DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Elza Peldi Taher: 60 Tahun Denny JA, Catatan Seorang Sahabat

image
Elza Peldi Taher (kiri) dan sahabatnya Denny JA

ORBITINDONESIA - Hari ini, Denny JA, sahabat baik saya sejak hampir empat puluh tahun lalu, berusia 60 tahun.

Saya ingin mengucapkan “ Selamat memasuki usia lansia Denny JA, meski semangat hidup harus tetap muda membara” Usia hanyalah bilangan angka. Jangan terlalu percaya pada angka.

Saya tak ingat persis kapan pertama kali ketemu Denny JA. Tapi tahunnya saya ingat betul, tahun 1983. Waktu itu kami masih mahasiswa. Denny mahasiwa Kuliah di Fakultas hukum UI dan saya di FISIP UI.

Baca Juga: Diduga Mesum, Kiai di Jember Beri Klarifikasi di Akun Youtube Benteng Aqidah, Bantah Laporan Istrinya

Kami bertemu pertama kali di Proklamasi 51, rumah pak Djohan Effendi, seorang pembaharu Islam yang cukup terkenal. Pak Djohan menyediakan rumahnya tempat diskusi anak anak muda.

Karena alamat rumahnya di jalan Proklamasi, maka kemudian dikenal sebagai Kelompok Studi Proklamasi.

Waktu itu, sedang hangat hangatnya buku Pergolakan Pemikiran Islam yang disunting oleh Djohan Effendi dan Ismed Natsir.

Buku itu berisi catatan harian Ahmad Wahib, seorang sahabat Djohan Effendi yang meninggal dalam kecelakaan tahun 1974, dalam usia sangat muda. Bertahun tahun setelah meninggal Djohan Effendi dan Ismed Nadsir menyunting catatan harian itu jadi buku.

Baca Juga: Transformers Ternyata Miliki Spesies Selain Autobots dan Decepticons, Inilah Daftar Namanya

Buku itu kemudian menjadi sasaran sebagian kelompok Islam yang beranggapan buku itu berbahaya bagi umat Islam. Muncul berbagai aksi dan demonstrasi.

Pak Djohan kemudian mengambil mengundang anak anak muda dan mendiskusikan buku kontroversil itu di rumahnya. Diskusi Itulah yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Kelompok Studi Proklamasi. Tujuan utama kami adalah memperdalam agama Islam yang terbuka dan modern.

Sejak itu hampir tiap hari minggu selama bertahun tahun kami berkumpul di rumah Pak Djohan yang mewakafkan waktu dan tenaganya menemani kami.

Selain kami berdua juga berkumpul Budhy Munawar Rachman, Jonminofri, Jojo Rahardjo, Ali samudra Allah, Halimah, Muhammad Asrun dan kemudian menyusul Munawir, Rina Nazrina. Pada mulanya yang datang amat banyak tapi kemudian mengkristal menjadi nama nama diatas saja.

Baca Juga: Inilah 5 Anggota Angkatan Laut dalam Anime One Piece yang Baik dan Bersikap Adil Terhadap Bajak Laut

Makin lama Kelompok Studi Proklamasi makin mengkristal dan berubah gerakannya. Diskusinya tak hanya soal Islam tapi soal pembangunan dan Kebangsaan.

Dari hanya sekedar diskusi internal di antara kami, kelompok ini kemudian aktif mengadakan diskusi di berbagai kampus. Hasil diskusi sering diliput media masa.

Denny kemudian dipilih menjadi ketua pertama dari Kelompok Studi Proklamasi. Ia kemudian terpilih kembali menjadi ketua dua tahun berikutnya.

Kembali ke pertemuan awal dengan Denny. Kali pertama bertemu saya sudah punya rasa kagum pada Denny. Ia bicara runtut, kalimat teratur, mudah dicerna, suara kencang tapi yang paling penting; bacaannya luas.

Baca Juga: Istri Kiai di Jember Curiga, Ada Ruangan Khusus Gunakan Finger Print Diduga Jadi Tempat Mesum di Pondok

Ia mengutip berbagai buku dengan canggih untuk mempertahankan argumentasinya. Padahal waktu sebagian kami masih mahasiswa tingat dua atau tiga.

Sejak pertamuan pertama itu kami kemudian akrab. Tiap minggu bertemu seharian di rumah pak Djohan, dan setelah pertemuan biasanya kami pergi ke tempat lain menghabiskan waktu.

Diramal jadi orang penting usia 40

Salah satu keisengan kami seusai diskusi minggu di rumah Pak Djohan adalah mendatangi tempat tukang ramal atau yang kini dikenal sebagai paranormal. Kami sering pergi ke beberapa tempat untuk menanyakan nasib dan masa depan kami.

Sebagian kami kesana cuma iseng saja, tak serius. Kami juga tak percaya ada apa yang dikatakan peramal. Salah satu Paranormal yang rutin kami kunjungi waktu itu adaah Mama Lauren.

Baca Juga: Datangkan Dandi Maulana dan Ahmad Birrul Walidain, Persija Jakarta Lepas Ryuji Utomo dan Al Hamra Hehanussa

Yang menarik salah seorang peramal, seingat saya Mama Lauren, meramal, bahwa salah satu dari kami, yaitu Denny akan menjadi orang penting ketika usianya memasuki kepala empat.

Mendengar ramalannya itu kami cuma mesem mesem, tapi Denny agaknya amat senang. Berulang kali ia menyebut ramalan itu dengan senang di kemudian hari. Ramalan itu agaknya menjadi semangat Denny untuk mencapai cita citanya.

Puluhan tahun kemudian apa yang dikatakan seorang peramal itu bahwa Denny akan menjadi orang penting ternyata benar. Tahun 2004, Denny membuat ikhtiar baru mendirikan lembaga Survei bersama kawan kawannya yaitu Lembaga Survei Indonesia.

Lembaga survey pertama di Indonesia. Lembaga ini kemudian menjulang namanya. Dari seorang penulis dan presenter menjadi seorang konsultan Politik.

Baca Juga: SIRCLO: Siap Hadapi Tantangan Ekonomi 2023, Intip 4 Jurus Jitu Perkuat Strategi Bisnis

Karena konflik internal Denny kemudian mendirikan Lingkaran Survei Indonesia, yang kemudian merajai survey survey dan konsultan politik di tanah air hingga kini

Berkat Lingkaran Survei Indonesia yang kini dikenal dengan LSI Denny JA, Denny berubah menjadi jutawan dalam waktu tak lama. Ia mendapat banyak kontrak dari cliennya baik untuk menjadi bupati, gubernur maupun presiden.

Kliennya makin antri ketika terbukti ia sukses menjadikan mereka sebagai kepala daerah. Denny kemudian menjadi ikon lembaga survey dan Konsultan politik. Ia ikut terlibat dalam empat kali pemenangan presiden sejak 2004. Sebuah rekor yang luar biasa.

Dengan uang yang dimiliknya Denny kemudian mendirikan berbagai usaha bisnis tambang, batu bara, resto bunga rampai, Cafe Pisa, beberapa apartemen dan salah satunya adalah futsalcamp, Ciputat dimana saya diberikan amanah oleh Denny untuk mengelolanya sampai kini. Denny juga membangun beberapa hotel harga murah di berbagai kota.

Baca Juga: HEBOH, Perempuan Mengaku Saudara Tiko Meluruskan Cerita soal Herman Moedji Susanto: Ayah Saya Diusir Ibu Eny

Financial Freedom

Dalam berbagai percakapan Denny sering mengatakan bahwa cita cita menjadi kaya adalah cita cita yang terpendam sejak lama.

Denny berangapan untuk berguna dan berbuat kebaikan tak ada pilihan lain kita harus menjadi kaya. Jika kaya berbuat baik dampaknya akan terasa dibanding tidak kaya.

Hal ini agak mengherankan karena Denny berguru pada seorang tokoh yang amat dikenal sederhana Djohan Effendi. Ia juga mengagumi tokoh Gus Dur, Gandhi, Rumi, Cak Nur, tokoh sejarah yang menerapkan asketisme intelektual dan hidup sederhana dengan materi apa adanya.

Denny sendiri meski menggagumi tokoh tokoh tersebut mengatakan ia tak punya keberanian dan kenekatan seperti Djohan, Mahatma Gandhi atau Rumi.

Baca Juga: Para Ulama Kredibel yang Membolehkan Mengucapkan Selamat Natal

Melalui perenungan bertahun-tahun, demikian pengakuannya, akhirnya ia memilih memutuskan untuk menempuh jalan yang sebaliknya; menjadi kaya. Ia menulis itu dalam tulisannya di buku 70 tahun Djohan Effendi, sang guru.

Melalui berbagai bacaaan yang memberinya inspirasi Denny justru mulai terpesona dengan konsep Financial Freedom, bebas secara finansial. Hidup akan jauh lebih bebas jika pertama tama kita sudah bebas secara finansial, serba cukup bahkan berlebih secara materi.

Kita tak perlu lagi bekerja mencari nafkah, karena kita sudah memiliki mesin uang untuk membiayai kehidupan kita sehari- hari. Waktu yang ada dapat dialokasikan mengerjakan hal yang sangat kita sukai dan berguna bagi orang banyak.

Dalam berbagai kesempatan Denny mengatakan ingin menjadi seperti “sufi modern,” yaitu tokoh yang mendapatkan pencerahan spiritual tapi juga kaya raya, sehingga ia juga dapat memberikan charity untuk menolong orang lain.

Baca Juga: Piala AFF 2022 : Jawaban PSSI Terkait Perampasan Koreografi Suporter Oleh Paspampres

Dalam pandangan Denny, intelektual dan pencari kebenaran tak lagi harus hidup sederhana. Bahkan jika bisa, intelektual justru harus kaya raya sejauh kekayaannya dibangun dengan cara yang benar.

Jika intelektual kaya raya, ia dapat membuat perpustakaan, membangun universitas, memberikan beasiswa kepada banyak orang, memberangkatkan rombongan untuk naik haji, membangun rumah ibadah, menyumbangkan dana untuk riset, dan membuat keluarganya berkecukupan untuk mengenyam pendidikan setinggi mungkin.

Filantropis

Setelah menjadi kaya, sukses dengan LSI Denny JA, Denny konsisten meneruskan cita cita hidupnya, berderma untuk orang lain. Sikapnya pada kawan kawan tak berubah. Ia tetap hangat dan jauh dari sombong.

Dengan kekayaannya ia kemudian menjelma menjadi seorang filantropis. Ia amat dermawan, terutama jika itu menyangkut kawan kawan lama. Amat banyak kawan yang dibantunya.

Baca Juga: Piala AFF 2022 : Media Koreografi Dihancurkan Paspampres, La Grande Indonesia Boikot Timnas Indonesia

Ia juga mudah memberikan dana sejauh itu untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Ia akan mudah mengalirkan dana untuk membantu seorang penulis mencetak bukunya, jika ia beranggapan buku itu bagus.

Saya menjadi saksi bertapa mudahnya dan betapa banyak Denny mewakafkan sebagian kekayaannya untuk membantu kawan atau mendukung kegiatan keilmuan.

Satu hal yang tidak saya lupakan ialah percakapan sekitar Februari 2019 usai kami lari pagi di Ancol. Waktu itu selama beberapa bulan saya, Agus Edi Santoso, Isti Nugroho, Jonminofri, Iwan, Jojo Rahardjo, mengadakan kegiatan rutin: jalan pagi dan senam pagi di Ancol.

Senam itu diinisiasi oleh Denny demi sahabat kami Agus Edi Santoso yang sedang mengalami sakit jantung. Oleh Dokter, Agus disarankan jalan pagi di pinggir laut.

Baca Juga: Piala AFF 2022 : Statistik Pertandingan Timnas Indonesia Melawan Vietnam

Pagi itu Agus tak kelihatan. Baru pertama kali ia absen. Denny bertanya mengapa Agus tak datang dan bagaimana perkembangan operasi jantungnya.

Saya kemudian menyampaikan kepada Denny bahwa Agus sudah periksa kesehatannya dan ia karena pakai BPJS baru akan operasi jantung sekitar 8 bulan lalu. Itu sudah keputusan rumah sakit berdasarkan saran dokternya.

Sementara kondisi Agus makin memburuk. Wajahnya pucat dan dada sering sesak. Denny agak kaget. Dia bertanya jika operasi tanpa BPJS berapa biayanya? Saya sebut jumlah yang cukup lumayan.

Dengan entengnya Denny berkata, “Elza, katakan pada Agus secepatnya, jika perlu besok ia operasi. Tak usah menunggu BPJS. Semua dana operasi dari dari saya, sesuai yang Elza sebutkan tadi.”

Baca Juga: Selalu Jadi Mimpi Buruk Bagi Autobots, Megatronus Jadi Inspirasi Jahat Megatron dan para Decepticons

Saya dan kawan kawan tercengang karena ia mengucapkan itu begitu mudahnya, padahal dananya amat besar. Saya kemudian menyampaikan pesan Denny itu pada Agus yang menyambutnya dengan gembira.

Paginya jam 05.00 Agus sudah memberi tahu saya ia dalam perjalanan menuju rumah sakit untuk memberi tahu dokter bahwa ia siap dioperasi dengan biaya sendiri.

Tapi tak lama kemudian Agus kembali menelpon tanpa semangat. Ia bicara dengan nada sedih bahwa operasi tak bisa dilakukan dalam keadaan kesehatan Agus sekarang. Jantungnya tak memenuhi syarat untuk operasi.

Tak lama kemudian, meski tak terbuka Agus agaknya sudah diberitahu dokter bahwa jantungnya sudah terlambat untuk operasi. Ia diminta legowo menerima kondisi terburuk, hidup rileks saja. Januari 2020 Agus Edi Santoso berpulang.

Baca Juga: UWUU... Puri Ungkap Kepribadian Tiko yang Membuatnya Jatuh Cinta: Orangnya Sederhana dan Baik

Seorang demokrat

Sebagai teman Denny amat bersahabat dan hangat. Jika bicara ia bisa diajak becanda tapi juga bisa serius. Tapi kapan pun kita bertemu selain percakapan rileks dan ringan, ia pasti menyelipkan sesuatu yang serius yang sedang menjadi obsesinya.

Jika ia sedang terobsesi pada sebuah buku atau gagasan ia akan amat bersemangat menceritakan itu pada semua orang. Cara bicaranya yang menarik, pilihan katanya yang runtut membuat dialog dengan Denny selalu cerdas dan berisi.

Banyak yang mengatakan, Denny itu cuma seorang pebisnis yang mencari uang. Ia tak punya ideologi sebagai alat perjuangan. Apapun akan dikerjakannya jika itu menghasilkan uang. Saya kira itu penilaian yang keliru.

Hal itu muncul karena orang melihat kiprah Denny sebagai konsultan politik yang sering mendukung calon yang dianggap tak patut didukung oleh seorang Denny yang berlatar belakang aktivis.

Baca Juga: Cerita Puri, Kekasih Tiko saat Menemani Ibu Eny di Rumah Sakit Jiwa: Mama Tuh Nurut Sama Aku

Sebagai konsultan politik Denny akan mendukung seorang calon, siapa pun dia, jika sang calon punya kans untuk menang dan mereka bersepakat. Tak mungkin mendukung calon yang baik tapi tak punya kans untuk menang.

Apa lagi dalam politik, pilihannya bukanlah memilih calon yang baik di antara yang baik tapi “memilih calon yang buruk di antara yang terburuk”.

Untuk menilai seorang Denny lihatlah dari tulisan tulisannya yang telah puluhan buku. Apa lagi kini amat produktif menulis. Tiap hari ia menulis.

Baca semua tulisannya. Tak banyak penulis yang seproduktif Denny. Dai tulisannya itu kita kemudian bisa menilai siapa Denny JA, apa ideologinya.

Baca Juga: Kabar Duka, Legenda Sepakbola Italia Gianluca Vialli Meninggal Dunia

Bagi saya Denny itu seorang inteletektual sekaligus seorang demokrat. Ia mendukung tinggi demokrasi sebagai jalan bagi sebuah bangsa untuk maju dan berkembang. Semua tulisannya memperlihatkan sikapnya membela demokrasi.

Ia terbuka untuk dikiritik, sekalipun kritik itu menghina dia. Dihina dengan bahasa apapun, ia tak tak terpancing untuk membalasnya. Ia juga tak terpancing untuk marah.

Ia jalan sendiri dengan keyakinannya, dengan pendapatnya dan siap menempuh resiko apapun dengan orang yang berbeda.

Ia adalah orang yang dalam istilah Minang menjalan prinsip hidup “ dangakan kecek uang, iyokan kecek awak”. Dengarkan kata orang, tapi lakukan apa yang ingin kita lakukan sesuai keyakinan kita.

Baca Juga: BRI Liga 1 : Persebaya Resmi Rekrut Ze Valente Dari PSS Sleman

Ia bagaikan batu karang jika sudah berpendapat terhadap sesuatu, sekalipun digempur dari segala penjuru.

Sebagai temannya, saya beberapa kali berhadapan dengan Denny dalam masalah seperti ini. Yang amat terasa ialah sikapnya waktu Pilkada Jakarta. Denny memilih tak mendukung Ahok, tapi sebaliknya.

Sementara kawan kawan mayoritas memilih Ahok. Masalahnya di banyak WAG group Denny tanpa kompromi terus menggempur dengan tulisan tulisan yang isinya tak mendukung Ahok tapi malah mendiskreditkan Ahok

Salah satu yang paling tragis adalah sebuah WAG yang didirikan oleh sebagian besar angkatan 80-an dan menjadi rumah diskusi yang hangat. Mayoritas memilih Ahok tapi Denny terus share tulisan yang tak mendukung Ahok.

Baca Juga: Gugup, Penjual Senjata Api Rakitan di Kalidoni Palembang Sumatra Selatan Ditangkap

Kepada Denny berkali kali saya ingatkan agar stop, tak usah kirim tulisannya WAG tersebut demi keutuhan bersama. Tapi Denny jalan terus, tak peduli.

Berulang kali saya ingatkan, ia kukuh dengan sikapnya. Ia berkata “biar saja Elza, ini pembelajaran demokrasi yang sesungguhnya. Nanti juga habis pilkada kita bersatu lagi.”

Akhirnya apa yang saya katakan menjadi kenyataan. Group WAG itu ditinggalkan teman yang tak sefaham. Hubungan kami dengan teman teman itu yang berjalan baik puluhan tahun memburuk, bahkan sampai kini.

Kepada Denny saya sering bergurau sampai akhir zaman hubungan kita dengan teman teman itu tak akan membaik. Denny cuma tersenyum, tanpa ekspresi.

Baca Juga: NGERI, Kejaksaan Negeri Banjarmasin Mulai Sidik Dugaan Korupsi Pembangunan Gedung Laboratorium

Tapi itulah Denny JA. Ia bagaikan batu karang dengan argumennya, didukung bacaannya yang amat luas, siap dibully dan dihina dengan kata kata kasar sekalipun, tapi tetap hangat pada semua orang, termasuk kepada pembencinya sekalipun.

Saya amat senang Denny kini kembali ke habitatnya sebagai seorang penulis yang produktif. Profesi yang telah menghantarkan namanya menjadi pesohor di negeri ini. Itulah rumah yang sesungguhnya seorang Denny JA. Rumah idamannya sejak saat masih jadi mahasiswa.

Sekali lagi, med milad ya Denny. Teruslah menulis, karena itulah habitatmu yang sesungguhnya..

Tulisan pernah dipublikasikan. Saya revisi menyambut 60 tahun Denny JA


Elza Peldi Taher. ***

Berita Terkait