Supriyanto Martosuwito: Meluruskan Pesan Keliru Cinta Laura Kiehl

Oleh Supriyanto Martosuwito, wartawan senior.

ORBITINDONESIA.COM - Cinta Laura Kiehl adalah pesohor, selebritas, dan tokoh muda yang layak dikagumi. Berdarah campuran Jerman Indonesia, putri dari Michael Kiehl, seorang manajer hotel Grand Hyatt Jakarta ini, meraih dua gelar sarjana, yaitu Sastra Jerman dan Psikologi, dari Universitas Columbia, New York, tahun 2014, dengan predikat cum laude. Dia lulus dalam waktu tiga tahun dan memiliki Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,9. Perempuan smart!

Selain itu, melalui Soekarseno Foundation yang didirikan bersama ibunya, Herdiana Soekarseno Kiehl, Cinta Laura telah merenovasi beberapa Sekolah Dasar (SD) dan mendirikan satu Sekolah Menengah Pertama (SMP) gratis di Bogor. Inisiatif ini bertujuan untuk meningkatkan akses pendidikan bagi anak-anak di daerah terpencil dan memberikan kesempatan yang sama bagi perempuan.

Tapi sepintar pintarnya Cinta Laura, dia bisa keliru juga. Mungkin dia salah menerima informasi, salah menerima asupan berita, fakta dan data, sehingga tergelincir. Dan sayangnya, pesohor lajang 32 tahun ini langsung bicara kepada dunia. Mengirim pesan yang salah!

Berikut ini poin poin yang disampaikan Cinta Laura bersama konten kreator Indah Gunawan - dan perlurusan yang perlu dijelaskan kepada keduanya.

BENAR - ada kerusuhan di negeri kita, dan jatuh korban jiwa, juga warga tewas sia-sia. Ada krisis keamanan warga di beberapa kota, tapi skala anarki dan kerusuhan masih dalam kendali negara. Per 2 September 2025, Presiden kita bisa terbang ke Beijing, memenuhi undangan kenegaraan. Dan hari ini kehidupan sudah normal kembali. Sudah pulih.

Kerusuhan yang merebak di sejumlah kota dan provinsi, tidak bisa serta-merta disamakan dengan “failed state” (negara gagal) yang membutuhkan campur tangan dan bantuan internasional.

Data fakta seputar ketimpangan antara rakyat dan elite kita di eksekutif dan parlemen yang disampaikan Cinta Laura dan Indah G - benar adanya. Tapi kesimpulan dan tindak lanjutnya yang keliru.

Bahwa demokrasi Indonesia sedang mengalami turbulensi - ya! Tapi menyebutnya “demokrasi sedang terancam” sungguh berlebihan. Mekanisme politik, hukum, dan sosial masih berjalan.

Negara maju pun tidak bebas dari aksi kekerasan, penjarahan, kelaparan, bahkan kematian anak. Di Amerika Serikat, misalnya, khususnya di New York dan Los Angeles, tengah mengalami krisis “opioid”, banjir tunawisma (‘homeless’) dan kekerasan bersenjata. Negara Eropa masih punya tingkat kemiskinan anak dan pengungsi yang mengkhawatirkan.

Isu adanya pembungkaman media dan siaran relevisi juga tidak benar. Media bebas memberitakan apa yang terjadi. Yang dilarang adalah siaran “live” dari lokasi kerusuhan, karena berpotensi memperluas konflik dan aksi anarkisme. Dan hal itu sudah ada dalam kesepakatan KPI (Komite Penyiaran Indonesia) yang dipahami para pengelola media utama, khususnya televisi dan radio.

Tiktok menghentikan ‘live’, atas inisiatif Tiktok sendiri. Belajar dari kasus yang sama di Amerika, bahwa siaran 'live' di Tiktok memperburuk kerusuhan dan mempersulit aparat menanganinya.

LALU - “framing” bahwa Indonesia butuh “donasi uang” dari dunia internasional - “Right now we urgently need two thing: global watch and donation, ” kata Indah G, rekannya. Sungguh sangat disayangkan. Karena merendahkan martabat bangsa. Menciptakan kesan bahwa negara Indonesia sudah teramat krisis, tidak berdaulat, padahal bangsa ini sedang mencari solusi sendiri.

Tahukah Cinta - dan Indah - bahwa permintaan bantuan asing akan mengundang intervensi yang seringkali berujung pada dikte politik, bukan sekadar bantuan. “Baiklah kami memberikan bantuan, tapi bebaskan semua pelaku demo, tanpa kecuali”. Sungguh bahaya.

Selain itu, bahaya narasi “minta bantuan internasional” sangat mudah dipelintir oleh NGO internasional atau organisasi HAM seperti Amnesty untuk menekan Indonesia dengan standar demokrasi liberal mereka.

Seharusnya narasi yang keluar dari figur publik seperti Cinta Laura adalah: “Kami punya masalah, tapi kami berusaha mengatasinya. Kalian di luar negeri bisa mendukung dengan doa, solidaritas moral, atau pertukaran pengetahuan—bukan mengulurkan uang dan menganggap kami tidak mampu.”

Dengan begitu, pesan tetap kuat, tapi tidak merendahkan posisi Indonesia di mata dunia.

Saya setuju negeri kita sedang tidak baik baik saja. Tapi itu bukan alasan untuk minta campur tangan asing! Sepenuhnya, ini masalah rumahtangga kita!

Lagipula aneh. Bulan lalu, menyambut HUT RI ke-80, tepat di 17 Agustus 2025, Indonesia menerjunkan 80 ton logistik ke Palestina. Ada 10 ton beras dikirim juga. Sisa bantuan lainnyanya disalurkan secara bertahap.

"Ratusan miliar rupiah, jutaan dolar, sudah terkirim ke sana selama beberapa lama ini. 4.400 ton bantuan logistik sudah terkirim ke sana. Oleh karena itu, dan ini merupakan bentuk dan wujud dari aksi nyata yang kita sebagai bangsa Indonesia lakukan," ujar Menteri Luar Negeri, Sugiono.

Lalu, Cinta Laura dan kawannya, mendadak justru minta bantuan asing? Minta kiriman uang? Donasi? Yang benar saja!

BAGAIMANA pun saya mengagumi Cinta Laura. Juga rekannya, Indah G. Sedikit sekali dari para selebriti cantik kita yang berkarya nyata, peduli pada anak-anak desa, mendirikan sekolah dan pemberdayaan kaum perempuan. Itu patut dihargai. Selain itu, dia konsisten menolak politik praktis, enggan dijadikan “boneka parlemen” seperti para pesinetron seangkatannya.

Namun - justru karena posisinya yang bersih dari politik, suara Cinta Laura (dan Indah G) lebih didengar. Dunia menyorotinya. Itu sebabnya penting baginya untuk berhati-hati: jangan sampai kemampuannya mengirim pesan ke dunia internasional, dimanfaatkan pihak luar untuk menggoreng isu yang malah merusak negeri.

Kritik ini bukan penolakan terhadap kepedulian Cinta Laura dan Indah Gunawan - melainkan koreksi atas “framing” yang salah. Sebagai generasi emas, suara mereka didengar dunia. Karena itu sebaiknya mereka memperkuat narasi kedaulatan negara kita. Bukan membuka celah intervensi. 

NB:

Peristiwa politik yang sama sedang terjadi di Nepal saat pemerintahannya sama sama mendekati China dan menjauhi Barat. Rakyat marah, gedung parlemen dibakar, influencer tampil sebagai tokoh gerakan. Bedanya Indonesia terkendali, pemerintahan pulih. Sedangkan di Nepal, PM Nepal jatuh.***