Review Buku "Ketika Agama Jadi Bencana", Karya Charles Kimball: Membaca Sisi Gelap Iman
ORBITINDONESIA.COM - Buku Ketika Agama Jadi Bencana karya Charles Kimball adalah refleksi mendalam tentang bagaimana agama, yang seharusnya menjadi jalan menuju kedamaian dan kasih, justru dapat tergelincir menjadi sumber malapetaka.
Kimball menulis dengan perspektif tajam dan pengalaman panjang dalam dialog antariman.
Ia tidak menghakimi agama sebagai penyebab tunggal konflik, tetapi menyingkap mekanisme yang membuat agama bisa berubah dari kekuatan moral menjadi alat kekerasan.
Inti buku ini berpusat pada lima tanda bahaya yang perlu diwaspadai agar agama tidak melenceng dari tujuan sucinya.
Pertama adalah klaim kebenaran absolut. Kimball menjelaskan bahwa ketika sebuah agama menutup diri dengan meyakini hanya dirinya yang benar, ruang dialog langsung tertutup.
Klaim ini mendorong eksklusivisme dan melahirkan konflik, karena yang berbeda dianggap musuh, bukan sesama manusia.
Bahaya kedua adalah ketaatan buta pada pemimpin agama.
Dalam kondisi ini, pengikut tidak lagi menggunakan nalar kritis, melainkan mengikuti semua perintah tanpa mempertimbangkan benar-salahnya.
Sejarah mencatat banyak tragedi lahir dari ketaatan semacam ini, dari sekte-sekte yang berakhir tragis hingga gerakan besar yang menindas atas nama iman.
Kimball menekankan pentingnya keseimbangan antara hormat kepada otoritas dan kebebasan berpikir.
Tanda bahaya ketiga adalah obsesi membangun utopia religius.
Mimpi tentang masyarakat ideal sering kali terlihat mulia, tetapi dalam praktiknya kerap menciptakan eksklusi.
Mereka yang tidak sesuai dengan tafsir “dunia sempurna” dianggap penghalang yang harus disingkirkan. Utopia yang menolak pluralitas akhirnya menumbuhkan penindasan baru.
Bahaya keempat adalah prinsip tujuan menghalalkan cara. Kekerasan dan perang bisa dipoles menjadi ibadah ketika dibungkus dalih membela Tuhan.
Kimball menegaskan, jika agama sampai membenarkan darah yang tertumpah demi ambisi tertentu, maka agama sudah kehilangan hakikatnya.
Tuhan tidak membutuhkan pembelaan melalui kekerasan, tetapi melalui praktik kasih dan keadilan.
Bahaya kelima adalah penggunaan agama sebagai kendaraan politik. Ketika agama masuk ke ruang kekuasaan, ia mudah diperalat sebagai alat legitimasi.
Politik yang memanipulasi simbol-simbol agama biasanya menimbulkan polarisasi, memperdalam perpecahan, dan merusak keutuhan sosial.
Kimball menyoroti bahwa bahaya ini tidak hanya terjadi di satu wilayah, melainkan di banyak belahan dunia.
Yang membuat buku ini penting adalah keseimbangan antara kritik dan harapan.
Kimball tidak berhenti pada sisi gelap agama, tetapi juga menunjukkan potensi agama sebagai kekuatan transformasi.
Ia percaya, jika umat beriman mampu mengenali tanda-tanda bahaya ini, agama dapat kembali pada fungsinya sebagai sumber moralitas, solidaritas, dan pengharapan.
Agama bisa menjadi energi untuk memperjuangkan keadilan, merawat perdamaian, dan meneguhkan martabat manusia.
Membaca Ketika Agama Jadi Bencana terasa seperti bercermin.
Pertanyaan yang diajukan Kimball begitu relevan: apakah praktik beragama kita hari ini menghidupkan, atau justru menyakiti?
Apakah iman yang kita jalani benar-benar membebaskan, atau sekadar membangun tembok yang memisahkan?
Buku ini bukan sekadar kritik, melainkan undangan untuk berani berpikir jernih.
Ia mengingatkan kita bahwa agama selalu memiliki dua wajah: wajah kasih dan wajah kekerasan.
Tugas kita adalah menjaga agar wajah kasih selalu lebih dominan, agar agama tetap menjadi cahaya, bukan bara api yang membakar kemanusiaan.***