DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Bupati Masfuk: Jika Ingin Maju, Belajarlah Bahasa Mandarin, Bukan Bahasa Arab

image
Ilustrasi Bahasa Mandarin, untuk memajuan.

ORBITINDONESIA.COM - Bupati Masfuk dari Lamongan beberapa tahun lalu meminta pemuda pemuda Lamongan “Kalau kalian ingin maju, belajarlah Bahasa Mandarin, bukan belajar Bahasa Arab”.

Terdengar aneh mungkin di kalangan kaum santri Lamongan. Kok santri disuruh belajar bahasa Mandarin. Namun itulah visi kemajuan Masfuk yang seorang pengusaha sebagai bupati yang merubah Lamongan dari daerah minus menjadi seperti sekarang.

Beberapa tahun kemudian terbukti China menjadi salah satu raksasa ekonomi dunia. Menguasai bahasa Mandarin akan memicu keuntungan ekonomi. Bupati Masfuk berpikir realistis meskipun tidak populer idenya.

Baca Juga: Bursa Transfer Liga 1: Resmi, Rizky Pellu CLBK dengan PSM Makassar

Baca Juga: Jarir: Batin Rempang Berdaulat, Membahas Himpunan Hukum Adat Indonesia di Masa Belanda

Cukup mengejutkan apa yang terjadi di China belakangan ini. Buku sejarah dunia yang diajarkan di sekolah menengah di Shanghai, yang kemudian diajarkan di sekolah-sekolah seluruh China, diubah isinya.

Buku sejarah tidak lagi bercerita tentang dinasti-dinasti dan peperangan atau partai komunis dengan revolusinya. Sejarah dunia yang diajarkan kepada anak-anak sekolah fokus pada gagasan tentang pertumbuhan ekonomi, perdagangan luar negeri, penemuan teknologi, inovasi, harmoni sosial, keberagaman budaya.

Baca Juga: Ingin Berkebun Tapi Halaman Sempit, Ini Tips Budidaya Kangkung dengan Sistem Hidroponik

Gambar-gambar tentang JP Morgan, Bill Gates, Bursa saham New York, satelit ruang angkasa AS, kereta api cepat Jepang, lebih ditonjolkan. Bahkan sosialisme hanya dibahas dalam satu bab buku pelajaran sejarah SMA.

Visi kemajuan China tergambar dari apa yang diajarkan di sekolah. Itulah kurikulum pendidikan bervisi masa depan. Kini semua sudah terbukti China menjadi adidaya baru.

Baca Juga: Kursi Panas Ganjar Pranowo Dalam Kuliah Kebangsaan di FISIP UI

Baca Juga: Kemenkumham DKI Gelar Diseminasi Penjaringan Calon Pemberi Bantuan Hukum, Ibnu Chuldun: Semangat Mengabdi

Sementara di Pakistan sebanyak 1,5 juta murid belajar di lebih dari 13.000 madrasah. Mereka tidak diajari pendidikan umum yang membekali mereka untuk memasuki arus besar perkembangan dunia dan berkompetisi dengan anak-anak dari negara lain untuk berebut peluang kerja.

Bahkan Supreme Court mereka mencatat bahwa di madrasah itu tidak ada pelajaran bahasa Inggris, Pakistan atau Urdu dalam kurikulumnya. Lulusan madrasah ini tidak bisa berbuat banyak untuk menggerakkan ekonomi atau membantu hidup mereka di dunia ini kecuali membangun mesjid.

Yang tergambar setelah lulus adalah menjadi pejuang atau pelaku jihad. Entah jihad macam apa yang mereka pikirkan. Pakistan contoh negara berbasis agama yang isinya perebutan kekuasaan, bom meletus, kekerasan, tidak beranjak maju.

Baca Juga: Piala AFF U19: Kalahkan Filipina 5-1, Peluang Indonesia ke Semifinal Tetap Terbuka

Kishore Mahbubani menulis dalam bukunya, The New Asian Hemisphere: The Irresistible Shift of Global Power to the East. Dia seorang profesor di NUS, Singapura.

Baca Juga: Sering Kunjungi Kampus, Politikus Partai Hanura Inas Nasrullah Ganjar Bisa Raup Banyak Suara Gen Z

Membaca fakta ini, saya sedikit khawatir menemukan fakta di sekolah-sekolah kita. Ada kemiripan juga dengan Pakistan. Dari penelitian lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang menemukan lebih dari 40 persen guru agama di Indonesia berpendapat bahwa belajar ilmu pengetahuan tidak penting, yang penting adalah ilmu agama.

Baca Juga: Piala Dunia U20: Uruguay dan Korea Selatan Amankan Tiket Semifinal

Mudah-mudahan hasil survei tersebut tidak benar-benar menggambarkan fakta di kalangan guru. Kalau itu yang terjadi, maka masa depan anak-anak kita bakal suram. Mereka tidak siap menghadapi kompetisi di dunia nyata. Mereka justru akan diajari oleh gurunya untuk meninggalkan urusan dunia yang harus dihadapi dengan ilmu pengetahuan.

Belajar agama tentu tidak salah, tetapi menafikan ilmu pengetahuan jelas bertolak belakang dengan semangat belajar agama. Sedangkan ajaran agama memberi tempat yang mulia bagi pembelajar ilmu.

Ya kondisi kurikulum kita lebih baik dari Pakistan, tapi gurunya perlu juga mengubah cara berpikirnya. Kita hidup di dunia. Wujud dunia saat ini adalah hasil olah pikir dan olah laku manusia yang memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Baca Juga: Prediksi Dampak El Nino di Indonesia, Produktivitas Panen Padi Berkurang 5 Juta Ton

Baca Juga: Karen Agustiawan Mantan Direktur Utama Pertamina, Resmi Ditahan oleh KPK dalam Kasus Korupsi LNG

Tuhan memang Maha Kuasa tetapi Tuhan mewakilkan kepada manusia (khalifah di bumi) yang punya akal budi untuk mengurus dunia ini, bukan untuk mengurus akherat.
Tapi sangat mengkhawatirkan ketika di dunia pendidikan justru dihembuskan ajaran-ajaran yang anti kemajuan.

Pakaian agama yang ditonjolkan, siapa kami siapa mereka terus digaungkan. Hafalan dijadikan tujuan demi kehidupan sesudah mati tanpa dipikirkan manfaat riilnya di dunia.

Baca Juga: SEA Games 2023: Prediksi dan Link Streaming Indonesia Melawan Myanmar, Waktunya Raih Puncak Klasemen

Pencapaian akademis menjadi tidak prioritas, tapi hal-hal yang kontraproduktif terus diajarkan ke para siswa yang pikirannya masih bening dan belum tercemar kebencian. SKB 3 menteri yang merupakan upaya awal mengembalikan jatidiri kerukunan bangsa malah dikalahkan di tingkat MA.

Ketika pengaruh China melanda hampir semua aspek kehidupan sampai ke semua penjuru bumi, sebagian kita protes.

Baca Juga: GEGER! Elon Musk Menyatakan Rencananya untuk Memungut Biaya Langganan dari Pengguna X sebelumnya Twitter

Baca Juga: Survei Charta Politika: Bobby Nasution Ungguli Edy Rahmayadi di Sumatra Utara

Hanya Protes saja. Tetapi justru kita tidak menyiapkan langkah-langkah yang jelas untuk menghadapi geliat kemajuan China ini.

Kalau pengaruh kemajuan China dihadapi dengan justru lebih memikirkan akherat, menjauhi China, pasti kita akan makin ketinggalan. Ini mesti disadari secepatnya dan mengubah pradigma kita.

Budi Santosa. Kampus ITS, 2021 , Surabaya ***

Berita Terkait