DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Dr KH Amidhan Shaberah: Hijrah dan HAM

image
Amidhan Shaberah, Ketua MUI (1995-2015)

Dr. KH Amidhan Shaberah, Ketua MUl (1995-2015)/Komnas HAM (2002-2007)

ORBITINDONESIA.COM - Hijrah Rasul dari Mekah ke Madinah bukan sekadar strategi Nabi Muhammad untuk mengecoh kaum kafir Quraisy yang hendak menghancurkan kaum muslimin yang masih lemah, tapi hijrah bisa dimaknai lebih luas.

Yaitu: siasat Rasul untuk membentuk suatu organisasi kemanusiaan di Madinah. Organisasi kemanusiaan di Madinah merupakan conditio sine quanon bagi terbentuknya -- pinjam istilah Dr. Abdul Aziz, MA, kini Dubes Indonesia untuk Saudi Arabia -- Chiefdom Madinah.

Baca Juga: New Year Gaza 24 B

Chiefdom Madinah, menurut Abdul Aziz, adalah benih dari suatu susunan negara modern yang berbasis kesetaraan umat manusia. Kesetaraan umat manusia tersebut merupakan prinsip dasar hak asasi manusia (HAM).

Baca Juga: Profil Lengkap Cinta Mega, Anggota DPRD DKI Jakarta yang Diduga Main Game Ternyata dari Fraksi PDIP

Tidak seperti di Mekah yang saat itu masyarakatnya masih tribalis -- di Madinah, Nabi Muhammad justru mendapat sambutan sebagai pemimpin humanis.

Baca Juga: Survei LSI Denny JA: Elektabilitas PSI yang Dipimpin Kaesang Hanya 1,5 Persen, Gerindra Salip PDI Perjuangan

Masyarakat Madinah sudah lama mengetahui jejak langkah Muhammad setelah mendeklarasikan diri menjadi Rasulullah dan mendapat wahyu dari Allah.

Orang-orang Madinah yang dikenal lebih maju, terbuka, dan beradab ketimbang orang Mekah, justru mengharap kedatangan Rasul ke wilayahnya. Mendengar Muhammad mendapat tekanan dan ancaman dari para petinggi Mekah, para pemimpin di Madinah justru sebaliknya.

Mereka berharap Muhammad datang ke Madinah. Dan para petinggi Madinah akan menyambutnya. Bahkan mereka akan menjadikan Muhammad sebagai pemimpin penduduk Madinah.

Baca Juga: Ditemani Erick Thohir, Prabowo Subianto Makan Siang Bersama Pelaku Usaha Muda

Baca Juga: Inilah Daftar Harga Tiket Oppenheimer Bioskop XXI Film terbaru Robert Downey Jr, di Kawasan Kota Bandung

Perlu diketahui penduduk Madinah atau Yatsrib yang menyambut kedatangan Rasul bukan hanya yang beragama Islam. Tapi juga yang beragama Yahudi, Kristen, dan agama lokal.

Saking hormatnya kepada Muhammad, setelah kedatangan Rasul, nama Yatsrib pun diubah menjadi Madinah. Tujuannya jelas, agar citra daerah Yatsrib lebih humanis dan beradab, sesuai pribadi Rasulullah.

Baca Juga: Yasonna H Laoly Dampingi Megawati Soekarnoputri Selama Jadi Juri Jayed Award 2023 di Roma

Muhammad dikenal sebagai pribadi pemersatu dan humanis. Di usia muda sebelum mendapat wahyu, Muhammad pernah berhasil mendamaikan suku-suku Quraisy yang berseteru dalam hal meletakkan hajar aswad di Ka'bah.

Saat itu bangunan Ka'bah sedang direnovasi. Dan hajar aswad harus diletakkan pada posisi aslinya. Lalu siapa yang berhak meletakkan hajar aswad pada posisi semula? Hal inilah yang memicu perseteruan. Soalnya orang yang terpilih menjadi peletak hajar aswad di Ka'bah dianggap jadi orang mulia dan terhormat.

Baca Juga: Eh Ada Anggota DPRD DKI Jakarta Diduga Asyik Main Game di Ruang Rapat Paripurna, Bikin Warganet Geram Saja

Baca Juga: Jadi Juri Zayed Award 2024, Megawati Diwawancarai Radio Vatikan

Hampir saja terjadi peperangan karena masing-masing pemimpin suku ingin menjadi peletak hajar aswad di Ka'bah. Ini penting agar sukunya dipandang mulia dan terhormat.

Kemudian datanglah Muhammad mendamaikan perselisihan tadi. Caranya Muhammad membentangkan sorbannya. Semua pimpinan suku diminta Muhammad untuk memegang tepi sorban beliau.

Lalu Muhammad muda mengambil hajar aswad dan diletakkan persis di tengah-tengah bentangan kain sorban tadi. Setelah itu, hajar aswad diletakkan di Ka'bah dengan menggunakan kain tersebut beramai-ramai.

Baca Juga: Dugaan Operasi Tangkap Tangan Gubernur Abdul Gani Kasuba, KPK Gelandang 3 Pejabat Maluku Utara ke Jakarta

Semua pemimpin suku berkontribusi meletakkan hajar aswad di Ka'bah dengan mengangkat sorban Nabi tersebut. Dan sukses. Perseteruan pun berakhir damai.

Baca Juga: Eh Ada Anggota DPRD DKI Jakarta Diduga Asyik Main Game di Ruang Rapat Paripurna, Bikin Warganet Geram Saja

Sejak itu, orang-orang Mekah memberi julukan Muhammad dengan sebutan Al-Amin, yaitu orang yang dapat dipercaya. Muhammad muda menjadi orang terhormat dan mulia karena bisa mendamaikan perseteruan tersebut.

Baca Juga: BMKG: Hujan Lebat Berpotensi Turun di Beberapa Kota

Tapi setelah Muhammad mendeklarasikan diri sebagai Rasulullah dan mengaku mendapat wahyu dari Allah, perselisihan pun kembali mencuat. Ada orang Quraisy yang percaya, ada yang menolaknya.

Saat Nabi Hijrah, sebagian besar pemimpin Arab -- termasuk suku Quraisy, menolak kerasulan Muhammad. Di antaranya Abu Sufyan bin Harb dan Amr bin Hisyam (Abu Jahal) yang saat itu menjadi pembesar Quraisy yang sangat berpengaruh di kota Mekah.

Dalam situasi tidak kondusif seperti itulah, Nabi memutuskan hijrah ke kota Madinah.

Baca Juga: Peringati Hari Bela Negara, Ibnu Chuldun: Bersatu dan Berkontribusi untuk Indonesia Maju

Baca Juga: Imbas Viralnya Video Makan Kerupuk Babi, Baso A Fung Bali Kini Hancurkan Semua Peralatan Makan, Ini Alasannya

Kembali ke "Chiefdom" Madinah. Meskipun administrasi Chiefdom -- pinjam catatan disertasi Dr. Abdul Aziz -- masih bertumpu pada sosok Muhammad -- tapi pembagian kerja secara profesional dan meritokratis sudah mulai diterapkan.

Bahkan dalam memutuskan perkara di Chiefdom Madinah, Nabi Muhammad menerapkan konsep musyawarah seperti tercantum dalam Qur'an (As-Syura 38). Dalam musyawarah, suatu keputusan diambil berdasarkan kata mufakat dari beberapa orang.

Baca Juga: Permohonan Layanan Melonjak, Sandi Andaryadi: Imigrasi DKI Jakarta Harus Bekerja Prima

Orang-orang beriman, berdasarkan surat As-Syura 38, dalam memutuskan urusan mereka, harus dengan musyawarah. Atau berunding di antara mereka. Konsep musyawarah, menurut Prof. Munawir Sjadzali adalah cikal bakal demokrasi modern.

Dari perspektif inilah, Hijrah Nabi Muhammad ke tanah peradaban Madinah berhasil menumbuhkan benih-benih demokrasi. Dan demokrasi adalah lahan subur untuk pertumbuhan HAM.

Baca Juga: Ini Tanggapan Netizen Soal Keisya Levronka yang Banjir Hujatan Setelah Video Podcastnya Bersama Marlo Viral

Baca Juga: Denny JA: Puisi Esai Waktunya Masuk Kampus dan Sekolah

Hal ini, misalnya, terlihat dari narasi pada Piagam Madinah (Shahiful Madinah). Piagam Madinah sering disebut sebagai Konstitusi Madinah.

Piagam Madinah yang diteken Nabi Muhammad bersama pemimpin suku-suku dan kaum-kaum penting di Madinah tahun 622 M tersebut berhasil menghentikan pertikaian antarsuku dan antarkaum sehingga tercipta perdamaian dan persatuan.

Kata umat, misalnya, dalam Piagam Madinah adalah sebutan untuk semua pemeluk agama dan kepercayaan yang ada di Madinah.

Baca Juga: Kepala Kanwil Kemenkumham DKI Jakarta Ibnu Chuldun Resmikan Laboratorium Peradilan Pidana Universitas Yarsi

Menurut Robert N Bellah, Guru Besar Sosiologi California University, AS, Piagam Madinah sangat maju pada zamannya, jauh melampaui konsep perjanjian tribal dan tradisional yang ada di jazirah Arab.

Baca Juga: Diskusi Satupena, Satrio Arismunandar: Diplomasi Budaya Penting untuk Mendorong Perdamaian dan Stabilitas

Menurut Bellah, Piagam Madinah telah menginspirasi Dunia Barat untuk membangun demokrasi dan HAM. Konsep kesetaraan, pluralisme, dan humanisme, tulis Bellah, telah tercatat dalam 47 pasal di Piagam Madinah.

Baca Juga: Pembunuh Petugas Imigrasi Tri Fattah Firdaus Jadi Tersangka, Sandi Andaryadi: Kami Apresiasi Polda Metro Jaya

Barangkali, inilah capaian terbesar "Hijrah Nabi" dari perspektif peradaban modern. Sayangnya, setelah Nabi Muhammad wafat, orang-orang Islam di jazirah Arab melupakan ajaran penting dari Piagam Madinah tersebut.

Akibatnya, Islam yang cinta perdamaian, persatuan, dan kemanusiaan, kering dalam kehidupan bangsa Arab. Hingga saat ini. Memprihatinkan!***

Berita Terkait