DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Dedolarisasi untuk Keseimbangan Ekonomi dan Politik Global

image
Dr. H.M. Amir Uskara

Oleh: Dr. H.M. Amir Uskara, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI/Ekonom

ORBITINDONESIA.COM - Era dominasi dolar akan berlalu. Sejumlah negara kini mulai berani melakukan transaksi ekspor-impornya dengan yuan, mata uang China. Bahkan Saudi Arabia, yang sekutu dekat AS, sudah berani menggunakan yuan dalam transaksi penjualan minyaknya dengan China.

Tak hanya Saudi Arabia. Lima negara yang tergabung dalam aliansi BRICS -- Brasil, Afrika Selatan, Rusia, India, dan Cina -- mulai melakukan transaksi bisnis di antara mereka dengan mata uang nondolar. Kelima negara ini, tengah berusaha memperkecil ketergantungannya terhadap uang dolar Amerika (USD).

Baca Juga: New Year Gaza 24 B

Kita masih ingat, ketika Rusia diembargo ekonominya oleh Barat di awal invasi militernya ke Ukraina, 24 Februari 2022, AS dan sekutunya menggunakan instrumen USD untuk menekan si Beruang Merah.

Baca Juga: Prediksi Pertandingan Chelsea vs Real Madrid di Perempat Final Liga Champions: Mission Imposible

Hasilnya, untuk sementara nilai rubel jatuh. Tapi Rusia segera membalasnya. Negara-negara pengimpor minyak dan gas dari Rusia, terutama Eropa Barat, harus membayar dengan rubel.

Baca Juga: Survei LSI Denny JA: Elektabilitas PSI yang Dipimpin Kaesang Hanya 1,5 Persen, Gerindra Salip PDI Perjuangan

Hasilnya luar biasa. Nilai rubel kembali terangkat. Bahkan mata uang sejumlah negara Eropa seperti Inggris, Jerman, dan Belanda terpuruk karena mereka harus bayar impor gasnya dengan rubel.

Akibatnya, harga energi di Inggris, Belanda, dan Jerman melambung tinggi. Sampai rakyat ketiga negara sekutu Amerika Serikat (AS) itu demo besar-besaran. Mereka menuntut negaranya tidak campur tangan terhadap perang Rusia-Ukraina.

Kita tahu, 41 persen kebutuhan gas Eropa berasal dari Rusia. Begitu juga 25 persen kebutuhan minyaknya. Rusia adalah negeri dengan cadangan minyak dan gas terbesar di dunia. Sebagian besar ekspor minyak dan gas Rusia adalah ke Eropa, AS, dan Cina.

Baca Juga: Ditemani Erick Thohir, Prabowo Subianto Makan Siang Bersama Pelaku Usaha Muda

Baca Juga: Prediksi Pertandingan Napoli vs AC Milan di Leg 2 Babak Perempat Final Liga Champions, Rabu 19 April 2023

Balasan Rusia atas tekanan Barat tersebut berakibat fatal. Harga gas dan minyak melambung tinggi di Eropa Barat. Sampai-sampai banyak rumah penduduk Inggris dan Jerman yang tidak menyalakan heater-nya di musim dingin karena kelangkaan gas.

Jelas, hal itu sangat menyengsarakan rakyat di musim dingin negara-negara tersebut yang suhunya menyentuh nol derajat Selsius. Kasus di atas menjadi bukti bahwa dolar AS bukan segala-galanya bagi Rusia.

Baca Juga: Yasonna H Laoly Dampingi Megawati Soekarnoputri Selama Jadi Juri Jayed Award 2023 di Roma

Di pihak lain, utang AS telah membengkak mencapai 31,4 triliun USD. Atau setara Rp 469.517 triliun. Jumlah tersebut sudah melampaui ambang batas keuangan Paman Sam.

Menteri Keuangan AS Janet Yellen telah mengingatkan, banyaknya utang AS akan merepotkan neraca keuangannya. Bahkan bisa merusak nilai dolar jika negara-negara mitra dagang Amerika tidak lagi mempercayai USD. Kasus Saudi Arabia yang bertransaksi dengan yuan China, misalnya, membuat Washington cemas.

Baca Juga: VIRAL, Kades Ini Didemo Masyarakat Agar Mau Menjabat Lagi di Periode Kedua, Cek Faktanya

Baca Juga: Jadi Juri Zayed Award 2024, Megawati Diwawancarai Radio Vatikan

"Sanksi ekonomi yang dijatuhkan pada Rusia dan negara-negara lain oleh Amerika Serikat (AS) menempatkan dominasi dolar dalam bahaya karena negara-negara tersebut mencari alternatif," ungkap Menteri Keuangan AS Janet Yellen.

"Ada risiko ketika kita menggunakan sanksi finansial yang dikaitkan dengan peran dolar yang seiring waktu dapat merusak hegemoni dolar," kata Yellen kepada CNN International, Minggu, 16 April 2023.

Menurutnya, hal itu menimbulkan keinginan China, Rusia, hingga Iran untuk mencari mata uang alternatif. Dengan demikian, ancaman dedolarisasi benar-benar nyata. Berita terbaru, Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva mengungkapkan niatnya untuk segera mengganti dolar AS dalam perdagangan globalnya.

Baca Juga: Dugaan Operasi Tangkap Tangan Gubernur Abdul Gani Kasuba, KPK Gelandang 3 Pejabat Maluku Utara ke Jakarta

“Mengapa lembaga seperti perbankan BRICS tidak dapat memiliki mata uang untuk membiayai hubungan perdagangan antara Brasil dan China, serta antara Brasil dan semua negara BRICS?," ujarnya.

Baca Juga: Daftar Film yang Dibintangi oleh Kang Dong Won, Aktor yang Dikabarkan Berpacaran dengan Rose BLACKPINK

"Siapa yang memutuskan bahwa dolar AS adalah mata uang (perdagangan) setelah berakhirnya paritas emas?” ujar Presiden Brasil tersebut.

Baca Juga: BMKG: Hujan Lebat Berpotensi Turun di Beberapa Kota

Lula da Silva menilai, saat ini beberapa negara perlu membuat dirinya menjadi lebih tenang, alih-alih mengejar dolar AS hanya untuk melakukan ekspor yang seharusnya dapat dilakukan dengan mata uangnya sendiri.

Kecemasan Yellen terhadap dedolarisasi memang nyata. Langkah memperkecil dominasi dolar AS di perdagangan internasional saat ini terus diupayakan negara-negara BRICS.

Ini bisa membuat nilai dan kredibilitas mata uang AS tersebut terganggu. Aliansi BRICS telah menggaungkan niatnya untuk menggeser dolar AS dari perdagangan global. Mereka ingin hadirkan mata uang baru.

Baca Juga: Peringati Hari Bela Negara, Ibnu Chuldun: Bersatu dan Berkontribusi untuk Indonesia Maju

Baca Juga: Simak 10 Tema Menarik Acara Halal Bihalal Idul Fitri 2023 Terbaru, Dapat Langsung Dipakai Gratis

Ternyata langkah BRICS mendapat sambutan luas. Beberapa negara tertarik untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS, seperti negara Malaysia, Iran, Indonesia, Arab Saudi dan Prancis.

Berdasarkan laporan Watcher News, kini PDB dari anggota BRICS dan mata uang potensial mereka menjadi ancaman besar baru bagi dominasi dolar AS.

Baca Juga: Permohonan Layanan Melonjak, Sandi Andaryadi: Imigrasi DKI Jakarta Harus Bekerja Prima

Diketahui, PDB dari gabungan anggota BRICS telah mengalahkan PDB dari gabungan anggota G7. Sekadar informasi, anggota G7 adalah Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman, Jepang, Kanada, dan Italia.

Anggota BRICS saat ini memiliki 41 persen dari total populasi dunia, dan menyumbang sekitar 16 persen dari perdagangan internasional. Sementara, 31,5 persen PDB global berasal dari BRICS, jauh lebih tinggi dari G7, 30,7 persen.

Baca Juga: Segini Harta Gubernur Lampung ikut Disorot setelah Kritik dari Bima Yudho Viral di Media Sosial, Bikin Melongo

Baca Juga: Denny JA: Puisi Esai Waktunya Masuk Kampus dan Sekolah

Ke depan, peran BRICS akan makin besar karena adanya China dan India -- dua negara raksasa dengan penduduk di atas satu milyar (China 1,412 miliar dan India 1,408 milyar) -- yang secara niscaya akan menjadi pasar besar dalam perdagangan internasional.

Melihat kekuatan global ekonomi BRICS dan motifnya yang jelas untuk mengurangi ketergantungan pada USD, hal tersebut dipandang positif terhadap kemandirian suatu negara.

Sejarah mencatat, banyak negara yang tak disukai Barat (karena perbedaan visi politik) dihancurkan ekonominya dengan "senjata dolar". Salah satunya Indonesia di tahun 1998. Sekarang, seperti dinyatakan Presiden Joko Widodo, dunia harus punya mata uang global alternatif selain USD.

Baca Juga: Kepala Kanwil Kemenkumham DKI Jakarta Ibnu Chuldun Resmikan Laboratorium Peradilan Pidana Universitas Yarsi

Ini penting untuk mengelola keseimbangan ekonomi dan politik internasional. Memperkecil hegemoni dolar di kancah ekonomi global, ujar Presiden Lula da Silva, adalah sebuah upaya untuk menegakkan kedaulatan dan keadilan negara-negara di seluruh dunia.***

Berita Terkait