Supriyanto Martosuwito: Menyegel Transmart, Menghukum Anak Singkong
Oleh Supriyanto Martosuwito, wartawan senior
ORBITINDONESIA.COM - Tuntutan sebagian massa Nahdlatul Ulama (NU), khususnya massa GP Ansor, Banser dan alumni pesantren - terhadap Trans7 dan seluruh unit usaha milik Chairul Tanjung - sudah melampaui batas kewajaran.
Aksi penyegelan TransMart di sejumlah daerah bukan lagi ekspresi kekecewaan atas satu program televisi, melainkan bentuk penghukuman sosial terhadap seorang pengusaha yang kebetulan muslim, dan bahkan dikenal sebagai salah satu pengusaha pribumi yang tumbuh dari bawah—dari anak singkong menjadi taipan nasional.
Respons keras akibat tayangan tendensius dari acara “Xpose Uncensored” di Trans7, sah-sah saja. Memang kacau dan busuk tayangan infotainment itu. Tuntutan permintaan maaf, penutupan program dan laporan ke polisi, sangat masuk akal. Dan telah dipenuhi.
Namun ketika kemarahan itu melebar menjadi tuntutan agar KPI - Komisi Penyiaran Indonesia, meninjau izin siar Trans7, serta ajakan memboikot seluruh unit bisnis Trans Corp—termasuk TransMart dan Bank Mega - bahkan meminta agar pimpinan TransTV mondok - situasinya berubah menjadi ironi. Ngawur.
Yang sedang terjadi bukan lagi sekadar pembelaan terhadap marwah kiai, melainkan upaya pengalihan perhatian pada kasus kasus besar dan skandal - yang sedang menimpa kader NU di pemerintahan dan pesantren, sekaligus bentuk penghancuran terhadap simbol keberhasilan seorang muslim di dunia usaha.
Haji Chairul Tanjung tidak hanya dikenal sebagai pemilik jaringan televisi, tetapi juga perintis berbagai bisnis yang membuka lapangan kerja besar bagi masyarakat. Dan dia juga seorang muslim. Ia tumbuh dari keluarga sederhana di Kemayoran, Jakarta Pusat, dari keluarga ekonomi pas pasan; ayahnya seorang wartawan media kecil, ibunya berjualan kue. Dia belajar keras, berjuang menembus kerasnya dunia bisnis Indonesia yang lama dikuasai konglomerat non-pribumi.
Pada masa mudanya, Chairul berjualan lembar fotokopi dan membuka kios kecil di kampus. Ia kemudian mendirikan Para Group, yang tumbuh menjadi Trans Corp—mengakuisisi Bank Mega, mendirikan Trans TV, Trans7, TransMart, dan sejumlah hotel serta properti prestisius. Ia adalah representasi langka: pengusaha muslim yang naik tanpa jalan pintas, tanpa dukungan politik besar, tanpa kemewahan warisan.
Ironinya, kini justru kelompok muslim sendiri yang ingin menumbangkannya. Tuntutan yang menyamar sebagai bentuk moralitas berubah menjadi bentuk pemusnahan ekonomi.
Tim kreatif “Xpose Uncensored” sudah diberhentikan, dan programnya dihentikan permanen, namun amarah massa NU seakan tak puas sebelum seluruh kerajaan bisnis Trans7 runtuh. Sebelum Chairul Tanjung tunduk.
Bahkan ada netizen mengejek, sebentar lagi mereka juga menyegel bus bus TransJakarta.
Padahal, secara prinsip media dan hukum, tanggung jawab sebuah tayangan ada pada pengelola media - bukan pemiliknya.
Bahkan kesalahan satu program infotainment tidak bisa ditimpakan pada tim berita olahraga, kajian agama, acara Kuiz, tayangan musik dan lainnya.
Kesalahan satu unit bisnis juga tidak bisa membatalkan kontribusi ekonomi seluruh grup usaha. Tidak bisa pakai jurus sapu jagat. Main hantam seluruh gedung.
Di sinilah letak ujian kedewasaan Nahdliyin. Apakah mereka sedang menegakkan kehormatan agama atau berniat menindas sesama muslim? Bisakah mereka menuntut tanggung jawab secara proporsional - tanpa mengorbankan nilai keadilan dan akal sehat?
Kemarahan kolektif yang diarahkan pada satu figur sukses seperti Haji Chairul Tanjung, hanya akan memperlebar jurang ironi umat: kita sulit membedakan antara kritik insinuatif bernuansa fitnah dan pembalasan yang membabi buta. Sama jeleknya.
Jika setiap kesalahan media dijawab dengan penyegelan usaha dan pemiskinan pengusahanya, dimana ribuan orang mencari nafkah di sana - maka tak ada ruang bagi siapa pun untuk tumbuh. Demokrasi ekonomi dan kebebasan media akan mati. Bukan oleh tangan penguasa, tetapi oleh amarah kaum fanatik. Baik elitnya maupun massa fanatik pendukungnya.
Chairul Tanjung mungkin bisa mengatasi serangan ini - seperti ia mengatasi masalah kemiskinan masa kecilnya. Tapi luka sosial yang ditinggalkan akan sulit sembuh. Sebab, di balik semua teriakan “membela kiai”, kita justru sedang menyaksikan bagaimana umat menghukum Si Anak Singkong yang berhasil. ***