Buku The Future of Energy karya Richard Black (2024): Membayangkan Dunia Tanpa Energi Fosil

ORBITINDONESIA.COM- Perbincangan tentang masa depan energi bukan lagi wacana akademik yang dingin dan jauh dari keseharian manusia. Ia adalah denyut yang mengatur peradaban, menentukan arah ekonomi global, dan bahkan menggambar ulang peta politik dunia.

Dalam buku The Future of Energy, Richard Black—mantan jurnalis BBC dan kini direktur think tank energi bersih Ember—menulis dengan semangat visioner namun realistis tentang transisi global menuju energi bersih.

Buku ini terbit pada tahun 2024 di bawah seri The Futures yang diterbitkan oleh Melville House Publishing. Ia ditulis dalam gaya yang ringkas, sekitar 130 halaman, tetapi kaya akan visi dan argumentasi.

Black menolak pandangan pesimistis bahwa dunia masih terlalu jauh untuk meninggalkan bahan bakar fosil. Baginya, masa depan energi bersih bukan lagi sekadar cita-cita futuristik, melainkan sebuah proses yang sedang berlangsung di depan mata.

Dengan latar belakang jurnalistik dan riset kebijakan, Black menulis bukan dari menara gading, melainkan dari pengalaman panjang menyaksikan perubahan paradigma energi di berbagai belahan dunia.

Ia mengajak pembacanya melihat bahwa revolusi energi bukan hanya tentang mengganti sumber daya, tetapi juga tentang membentuk kembali struktur kekuasaan, ekonomi, dan bahkan cara manusia memandang kemajuan itu sendiri.

Isi dan Gagasan Utama: Lima Pilar Dunia Baru

Black memusatkan gagasannya pada lima teknologi yang ia yakini akan mengubah wajah dunia: energi surya dan angin, sistem penyimpanan energi seperti baterai, elektrifikasi transportasi melalui kendaraan listrik, pompa panas yang menggantikan sistem pemanas berbasis fosil, dan hidrogen hijau untuk industri berat. Kelimanya bukan sekadar daftar teknologi, tetapi sebuah peta jalan yang saling terhubung dan membentuk ekosistem energi baru.

Dalam uraian Black, energi surya dan angin menjadi tulang punggung masa depan. Ia mengingatkan bahwa harga panel surya telah turun lebih dari 90 persen dalam dua dekade terakhir, sementara turbin angin kini menghasilkan listrik dengan biaya lebih rendah dibandingkan pembangkit batu bara.

Namun, sumber terbarukan yang bersifat intermiten memerlukan “jantung penyimpanan”—dan di sinilah baterai memainkan peran vital. Sistem penyimpanan bukan hanya menyimpan energi, tetapi mengatur ritme konsumsi dan produksi agar selaras dengan kebutuhan manusia modern.

Selanjutnya, Black menyoroti perubahan besar di sektor transportasi. Mobil listrik bukan lagi prototipe, tetapi realitas jalan raya di banyak negara. Ia menunjukkan bagaimana transformasi ini bukan hanya mengurangi emisi, melainkan juga menciptakan lapangan kerja baru di industri baterai dan material hijau.

Di sisi lain, teknologi pompa panas menawarkan revolusi senyap di sektor pemanas dan pendingin, dua sektor yang jarang menjadi sorotan publik namun menyumbang besar terhadap emisi karbon.

Terakhir, hidrogen hijau menjadi harapan bagi industri berat—sektor yang selama ini sulit direvolusi karena ketergantungan pada proses berbasis fosil. Black menulis dengan penuh keyakinan bahwa jika kelima komponen ini dikombinasikan dengan kebijakan yang tepat, dunia bisa menatap masa depan energi bersih yang efisien, mandiri, dan adil.

Gaya Penulisan dan Pendekatan: Optimisme yang Rasional

Salah satu kekuatan utama The Future of Energy terletak pada gayanya yang lugas dan jernih. Sebagai mantan jurnalis, Black memahami pentingnya menyampaikan konsep kompleks dengan bahasa yang bisa diakses oleh khalayak luas. Ia tidak terjebak dalam jargon teknokratis, melainkan membangun argumen dengan data dan narasi yang hidup.

Optimisme Black terasa bukan sebagai utopia, melainkan sebagai bentuk rasionalitas ilmiah. Ia sadar bahwa perubahan tidak mudah—politik, regulasi, dan kepentingan industri fosil menjadi penghalang besar. Namun, ia menegaskan bahwa hambatan terbesar justru bukan pada teknologi, melainkan pada keberanian politik.

Di sinilah buku ini bertransformasi dari sekadar uraian teknis menjadi seruan moral: transisi energi adalah keputusan etis umat manusia untuk memilih kehidupan di atas kenyamanan sesaat.

Menariknya, Black juga menempatkan energi dalam bingkai geopolitik. Ia melihat bagaimana ketergantungan dunia pada minyak dan gas selama satu abad terakhir telah menimbulkan ketimpangan kekuasaan global.

Dalam pandangannya, energi terbarukan adalah bentuk demokratisasi energi—setiap negara, bahkan rumah tangga, bisa menjadi produsen sekaligus konsumen. Energi bersih, dengan demikian, bukan hanya isu lingkungan, tetapi juga persoalan kebebasan dan kedaulatan.

Kritik: Antara Visi Global dan Realitas Dunia Ketiga

Namun, meskipun buku ini menyala dengan optimisme, ia tetap menyisakan ruang kosong yang terasa penting. Black menulis dengan perspektif global utara—pengalaman Eropa, Amerika, dan sebagian Asia Timur.

Ia jarang menyinggung negara-negara berkembang, termasuk kawasan Asia Tenggara, yang menghadapi tantangan struktural berbeda: infrastruktur yang lemah, ketergantungan pada batu bara murah, dan birokrasi yang lamban.

Dalam konteks Indonesia, misalnya, transisi energi tidak hanya soal mengganti pembangkit, tetapi juga tentang mengubah budaya subsidi, memperluas akses listrik di pulau-pulau terpencil, dan menyeimbangkan kepentingan antara pembangunan ekonomi dan kelestarian alam.

The Future of Energy memang menawarkan kerangka besar, tetapi pembaca Indonesia harus melengkapinya dengan pemahaman lokal agar visi global Black tidak berubah menjadi sekadar retorika.

Selain itu, buku ini terlalu cepat dalam mengasumsikan kesiapan masyarakat global untuk beralih. Dalam banyak negara, adopsi teknologi bersih masih terkendala oleh harga, regulasi, dan resistensi sosial. Black percaya penuh pada daya dorong pasar dan inovasi, tetapi kadang lupa bahwa perubahan perilaku manusia tidak secepat evolusi teknologi.

Refleksi: Relevansi bagi Indonesia dan Dunia

Meski memiliki keterbatasan, The Future of Energy tetap penting dibaca oleh siapa pun yang ingin memahami masa depan energi Indonesia. Dalam visi Black, terdapat benih inspirasi bagi negara-negara yang ingin mandiri dari bahan bakar impor.

Indonesia, dengan limpahan cahaya matahari dan potensi biomassa yang besar, sesungguhnya berdiri di ambang peluang besar. Buku ini membantu pembaca melihat bahwa energi terbarukan bukan hanya proyek teknis, tetapi gerakan kedaulatan nasional—sebuah perjuangan untuk membangun ekonomi yang bersih, berkeadilan, dan berkelanjutan.

Black menutup bukunya dengan nada penuh harapan: masa depan energi bersih bukan lagi pertanyaan “apakah”, melainkan “seberapa cepat”. Pernyataan ini terasa menggema kuat di tengah dunia yang sedang bergulat dengan perubahan iklim, krisis geopolitik energi, dan ketimpangan ekonomi global.

Black menegaskan bahwa teknologi yang kita butuhkan sudah ada di tangan kita; yang kurang hanyalah keberanian kolektif untuk bertindak.

Penutup: Sebuah Seruan untuk Zaman Baru Energi

Sebagai karya nonfiksi populer, The Future of Energy berdiri di perbatasan antara sains dan advokasi. Ia bukan buku teknis bagi insinyur, tetapi manifesto bagi generasi yang sedang menimbang pilihan masa depan.

Black menulis dengan keyakinan bahwa sejarah energi dunia sedang memasuki babak baru—dan kita semua menjadi bagiannya.

Buku ini patut dibaca oleh pembuat kebijakan, pengusaha muda, aktivis lingkungan, dan mahasiswa teknik yang ingin melihat gambaran utuh tentang transisi energi.

Di tangan pembaca Indonesia, buku ini bisa menjadi sumber inspirasi sekaligus tantangan: mampukah kita membangun masa depan energi yang tidak hanya bersih, tetapi juga adil dan merdeka?

The Future of Energy akhirnya bukan hanya berbicara tentang listrik dan baterai, melainkan tentang peradaban baru yang sedang tumbuh. Sebuah peradaban yang berani melepaskan diri dari bayang-bayang minyak dan bara, menuju dunia yang digerakkan oleh sinar matahari, angin, dan tekad manusia untuk hidup lebih selaras dengan bumi.***