Ketua Umum DePA-RI Luthfi Yazid: Reset Sistem Negara Hukum
ORBITINDONESIA.COM - Ketua Umum DePA-RI (Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia), Dr. TM Luthfi Yazid, S.H., LL.M. memberikan Kuliah Umum di hadapan ratusan mahasiswa Prodi PPKn di Aula Gedung FKIP Universitas Mataram (Unram), pekan lalu.
Topik yang menjadi pembahasan kuliah umum, —dengan dimoderatori oleh dosen senior bidang hukum Unram Dr. Hj. Yuliatin, SH, MH — adalah “Negara Hukum: Antara Cita dan Realita”.
Dalam kesempatan itu, Luthfi Yazid menyampaikan beberapa hal penting. Pertama, berdasarkan UUD 1945 jelas diamanatkan bahwa Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 Ayat (3)). Pilihan sejak awal sudah jelas: Rechstaat, Rule of Law atau konstitutionalisme. Bukan negara kekuasaan atau machstaat.
Kedua, di dalam UUD 1945 tidak ada kata “kepastian hukum” saja, melainkan “kepastian hukum yang adil” (Pasal 28 D Ayat (1)). Artinya, kepastian hukum harus diikuti dengan prinsip keadilan. Titik tekannya justru pada keadilan.
Pasal 28D Ayat (1) ini sangat sejalan dengan pembukaan UUD 1945, di mana disebutkan atau terdapat penggalan kalimat “..serta dengan mewujudkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” yang kemudian dikenal dengan sila kelima Pancasila.
Jika disimak dengan seksama, para penyusun Konstitusi yang awal jelas menekankan pentingnya mewujudkan keadilan dari sekadar penegakan hukum an sich.
Lantas, pertanyaan yang muncul dari para mahasiswa: Apakah masih perlu mempelajari negara hukum? Bukankah yang ada adalah negara kekuasaan?
Bukankah faktanya hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas? Apa masih relevan bicara soal negara hukum di mana di Indonesia banyak terjadi kriminalisasi kepada mereka yang kritis dengan pemerintah? Banyak aturan hukum yang diremehkan bahkan dinafikan. Hal ini berarti mereka melihat Indonesia lebih sebagai negara kekuasaan ketimbang negara hukum.
Itulah pertanyaan-pertanyaan gelisah dari para mahasiswa Unram. Sebagai generasi penerus, mereka merasakan kegelisahan yang sedemikian rupa. Sebab, seringnya melihat para pejabat ditangkap karena korupsi, putusan pengadilan yang sering melukai rasa keadilan, atau putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap tetapi tak bisa dijalankan. ***