Catatan Denny JA: Belajarlah Soal Minyak Hingga ke Abu Dhabi
Menghadiri Eksibisi dan Konferensi Minyak Internasional ADIPEC, 3–6 November 2025 (1)
Oleh Denny JA
ORBITINDONESIA.COM - Beberapa hari sebelum terbang ke Abu Dhabi, ingatan saya kembali pada satu malam bersejarah.
Tahun 2016, di ruang utama Abu Dhabi National Exhibition Centre, suasana terasa tegang, seperti udara yang menahan diri untuk tidak bergerak.
Di dinding kaca yang menghadap ke Teluk Persia, lampu-lampu kota bergetar seperti denyut nadi.
Ratusan eksekutif migas dunia duduk terpaku.
Di layar raksasa, grafik harga minyak menukik tajam — menembus di bawah USD 30 per barel, level terendah dalam lebih dari satu dekade.
Dunia energi saat itu berada di tepi jurang.
Krisis ini mengguncang ekonomi global: proyek-proyek miliaran dolar dihentikan, lapangan kerja dihapus, dan negara-negara penghasil minyak menghadapi defisit akut.
Suasana di Abu Dhabi malam itu bukan sekadar konferensi. Itu adalah ruang darurat peradaban energi.
Lalu terdengar kabar dari sela-sela diskusi: OPEC berencana memangkas produksi besar-besaran. Kabar itu menyebar seperti arus listrik di antara ribuan peserta.
Sebagian menatap layar, sebagian menghitung ulang neraca perusahaan, sebagian lain menunduk, menyadari sejarah sedang bergeser.
Itulah malam ketika Abu Dhabi menjadi pusat gravitasi dunia.
Untuk pertama kalinya sejak kejatuhan harga minyak 2014, dunia melihat tanda bahwa OPEC bersiap menarik rem, bukan lagi menginjak gas.
Bagi mereka yang hadir, keputusan itu bukan sekadar kebijakan ekonomi. Itu titik balik sejarah.
-000-
Sebelum malam itu, industri migas telah dua tahun berdarah.
Harga yang pernah melampaui seratus dolar per barel jatuh bebas akibat kelebihan pasokan global dan revolusi shale gas di Amerika Serikat.
Bayangkan: nilai minyak merosot tinggal 30% dari harga puncaknya.
Negara-negara penghasil minyak: Venezuela, Nigeria, Irak, bahkan Arab Saudi, bergejolak.
Anggaran negara terkuras.
Stabilitas sosial terguncang.
Bagi banyak orang, era kejayaan minyak seolah berakhir.
Namun di tengah gelombang ketakutan itu, Abu Dhabi menyalakan kembali obor kepercayaan.
Diskusi-diskusi di ADIPEC 2016 menjadi tempat kelahiran konsensus baru: bahwa dunia perlu mengatur kembali produksi, menjaga harga, dan mengembalikan keseimbangan pasar.
Para analis menyebut momen itu sebagai “the turning point.”
Para pelaku industri menyebutnya dengan nada lebih emosional:
“The night OPEC returned to power.”
-000-
Untuk memahami besarnya momen itu, kita perlu kembali ke asal-usulnya.
ADIPEC (Abu Dhabi International Petroleum Exhibition & Conference) pertama kali digelar pada tahun 1984 oleh Society of Petroleum Engineers (SPE) bersama pemerintah Uni Emirat Arab.
Tujuannya sederhana namun visioner: menciptakan wadah pertemuan tahunan di mana ilmu, industri, dan diplomasi energi bertemu dalam satu ruang.
Tiga dekade kemudian, ADIPEC tumbuh menjadi konferensi minyak dan energi terbesar di dunia.
Kini ia dihadiri lebih dari 2.200 perusahaan, 160.000 profesional, dan 50 menteri energi dari berbagai negara.
Setiap bulan November, Abu Dhabi berubah menjadi ibu kota global energi, tempat keputusan besar lahir dan peta geopolitik energi dunia diperbarui.
Bukan kebetulan jika media menjulukinya sebagai
“The Davos of Oil.”
Di sinilah Aramco, ADNOC, Pertamina, Shell, TotalEnergies, dan Equinor membangun jejaring, menandatangani kesepakatan, dan menegosiasikan masa depan energi dunia.
Dan di sinilah pula, pada 2016, OPEC melakukan manuver paling dramatisnya: mengumumkan pemangkasan produksi 1,2 juta barel per hari yang kemudian dikenal sebagai OPEC+ deal.
Keputusan yang lahir di ruang-ruang Abu Dhabi itu mengubah arah sejarah ekonomi dunia.
Harga minyak pulih hampir dua kali lipat dalam setahun berikutnya.
Industri bangkit kembali. ADIPEC pun dikenang sebagai simbol kebangkitan setelah masa gelap.
-000-
Abu Dhabi bukan sekadar kota; ia adalah metafora.
Dari gurun sunyi dan terik matahari, ia menjelma menjadi pusat kebijaksanaan energi global.
Di sinilah minyak bukan hanya komoditas, tetapi juga bahasa diplomasi dan filosofi kekuasaan.
Ketika saya melangkah ke ADIPEC 2025, delapan tahun setelah peristiwa legendaris itu, satu pertanyaan berputar di kepala:
“Rahasia apa yang bisa saya bawa pulang agar Indonesia lebih cepat mencapai kemandirian energi?”
Pertanyaan itu bukan akademik.
Ia adalah pertanyaan spiritual tentang takdir bangsa.
Karena bagi Indonesia, energi bukan sekadar urat ekonomi. Melainkan, ia urat nadi kedaulatan.
Saya ingin menyaksikan dari dekat bagaimana Uni Emirat Arab mengelola paradoks:
menjadi eksportir minyak terbesar, tetapi sekaligus pionir energi hijau.
Ia membangun kilang baru, namun berinvestasi miliaran dolar untuk carbon capture dan renewables.
Dari ADIPEC saya ingin belajar bahwa kemandirian energi bukan berarti berdiri sendiri,
melainkan memahami bagaimana dunia bekerja, lalu bernegosiasi dengan cerdas di dalamnya.
Indonesia tidak bisa mengisolasi diri.
Kita harus menguasai ilmu, teknologi, dan diplomasi energi sebagaimana Abu Dhabi menguasai pasar global.
Kehadiran kita di ADIPEC bukan sekadar seremonial, tetapi strategis dan eksistensial.
Di sanalah Indonesia dapat:
• menarik mitra internasional untuk proyek CCS/CCUS,
• mempelajari inovasi low-carbon upstream,
• dan menegaskan peran Pertamina Hulu Energi sebagai pemain global sejajar dengan ADNOC, Aramco, atau Equinor.
-000-
Saya membayangkan berjalan di antara paviliun megah dan prototipe sumur digital,l.
“Segala sesuatu ada waktunya—waktu menanam dan waktu menuai.”
Minyak pernah menjadi berkah, lalu menjadi kutukan, dan kini sedang menjadi pelajaran.
Energi bukan hanya soal produksi, melainkan juga soal peradaban dan moral. Bagaimana kita memanfaatkan sumber daya tanpa menindas bumi?
Bagaimana kita makmur tanpa menghancurkan masa depan?
Abu Dhabi mengajarkan bahwa transisi energi bukanlah akhir dari migas—melainkan evolusi kesadaran manusia.
Dari dominasi menuju kolaborasi,
dari ego nasional menuju tanggung jawab global.
-000-
Di pameran ADIPEC 2025, saya ingin melihat teknologi masa depan: kecerdasan buatan yang bisa mendeteksi kebocoran emisi secara langsung dan mesin bor yang digerakkan hidrogen.
Inilah bukti bahwa krisis iklim bisa diubah menjadi peluang. Untuk Indonesia, artinya kita perlu memakai teknologi digital untuk mengelola kilang.
Kita juga perlu meneliti bahan bakar bersih seperti amonia biru, dan menjadikan energi hijau sebagai kekuatan baru di dunia.
Saya sadar, belajar tentang minyak bukan sekadar belajar tentang energi, tetapi tentang manusia:
tentang keserakahan, keberanian, dan kebijaksanaan.
Setiap kebijakan energi adalah keputusan moral yang membentuk masa depan peradaban.
Dan kemandirian sejati bukan berarti kita tak membutuhkan siapa pun,
melainkan ketika kita mengerti cara dunia bekerja—dan memimpin arah perubahannya.
Abu Dhabi mengajarkan satu hal yang tak tertulis di buku mana pun:
bahwa masa depan energi adalah milik bangsa yang berani belajar.
Minyak bukan sekadar cairan hitam di bawah tanah,
tetapi simbol dari keberanian manusia menggali masa depan.
Dan bagi Indonesia, pelajaran itu sederhana namun mendalam:
Belajarlah soal minyak hingga ke Abu Dhabi,
karena di sanalah dunia energi berbicara dengan jujur.
Dan masa depan menunggu mereka yang datang untuk mendengar.*
Jakarta, 31 Oktober 2025
Referensi
1. Daniel Yergin, The Prize: The Epic Quest for Oil, Money, and Power (Simon & Schuster, 2008).
2. Matthew R. Simmons, Twilight in the Desert: The Coming Saudi Oil Shock and the World Economy (Wiley, 2005).
-000-
Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World
https://www.facebook.com/share/p/17a1CoJ2qc/?mibextid=wwXIfr