Memahami Makna Simbolis dalam Al-Qur’an dan Hadits

Oleh Ali Samudra*

ORBITINDONESIA.COM - Al-Qur’an dan Hadits bukan hanya teks keagamaan normatif, tetapi juga kaya dengan simbol, metafora, dan majas yang membuka ruang pemahaman mendalam dalam berbagai perspektif. Simbol-simbol itu berfungsi meneguhkan pesan moral, spiritual, dan sosial yang bersifat universal.

Karena itu, membaca makna simbolisnya menjadi kunci agar umat Islam dapat menggali kedalaman ajaran secara kontekstual, sesuai dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan.

Tradisi Tafsir dan Simbolisme

Sejak awal, para ulama telah menafsirkan wahyu dengan beragam pendekatan: riwayat (tafsir bi al-ma’tsur), rasional (tafsir bi al-ra’yi), hingga tafsir sufistik (tafsir ishari) yang menekankan simbol dan makna batin. Simbolisme dalam Al-Qur’an dan Hadits bukan sekadar ornamen bahasa, melainkan sarana untuk menyampaikan hakikat terdalam.

Misalnya, ayat “Ar-Rahman ‘alal-‘Arsy istawa” (QS. Thaha: 5) tidak dipahami secara fisik, tetapi sebagai lambang kekuasaan Allah yang melampaui ruang dan waktu. Demikian pula ayat “Yadullah fauqa aydihim” (QS. Al-Fath: 10) adalah simbol dukungan dan legitimasi ilahi atas perjanjian kaum Muslim.

Perumpamaan lain seperti “keledai yang membawa kitab” (QS. Al-Jumu’ah: 5) mengingatkan bahwa ilmu tanpa pengamalan tak lebih dari beban kosong. Sedangkan ayat “Allah adalah cahaya langit dan bumi” (QS. An-Nur: 35) menjadi puncak simbolisme Qur’ani, melahirkan refleksi panjang dalam filsafat, sufisme, hingga seni Islam.

Hadits Nabi pun sarat simbolis. Sabda: “Dunia penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir” (HR. Muslim) adalah metafora keterbatasan duniawi. Perumpamaan “hati manusia bagaikan bejana” (HR. Ahmad) dan “umat mukmin laksana satu tubuh” (HR. Bukhari-Muslim) menegaskan pentingnya dimensi moral, sosial, dan spiritual. Simbolisme ini tidak hanya pedagogis, tetapi juga menjembatani teks wahyu dengan pengalaman hidup manusia.

Membaca Simbol dalam Perspektif Zaman

Makna simbolisme wahyu senantiasa bergerak seiring konteks zaman.

1. Era Klasik: simbol berfungsi memudahkan masyarakat Arab awal memahami wahyu secara praktis.

2. Era Pertengahan: filsuf dan sufi menggali makna batin, seperti simbol cahaya sebagai lambang hidayah dan pengetahuan.

3. Era Modern: simbolisme dipahami universal, termasuk kritik sosial. Misalnya, “tangan Allah” dapat dimaknai sebagai legitimasi moral sekaligus koreksi atas politik yang menyimpang.

4. Era Kontemporer: dengan semiotika dan hermeneutika, simbol dibaca sebagai bahasa universal yang terus dapat ditafsir ulang.

Dengan cara ini, wahyu tetap hidup, tidak kaku, dan mampu menjawab kebutuhan spiritual, intelektual, maupun sosial masyarakat modern.

Simbolisme dalam Dialog dengan Sains

Perkembangan ilmu pengetahuan memberikan lensa baru. Air yang menjadi simbol kehidupan (QS. Al-Anbiya: 30) kini dipahami secara ilmiah: tubuh manusia 70 persen terdiri dari air. Cahaya Allah dapat dikaitkan dengan energi elektromagnetik yang menopang kehidupan, meski makna spiritualnya tetap dominan. Hadits tentang hati sebagai bejana kini ditafsir dengan psikologi dan neuroscience, mengaitkan qalb dengan emosi dan mental manusia.

Dengan demikian, tafsir simbolik membuka ruang integrasi antara wahyu dan sains tanpa mengurangi nilai transendentalnya.

Dimensi Spiritualitas Simbol

Lebih dalam, simbol adalah jembatan antara dunia lahiriah (ẓāhir) dan batiniah (bāṭin), akal rasional dan pengalaman ruhani.

Simbol Jalan (Ṣirāṭ): “Tunjukilah kami jalan yang lurus” (Al-Fatihah) bukan sekadar rute fisik, melainkan perjalanan eksistensial menuju Allah. Hadits tentang jalan dengan pintu-pintu di kiri kanan (HR. Ahmad) mempertegas makna istiqamah.

Simbol Air dan Hujan: lambang penyucian jasmani sekaligus ruhani. Dalam tasawuf, air melambangkan ilmu yang membersihkan hati.

Simbol Gunung: selain sebagai pasak bumi, juga melambangkan keteguhan iman. Kisah Musa di Gunung Thur menjadi simbol pengalaman spiritual yang mengguncang jiwa.

Para sufi seperti Rumi, Ibn Arabi, dan al-Ghazali menekankan bahwa simbol bukan sekadar bahasa indah, tetapi kunci pembuka rahasia ruhani menuju perjumpaan dengan Allah.

Relevansi Abadi

Memahami makna simbolis Al-Qur’an dan Hadits bukan upaya memodernisasi agama, melainkan menggali kedalaman teks suci agar tetap relevan di setiap zaman. Sebagaimana ditegaskan Fazlur Rahman, Al-Qur’an harus dipahami bukan hanya sebagai teks masa lalu, tetapi pedoman hidup yang terus berbicara dalam setiap konteks sejarah.

Penutup

Tafsir simbolik memberi umat tiga hal penting:

1. Menyadari relevansi Al-Qur’an sepanjang masa.

2. Menghubungkan teks wahyu dengan ilmu pengetahuan modern.

3. Menghidupkan spiritualitas melalui bahasa simbol.

Dengan pendekatan ini, Al-Qur’an dan Hadits tidak hanya dibaca secara normatif, tetapi juga sebagai sumber refleksi, inspirasi, dan transformasi kehidupan—baik di tingkat individu, sosial, maupun intelektual.

Pondok Kelapa, 28 Agustus 2025

*Ali Samudra, Penasehat Yayasan Masjid Baitul Muhajirin Pondok Kelapa, Jakarta Timur. ***