DECEMBER 9, 2022
Ekonomi Bisnis

Bukan Gelas Plastik, Namun Sampah Saset Justru Jadi Penyumbang Sampah Plastik Terbesar di Indonesia

image
Ilustrasi - Sampah plastik pencemar lingkungan.

ORBITINDONESIA.COM - Saset merupakan sampah plastik terbanyak yang mencemari lingkungan. Hasil brand audit jaringan masyarakat pegiat lingkungan yang terdiri dari Greenpeace Indonesia, Ecoton, Walhi, Trash Hero Indonesia, dan YPBB baru-baru ini menunjukkan, ada lima produsen pencemar saset terbanyak di lingkungan. 

Brand audit ini dilakukan di 34 titik lokasi audit dengan saset yang terkumpul sebanyak 9.698. Hasilnya, terdapat 5 produsen pencemar saset terbanyak, yaitu: Wings (1.251 saset), Salim Group (672), Mayora Indah (629), Unilever (603), dan PT Santos Jaya Abadi (454). 

Ibar Akbar, Plastics Project Leader Greenpeace Indonesia, mengatakan, hingga saat ini tidak ada transparansi dan komitmen dari produsen-produsen tersebut untuk mengurangi produksi plastik saset mereka. 

Baca Juga: Sedih, Lihat Siswa SD di Papua Jajan Air Putih, Satu Kantong Plastik Harganya Rp5 Ribu

“Jika cara ini terus dilakukan oleh produsen, maka, krisis saset tidak akan berakhir,” ujarnya baru-baru ini. 

Tanggung jawab produsen atas sampah dan secara khusus tentang saset tercantum dalam Peraturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 75 tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen.

Peraturan ini mewajibkan produsen salah satunya manufaktur untuk membuat peta jalan pengurangan sampah dari kemasannya sebesar 30% hingga tahun 2029 mendatang.

Baca Juga: Tampil Pakai Kostum Berbahan Sedotan Plastik, Prily Mahatei Lakukan Aksi Bersih Sampah Usai JFC 2023 di Jember

“Tapi, dari 10 produsen pencemar terbanyak di Indonesia, hanya Unilever dan Danone melalui PT Tirta Investama yang mengirimkan dokumen peta jalan pengurangan sampahnya,” tukasnya.

Alaika Rahmatullah, Koordinator Audit Merek Ecoton, menambahkan tingkat keresahan masyarakat terhadap sampah plastik khususnya kemasan saset ini akan semakin mendalam dengan temuan audit merek saset ini.

“Apalagi ketika nama-nama produsen yang sama terus muncul kembali memperlihatkan sebuah paradoks yang menggelisahkan. Tidak hanya melihat jumlahnya, tetapi tentang bagaimana tanggung jawab produsen terhadap dampak lingkungan dari kegiatan bisnis mereka,”ucapnya. 

Baca Juga: Mayora Termasuk Lima Besar Produsen Pencemar Sampah Plastik di Indonesia

Dia berharap temuan audit merek ini penting untuk dijadikan sebagai evaluasi untuk mempertimbangkan langkah-langkah produsen yang lebih bertanggung jawab ke depannya, terlebih tidak lagi menggunakan kemasan saset. 

Rima Putri Agustina, Koordinator Trash Hero Indonesia, mengungkapkan  jaringan relawan mereka di Indonesia Timur, yaitu Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Ambon, juga menemukan saset sebagai penyampah plastik terbesar dalam kegiatan yang mereka lakukan.

Dia mengatakan, daerah Timur Indonesia adalah geografi yang rentan terhadap pencemaran plastik karena terdiri dari banyak pulau kecil, dengan layanan pengumpulan sampah yang terbatas di beberapa daerah, terutama di daerah ibukota kabupaten saja.

Baca Juga: Bikin Sampah Plastik Menggunung, Tanggung Jawab Produsen Galon Sekali Pakai Dipertanyakan

Menurutnya, kasus Indonesia Timur adalah gambaran jelas bahwa persoalan yang ditimbulkan oleh saset tidak bisa diserahkan kepada pemerintah daerah dan konsumen saja, tapi harus sudah  menjadi tanggung jawab produsen.

Fictor Ferdinand, Peneliti di YPBB menyarankan agar selain pengurangan produksi kemasan saset, perlu dibarengi langkah bertahap mendukung sistem guna ulang sebagai solusi mengatasi krisis saset.

Menurut dia, langkah yang dilakukan bisnis guna ulang ini menjadi solusi nyata yang seharusnya dipilih oleh produsen alih-alih berfokus pada solusi semu.

Baca Juga: Yaksindo Sebut Kesimpulan Audit Sampah Plastik oleh Sungai Watch Tidak Fair    

Saat ini terdapat regulasi yang mendukung sistem guna ulang yang tertuang pada peraturan BPOM nomor 12 tahun 2023 dan standar PR3 untuk menciptakan kerangka kerja bisnis guna ulang yang aman dan dapat diandalkan.

“Bisnis refil dan reuse yang dikembangkan masyarakat, adalah contoh bagaimana sistem yang sama dapat dikembangkan produsen. Tetapi bisnis refill masyarakat ini tidak bisa menyelesaikan persoalan sampah saset dari produsen besar, karena kondisi regulasi dan mekanisme perizinan di Indonesia tidak mendukung pengemasan ulang,” tuturnya. 

Karenanya, dia berharap pemerintah perlu lebih tegas meregulasi para produsen, sekaligus pada saat yang sama, menciptakan kondisi yang kondusif agar bisnis refil masyarakat ini bisa berkembang.

Baca Juga: CooperVision dan Plastic Bank Lanjutkan Kerja Sama Daur Ulang Plastik Sampai 2026, Cegah Pencemaran Lingkungan

Di sisi lain, lanjutnya, para produsen perlu menjadi pionir untuk solusi yang sesungguhnya, yaitu refill dan reuse, tidak lagi menghasilkan sampah yang masih harus diolah oleh konsumennya.

Untuk Asia Tenggara sendiri, konsumsi saset ini hampir mencapai separuh dari pangsa global dengan proyeksi mencapai angka 1,3 triliun saset terjual setiap tahunnya pada tahun 2027.

Perjanjian plastik global yang sedang berlangsung proses negosiasinya antara negara anggota, menjadi satu-satunya peluang seumur hidup untuk mengatasi krisis plastik.

Baca Juga: Peringati Hari Bumi 2024, Blibli Gandeng EcoTouch untuk Kelola Limbah Fesyen dan Plastik dalam Produk Tekstil

Maka, sangat penting untuk memiliki perjanjian plastik global yang kuat dan ambisius untuk mengurangi produksi plastik dan mendorong beralihnya bisnis plastik sekali pakai ke sistem guna ulang.

Secara global, saset terjual per tahun kurang lebih sebanyak 855 miliar. Kemasan saset menawarkan kenyamanan dan harga murah.

Namun, sampah saset menjadi beban lingkungan karena karakter kemasannya yang fleksibel terdiri dari berbagai jenis plastik dan lapisan foil membuatnya sulit untuk dikelola dan didaur ulang oleh sistem pengelolaan sampah. Seringnya, saset berakhir di TPA dan mencemari badan-badan air seperti sungai, hingga pantai. ***

Berita Terkait