis, tetapi juga menjadi ekosistem gelap tempat kekuasaan, senjata, narkoba, dan impunitas saling bertaut.
Harp tidak menyajikan kisah kriminal pinggiran, melainkan potret struktural tentang bagaimana militerisme, budaya kekerasan, dan pengawasan yang gagal menciptakan ruang subur bagi kejahatan terorganisasi di dalam institusi negara.
Narasi buku ini berpusat pada apa yang kemudian dikenal sebagai “Fort Bragg Cartel”—sebutan untuk jaringan prajurit, veteran, dan afiliasi sipil yang terlibat dalam distribusi kokain, metamfetamin, dan obat-obatan terlarang lainnya.
Yang mengejutkan, banyak pelaku adalah anggota pasukan elite yang terlatih dalam operasi rahasia, taktik tempur, dan penggunaan senjata mematikan.
Keahlian militer yang seharusnya digunakan untuk keamanan nasional justru dimanfaatkan untuk melindungi jalur distribusi narkoba, mengintimidasi saksi, dan mengeksekusi kekerasan ekstrem.
Salah satu kekuatan utama buku ini adalah cara Harp menautkan perdagangan narkoba dengan angka pembunuhan yang mencurigakan di sekitar Fort Bragg.
Ia mengungkap bagaimana kawasan sekitar pangkalan mencatat tingkat pembunuhan yang tidak sebanding dengan ukuran wilayahnya, dan bagaimana banyak kasus tersebut melibatkan personel militer—baik sebagai korban maupun pelaku.
Dalam banyak peristiwa, penyelidikan mandek, bukti menghilang, atau kasus ditutup tanpa kejelasan. Harp menunjukkan bahwa masalahnya bukan kekurangan petunjuk, melainkan keengganan sistemik untuk mengusut militer dari dalam.
Buku ini juga menggambarkan budaya impunitas yang mengakar. Fort Bragg, sebagai pangkalan strategis, kerap berada di persimpangan yurisdiksi militer dan sipil.
Polisi lokal ragu menghadapi tentara bersenjata dan terlatih, sementara otoritas militer cenderung menangani kasus secara internal—atau tidak sama sekali. Dalam ruang abu-abu inilah kartel narkoba militer berkembang, terlindungi oleh status, seragam, dan retorika patriotisme.
Harp tidak menulis dengan nada sensasional. Ia membangun kisahnya perlahan, memperlihatkan bagaimana banyak prajurit muda—sering kali berlatar belakang kelas pekerja—terseret ke dalam dunia narkoba bukan hanya sebagai pengguna, tetapi sebagai distributor.
Tekanan psikologis, trauma perang, dan budaya maskulinitas ekstrem menciptakan kondisi di mana kekerasan dan kriminalitas menjadi “normal”. Dalam konteks ini, narkoba bukan sekadar komoditas, melainkan bagian dari ekonomi bayangan yang menopang kehidupan pasca-deployment.
Salah satu aspek paling mengganggu dari buku ini adalah keterkaitan antara pelatihan perang dan kejahatan domestik. Harp menunjukkan bahwa taktik kontra-pemberontakan, penggunaan senjata api, serta disiplin operasi rahasia—semua dilatih oleh negara—digunakan kembali di jalanan Amerika.
Pembunuhan menjadi lebih terencana, intimidasi lebih efektif, dan penghilangan jejak lebih rapi. Ini menjadikan Fort Bragg Cartel bukan kartel biasa, melainkan kartel dengan kapasitas paramiliter penuh.
Di bagian akhir, buku ini bergerak melampaui Fort Bragg sebagai kasus tunggal. Harp mengajukan pertanyaan yang jauh lebih besar dan mengganggu: apakah Fort Bragg hanya puncak gunung es?
Ia mengisyaratkan bahwa pola serupa mungkin terjadi di pangkalan militer lain, tetapi tidak terungkap karena minimnya pengawasan independen dan kuatnya budaya “jangan membuka aib sendiri”. Dalam kerangka ini, Fort Bragg Cartel menjadi cermin bagi krisis yang lebih luas: hubungan antara militerisasi, kekerasan domestik, dan kegagalan akuntabilitas negara.
Sebagai penutup, The Fort Bragg Cartel bukan sekadar buku tentang narkoba dan pembunuhan. Ia adalah kritik tajam terhadap mitos kemurnian institusi militer, sekaligus peringatan tentang bahaya ketika kekuasaan bersenjata beroperasi tanpa transparansi.
Seth Harp mengajak pembaca untuk melihat bahwa ancaman terhadap masyarakat tidak selalu datang dari “musuh luar”, tetapi bisa tumbuh dari dalam institusi yang selama ini dianggap pelindung.
Dalam konteks Amerika kontemporer—dan bahkan global—buku ini relevan sebagai refleksi tentang bagaimana negara, kekerasan, dan kejahatan dapat berkelindan ketika pengawasan demokratis melemah.
The Fort Bragg Cartel adalah narasi yang gelap, mendesak, dan sulit diabaikan—sebuah laporan yang menantang pembaca untuk menimbang ulang hubungan antara keamanan, kekuasaan, dan kebenaran.
(Oleh Satrio Arismunandar, wartawan dan penulis buku) ***