Pertemuan dengan Luhut Binsar Panjaitan dan Johny Lumintang

Oleh Peter F. Gontha*

ORBITINDONESIA.COM - Beberapa hari lalu, saya berkesempatan bertemu langsung dengan Luhut Binsar Panjaitan (LBP) bersama Johny Lumintang. Pertemuan itu berlangsung terbuka, jujur, dan hangat. Tidak ada kesan formalitas yang kaku; justru suasananya penuh keterusterangan dan saling menghormati. Dalam pertemuan itu, saya mendengar langsung penjelasan Luhut mengenai berbagai isu yang selama ini ramai dibicarakan publik, terutama terkait proyek Whoosh.

Hal pertama yang saya catat adalah bahwa tidak ada pertentangan antara Luhut dan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, sebagaimana sering digambarkan di media sosial. Keduanya berteman baik, saling menghargai, dan berbicara tanpa ketegangan sedikit pun. Karena itu, ketika saya membaca berbagai komentar yang menggambarkan keduanya seolah berselisih, saya tahu bahwa itu hanyalah hasil tafsir liar dan provokasi dunia maya.

Fenomena seperti ini mencerminkan bagaimana media sosial kerap menciptakan drama dari perbedaan gaya dan karakter. Luhut dikenal sebagai sosok tegas, kadang keras, sementara Purbaya sedang banyak mendapat simpati publik. Kombinasi dua figur kuat ini mudah dijadikan bahan spekulasi—terutama di era digital yang haus kontras dan konflik.

Dalam pertemuan itu, Luhut menjelaskan secara terbuka bahwa Whoosh bukan proyek yang ia mulai dari nol. Ia justru mewarisi proyek dengan kontrak yang sudah bermasalah sejak awal, terutama dalam hubungan dengan pihak Tiongkok. Setelah saya menelusuri berbagai data dan jejak digital, memang benar: ia sedang memperbaiki sesuatu yang rusak, bukan menciptakan masalah baru.

Menariknya, orang yang paling bertanggung jawab atas kekacauan proyek di masa lalu kini sudah tiarap. Siapa dia? Ah, cari sendiri saja. Jejak digitalnya masih ada bagi siapa pun yang mau menelusuri. Kini Luhut harus menanggung beban memperbaiki warisan yang ditinggalkan orang lain.

Namun, saya juga melihat sisi manusiawi dari Luhut. Ia mengakui bahwa dirinya merasakan tekanan besar terhadap pribadinya—dari opini, pemberitaan, dan serangan yang datang silih berganti. Saya sampaikan kepadanya secara langsung:

“Pak Luhut, sebaiknya jangan terlalu banyak bicara dan jangan terlalu emosional. Hindari kata-kata yang bisa menyinggung orang lain. Saya tahu, orang Batak memang apa adanya, ceplas-ceplos. Tapi masyarakat sekarang sudah berubah. Gaya bicara keras tidak selalu bisa diterima semua orang seperti dulu.”

Saya menegaskan bahwa persoalan utama bukan pada kinerja atau niatnya, melainkan pada cara berkomunikasi dengan publik. Di era digital, setiap kalimat bisa dipelintir, setiap emosi bisa ditafsirkan negatif. Karena itu, berbicara seperlunya dan menjaga nada adalah bagian dari strategi menjaga kredibilitas.

Luhut mendengarkan dengan tenang. Saya melihat ketulusan seorang pekerja keras yang ingin memperbaiki apa yang rusak, meski sering disalahpahami. Dari pertemuan itu, saya menyadari bahwa masalah besar di negeri ini sering kali bukan pada substansi kebijakan, tetapi pada cara kita menyampaikannya.

Maka, setelah mendengar langsung dan melihat sendiri, saya menyimpulkan:

Whoosh bukan kegagalan, melainkan proses perbaikan.

Pertemuan dengan Luhut Binsar Panjaitan dan Johny Lumintang menjadi pengingat bahwa di balik segala kontroversi, selalu ada orang yang bekerja diam-diam untuk memperbaiki keadaan—meski terkadang, kata-katanya tak seindah hasil kerjanya.

Untuk saat ini, nikmati saja dulu serangan netizen. Tulis buku yang menjelaskan semua yang Anda lakukan untuk negara. Akui kesalahan—selama bukan korupsi—terlebih jika bisa dibuktikan, dan jadikan kesalahan sebagai modal perbaikan.

Whoosh kini telah menjadi aset yang berguna. Harus dipelihara, direvaluasi, dan jika perlu, dilakukan renegosiasi dengan kreditur. Semua ada jalan keluarnya. Jadikan proyek ini sebagai modal pembangunan infrastruktur berikutnya.

*Peter F. Gontha adalah pengusaha nasional. Tulisan ini dikutip dari akun FB-nya. ***