DECEMBER 9, 2022
Kolom

Rinaldi Napitupulu: Hilirisasi Digital, Apakah Suatu Keniscayaan? (Bagian 1)

image
Rinaldi Napitupulu (foto: Koleksi pribadi)

ORBITINDONESIA.COM - Teman saya satu sekolah seorang Prof bidang Ekonomi, kami bersama-sama di tahun 2014 mengerjakan proyek konsultasi untuk grup BUMN (yang menurut menteri BUMN adalah motor digitalisasi Indonesia).

Pada saat itu Prof mengenalkan kepada saya Teori Joseph Schumpeter 1942. Dalam teorinya Joseph Schumpeter mengatakan untuk meningkatkan produktivitas, perlu secara terus menerus dilakukan Creative Destruction (penghancuran kreatif), artinya adalah membongkar praktik praktik lama untuk membuka jalan bagi inovasi dan menciptakan sesuatu yang baru.

Sementara dasar atau prasyarat terjadinya Creative Destruction adalah (1) Inovasi (2) Persaingan (3) Kewirausahaan (4) Modal. Jika hal ini bisa dilakukan akan tercipta pertumbuhan ekonomi baru.

Baca Juga: Heru Budi Hartono: Revitalisasi Kali Ciliwung Hilir untuk Cegah Banjir

Apakah pemerintahan juga dapat atau perlu melakukan pembaharuan terus menurus? Kalau sebagai cara bekerja rasanya wajar, karena Pemerintahan juga tidak bisa terlepas dari upaya untuk memperbaiki.

Pertanyaan slogan baru seperti Hilirisasi Digital apakah merupakan wujud perubahan dari Creative Destruction? Dan bagaimana rupanya Hilirisasi Digital itu sendiri. Mudah-mudahan uraian dibawah bisa menjelaskan.

Sejalan dengan issue digitaliasi pemerintahan penulis menjadi teringat akan kesempatan menjadi Tenaga Ahli membantu salah satu Asisten Deputi suatu lembaga di tahun 2014 awal. Beliau tergelitik memikirkan upaya menciptakan Integrated Governmental ICT (TIK Terpadu Pemerintahan).

Baca Juga: Prabowo Subianto Ingin Wujudkan Cita-cita Jokowi Hilirisasi Semua Sektor

Sang jenderal bintang satu ini menyayangkan mengapa sering kali terjadi untuk satu obyek data, misal orang pra sejahtera, satu Kementrian/Lembaga memiliki data yang berbeda satu dengan lainnya.

Atau saya juga ingat sebagai satu upaya menjelaskan berapa kebutuhan beras, dalam salah satu rapat dengan beberapa instansi, Wakil Presiden sampai membawa rice cooker (penanak nasi). Tujuannya melakukan eksperimen, untuk mendapat gambaran yang lebih akurat kebutuhan beras.

Sebagaimana diketahui kebutuhan beras secara akurat sangat diperlukan guna menetapkan besarnya kebutuhan importasi beras jika ada. Dalam salah satu rapat yang dilakukan lembaga diatas, penulis pernah harus kembali ke rapat walaupun sudah berjalan sejauh 20 km.

Baca Juga: Jokowi Dikadali, Glen Ario Sudarto Mafia Nikel Ditangkap, Siapa Lagi Berikutnya

Hal ini terjadi karena unsur direktur suatu lembaga yang tupoksimya menyelaraskan perencanaan nasional, sementara direktur yang diundang hadir selaku direktur yang membidangi perencanaan infrastruktur IT Nasional, ternyata beliau belum berkenan menyampaikan jumlah biaya kebutuhan TIK Pemerintahan pertahun.

Penulis diminta kembali ke rapat dan diminta menanyakan kepada Direktur, apakah ketidak sediaan memberikan data berkenan dicatat dalam notulen rapat, untuk disampaikan kepada pimpinan yang adalah bintang tiga.

Sangat mengejutkan ketika esok harinya dikabarkan bahwa akhirnya data yang diminta tersebut,sudah dikirimkan melalui fax oleh instansi dimaksud.

Baca Juga: Hilirisasi Nikel di Indonesia, Kemenperin: Multiplier Effect Mulai Terlihat

Gambaran ini juga menjelaskan bahwa diperlukannya suatu sistem yang dapat memudahkan pengambilan data sehingga memudahkan pengambilan keputusan. Mungkin efek bintang tiga jadi pertimbangan sehingga akhirnya data diberikan.

Akhirnya laporan dipaparkan dalam rapat besar lembaga tersebut dan sangat menggembirakan kami diberikan standing applause, karena pimpinan mengapresiasi sebagai laporan dengan kualitas yang belum pernah alami selama 2,5 tahun bertugas.

Akhirnya rumusan laporan, dijadikan kiriman cepat kepada Presiden dengan tajuk TIK Terpadu Pemerintahan. Sangat baik pula response yang diberikan oleh presiden karena ternyata surat dilanjut teruskan ke Kementrian Sekertariat Negara dan lanjut teruskan ke Kemenko Polhukam.

Baca Juga: Ir. Wisnu Salman: Pertambangan Nikel, Mobil Listrik, dan Pencemaran Lingkungan

Lanjut terusan ini sejalan dengan rekomendasi yang diberikan dalam kirpat. Pembelajaran dari negara lain serta memperhatikan struktur pemerintahan dan UU, disarankan agar ditetapkan CIO (Chief Information Officer) pemerintahan, dengan salah satu tugas utama memberikan laporan langsung kepada Presiden untuk mendukung melakukan keputusan.

Serta meningat data yang bersifat sangat rahasia, sebaiknya orkestrasi dilakukan oleh Lembaga yang memiliki tugas pokok fungsi untuk memberikan masukan kepada Presiden. Rekomendasi termasuk ketika adanya potensi negara menghadapi resiko.

Konsep seperti ini perlu dilakukan, mengingat Presiden sangat memerlukan masukan dalam pengambilan keputusan, tentunya data-data ini sangat rahasia.

Baca Juga: Ganjar Gencarkan Riset Hilirisasi Tembakau di Klaten

Kembali ke cerita konsultasi untuk satu BUMN ditahun 2013 di atas, sebagai hasil konsultasi penulis mengemukakan bahwa ke depan, bisnis operator telekomunikasi akan menghadapi pesaing bukan sesama operator telekomunikasi, melainkan Google.

Saat itu penulis sangat meyakini dengan keseriusan bisnis model freemium, Google akan berselancar di atas dumb pipe (jaringan) dan akan memperoleh Customer Insight. Serta tentunya dapat pula berhububungan langsung dengan pelanggan dari operator dimaksud.

Hal ini dimungkinkan karena Google dengan inovasi serta modal besar melakukan Creative Destruction. Melakukan transformasi dari pelanggan yang semula berada total dalam genggaman operator( ketika jaman 2G) menjadi sangat terbuka (dijaman 3G, 4G dstnya).

Baca Juga: Prabowo Soal Debat Kedua: Hanya Gibran yang Berani Bicara Hilirisasi

Saat transformasi ini terjadi, operator lebih menyukai posisi menjadi data provider dan menerima bayaran, ketika memberikan akses kepada Google dan mitra bisnisnya (advertiser), ketika berinteraksi dengan targeted customer (konsumen yang sesuai dengan target advertiser).

Penulis juga meyakini ada 4 industri yang berpotensi dapat melakukan Creative Destruction, sehingga dapat melakukan reposisi atas asset pelanggan (atau dalam penjelasan berikut akan dikenal sebagai asset digital).

Keeempat industri dimaksud adalah (1) Telekomunikasi (2) Keuangan (3) Transportasi (4) Listrik. Ada alasan tertentu akan hal ini yang mungkin akan dijabarkan kemudian.

Baca Juga: Pengamat Energi Prof Iwa Garniwa: Indonesia Sebaiknya Bangun Pabrik Baterai Berbahan Nikel Dalam Negeri

Namun laporan konsultan ini mendapat hambatan, karena pimpinan BUMN merasa hasil laporan agak melebar. Sehingga sempat dimintakan untuk mencabut satu lembar konsep Value Added Network berbasis Freemium.

Di waktu kemudian istilah yang mendekati ini adalah konsep sharing economic. Sebaliknya penulis bersikukuh bahwa ini hasil riset konsultan, jadi kalaulah harus memilih antara mencabut atau tidak dibayar, penulis memilih tetap mencantumkan, walau beresiko tidak dibayar.

Drama masih berlanjut, karena kebutulan salah satu tim konsultan menyampaikan kejadian ini ke teman senior, beliau saat itu menjabat direktur jendral pada kementrian yang membidangi TIK. Beliau mengingatkan janganlah berkeras dengan pimpinan BUMN tersebut, karena pimpimpinan BUMN adalah the best CIO.

Ketika itu penulis juga sudah meyakini bahwa Creative Destruction pasti akan dilakukan secara mandiri oleh lembaga finansial seperti bank, hal ini telah terbukti saat ini. Juga ternyata ada bukti lain, 2 tahun setelah konsultasi kemudian munculk Gojek.

Hal mana gojek mengandalkan transportasi atau layanan kurir sebagai produk inti dan mengembangkan gurita bisnis, dengan mengelola pola Freemium yang dinamis. Kedinamisan ini diatur sebagai pertukaran value/nilai dalam model freemium diantara gurita bisnis dengan pusat adalah jasa angkutan kurir dan layanan berkendaraan bersama.

Sejalan dengan pergantian rejim pemerintahan, konsep TIK Terpadu semakin menguat dan selanjutnya digunakan nomenlatur SPBE (Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik).

Hanya terdapat perbedaan utama, adalah hilangnya unsur CIO yang mengkoordinasikan orkestrasi dengan posisi langsung dibawah presiden. Sebaliknya tugas pokok fungsi SPBE dibagi habis kepada 4 instansi, yakni: (1) Infrastruktur di bawah Kominfo (2) Satu Data di bawah Bappenas (3) Bisnis proses di bawah Menpan RB (4) Keamanan SIber di bawah BSSN.

Sayangnya penulis melihat keluaran dari proyek atau produk SPEBE yang dibangun belum membentuk outcome yang terpadu.

Hal ini karena semua instansi membangun outcome yang terfokus pada tupoksi masing-masing bukan sebagai tupoksi SPBE secara terintegrasi.

Penulis meyakini bahwa CIO dengan kewenangan yang cukup sangat diperlukan untuk melakukan orkestrasi output sesuai dengan tema utama (misal ketahanan pangan, ketahanan energi dll) sebagai outcome utama.

Pemerintah baru saja (18 Desember 2023) menerbitkan Perpres 82 tahun 2023, yang berupaya menyelesaikan masalah diatas. Perpres ini mengatur tentang percepatan transfromasi digital dan keterpaduan layanan digital nasional dengan menetapkan batasan istilah yang digunakan dalam pengaturannya.

Dalam rangka mencapai keterpaduan layanan digital nasional, Pemerintah melakukan percepatan transformasi digital melalui penyelenggaraan Aplikasi SPBE Prioritas, dengan mengutamakan integrasi dan interoperabilitas.

Aplikasi SPBE Prioritas dapat berupa: a. Aplikasi SPBE yang baru akan beroperasi atau akan dibangun; dan b. Aplikasi SPBE yang telah beroperasi atau akan dikembangkan, yang memiliki minimal 200.000 (dua ratus ribu) Pengguna SPBE atau target Pengguna SPBE. (Bersambung ke Bagian 2) ***

Sumber: Rinaldi Napitupulu

Berita Terkait