What Next, Setelah Trump Berkunjung ke Timur Tengah?

Oleh Amidhan Shaberah*

ORBITINDONESIA.COM - Presiden Donald Trump untuk pertama kali sejak dilantik menjadi Presiden AS periode kedua (20 Januari  2025),  melakukan lawatan  ke Timur Tengah, 13-16 Mei baru lalu. Sebelumnya Trump menghadiri pemakaman Paus Fransiskus, 26 April lalu lalu di Vatikan, Roma. 

Negara Arab yang dikunjungi adalah Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab – tiga negara kaya minyak di kawasan Teluk. Publik internasional bertanya-tanya – untuk apa Trump ke Teluk? Untuk mendamaikan perang Palestina dan Israel?

Untuk mengajak tiga negara kaya itu membangun Palestina yang luluh lantak dihancurkan Israel? Untuk mengucilkan Iran setelah Teheran “berdamai” dengan Saudi Arabia? Untuk mencari uang guna menambal defisit anggaran belanja pemerintah federal di Washington? Atau semuanya?

Sangat mungkin semuanya. Yang jelas, Trump membawa pulang kesepakatan bisnis senilai lebih dari 2 triliun dolar, termasuk 600 miliar dolar dari Arab Saudi dan $1,2 triliun dari Qatar.

Luar biasa. Ini uang yang jumlahnya raksasa. Jika dikonversi menjadi indo-rupiah, menjadi Rp 32.000 triliun. Sekitar 9,6 kali total APBN Indonesia tahun 2025. Tak hanya itu. Trump juga mendapat hadiah pesawat kepresidenan dari Qatar dengan standar kualitas Air Force One seharga 400 juta dolar.    

Yang menarik, kunjungan Trump ke Timur Tengah itu, tidak dilanjutkan ke Israel. Padahal, jaraknya sudah dekat. Dari situ, publik internasional menduga, Trump mulai tak suka terhadap PM Israel Benjamin Netanyahu, yang dianggapnya antiperdamaian.

Sikap Netanyahu tersebut berdampak pada citra Trump. Kunjungan Trump ke Timteng zonder mampir ke Israel itu, menurut analis politik Denny JA, adalah pertanda Washington akan mengakui Palestina. Tapi, menurut kabar yang beredar di Gedung Putih, Trump akan mengakui Palestina jika tanpa Hamas.  

Wow! Mungkinkah? Sebuah gagasan yang jauh dari kesepakatan Oslo (Oslo Accord yang ditandatangani Yitzhak Rabin, Yasser Arafat, Bill Clinton tahun 1990-an). Oslo Accord mendorong Palestina merdeka dan berdampingan dengan Israel secara aman dan damai. Seperti  Belgia dan Luxembourg di Eropa Barat. 

Washington menyatakan, pada dasarnya AS bersedia mengakui Palestina sebagai entitas negara merdeka dan berdaulat, asalkan pemerintahan di dalamnya tidak melibatkan Hamas. Selanjutnya Gaza harus dibersihkan dari kelompok bersenjata.

Sebagai gantinya, dibangun infrastruktur baru dengan investasi internasional. Berikutnya, penyempurnaan Kesepakatan Abraham —  yaitu negara-negara Arab didorong menormalisasi hubungan dengan Israel, sebagai imbalan atas stabilitas dan bantuan ekonomi. 

Dan terakhir -- ini yang membuat keinginan Trump aneh -- mendorong aliansi regional Timteng untuk “memusuhi dan mengucilkan” Iran demi “stabililitas kawasan”. 

Yang terakhir ini lucu, sebab Arab Saudi sudah melakukan pendekatan kepada Iran, untuk mereduksi ketegangan di Teluk dengan sponsor Tiongkok. Pangeran Khalid bin Salman, menteri Pertahanan Arab Saudi, 18 April 2025, telah berkunjung ke Teheran dan bertemu langsung dengan pemimpin tertinggi Iran  Ayatullah Ali Khamenei.

Dalam kesempatan itu, Khalid bin Salman memberikan surat dari Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud. Kunjungan tersebut direspon positif oleh Khamenei. 

“Kami percaya bahwa hubungan antara Republik Islam Iran dan Arab Saudi akan menguntungkan kedua negara dan kedua negara saling melengkapi,” kata Khamenei seperti dikutip kantor berita Iran IRNA.

Sayangnya sinyal kesediaan Trump mengakui kedaulatan Palestina tidak serta merta mengurangi intensitas perang di Gaza. Qatar pun tidak meminta Trump untuk menghentikan operasi militer Israel yang dibantu AS di Gaza. 

Gaza hanya mendapat sedikit perhatian publik, meskipun Trump mengulangi gagasan untuk mengubah wilayah tersebut menjadi "zona kebebasan" di bawah kendali AS.

"Biarkan Amerika Serikat terlibat dan menjadikannya sebagai zona kebebasan," kata Trump. Ia mengakui penderitaan warga Palestina. Tapi Trump  tidak dengan tegas mengadvokasi penghentian kekerasan selama perjalanannya ke Timteng tadi.

Kini hampir dua juta warga Palestina menghadapi kekurangan pangan dan risiko kelaparan. PBB dan kelompok-kelompok pembela HAM menuding Israel tengah melakukan genosida di Gaza.  

So what dengan kunjungan Trump ke Timteng? Akankah perdamaian di Palestina akan tercipta? Apakah Palestina akan menjadi negara berdaulat? 

Trump sebetulnya bisa berbuat lebih banyak di Timur Tengah. Misalnya, mengurangi bantuan ekonomi dan pasokan senjata ke Israel. Lalu menekan Tel Aviv untuk berdamai dengan Palestina. 

Tapi mungkinkah itu?  Hingga detik ini, rasanya sulit memisahkan Washington dan Tel Aviv. Sebabnya, pinjam istilah koran Al-Ahram, Mesir, Israel adalah negara bagian ke-51 dari Amerika Serikat. 

Kompleks memang! Tapi di tengah terpuruknya ekonomi Amerika pasca perang dagang dengan Tiongkok, ada indikasi pengaruh Beijing di dunia internasional makin kuat. Jika Beijing mampu mendesak Iran dan Arab Saudi untuk berdamai, kenapa tidak dengan Palestina dan Israel? 

Dari fenomena geopolitik-ekonomi saat ini, kiblat dunia sedang bergeser, dari Washington ke Beijing. Kelak, jika pergeseran terjadi secara signifikan,  akan terjadi pula pergeseran strategi solusi konflik Israel Palestina. Oslo Accord bisa jadi akan terwujud di Timteng! Kalau tidak, solusi ekstrimnya, Israel akan lenyap dari peta dunia!

*KH Dr Amidhan Shaberah, Komisioner Komnas HAM (2002-2007)/Lembaga Kajian MPR RI (2019-2024). ***