Resensi Buku Pengantar Ilmu Sejarah (1995): Kuntowijoyo dan Upaya Memanusiakan Waktu
ORBITINDONESIA.COM- Dalam lautan buku-buku sejarah yang bertebaran di Indonesia, Pengantar Ilmu Sejarah karya Prof. Dr. Kuntowijoyo menempati posisi istimewa. Buku ini merupakan buku babon bagi setiap mahasiswa Ilmu Sejarah di Indonesia. Buku pengantar ini bukanlah buku biasa sebab penulisnya mengajak pembacanya merenungi sejarah sebagai ilmu dan kesadaran.
Pertama kali diterbitkan oleh Bentang Budaya (Yogyakarta, 1995), buku ini bukan hanya memberi pengantar teknis tentang disiplin sejarah, melainkan juga mengajukan cara berpikir baru tentang bagaimana sejarah harus dipahami, ditulis, dan dihayati.
Kuntowijoyo tidak menulis sejarah sekadar sebagai kronologi peristiwa, tetapi sebagai cara manusia memahami dirinya di dalam waktu. Ia mengajak pembaca untuk melampaui hafalan tahun dan nama tokoh, menuju pada pemahaman yang lebih filosofi.
Bahwa sejarah adalah dialog abadi antara masa lalu dan masa kini, antara fakta dan makna, antara manusia dan zamannya.
Isi Buku: Dari Fakta ke Makna, dari Kronik ke Ilmu
Secara garis besar, Pengantar Ilmu Sejarah berisi uraian sistematis tentang teori, metodologi, dan filsafat sejarah. Buku ini dibuka dengan pembahasan tentang pengertian sejarah — baik sebagai peristiwa (history as event), kisah (history as narrative), maupun ilmu (history as science).
Bagi Kuntowijoyo, ketiganya tak bisa dipisahkan: peristiwa menjadi bahan, kisah menjadi bentuk, dan ilmu menjadi metode. Di sinilah sejarah menjadi disiplin ilmiah, bukan sekadar cerita.
Kuntowijoyo menegaskan bahwa sejarah harus memiliki tiga landasan utama:
Pertama: Empiris – didasarkan pada sumber yang dapat diverifikasi.
Kedua, Teoretis – memiliki kerangka berpikir yang jelas, bukan hanya deskripsi.
Ketiga, Kritis – mampu menilai fakta dan menafsirkan makna dengan kesadaran etis.
Dengan ketiga landasan ini, sejarah bukan sekadar dokumentasi masa lalu, tetapi alat untuk memahami struktur masyarakat dan perubahan sosial. Dalam istilahnya sendiri, sejarah adalah ilmu yang berorientasi pada proses dan kausalitas, bukan sekadar kumpulan narasi nostalgia.
Metodologi dan Epistemologi: Sejarah sebagai Ilmu Humaniora
Kuntowijoyo memaparkan dengan sangat teratur langkah-langkah dalam penelitian sejarah — mulai dari heuristik (pengumpulan sumber), kritik sumber, interpretasi, hingga historiografi (penulisan). Namun keunggulan buku ini bukan pada teknisnya semata, melainkan pada penekanan epistemologisnya: bahwa sejarawan tidak boleh berhenti pada data, tetapi harus membangun makna.
Ia menulis, “Sejarah bukan sekadar fakta, tetapi struktur makna dalam waktu.” Pernyataan ini menjadi semacam tesis utama yang membedakan Kuntowijoyo dari sejarawan positivistik yang melihat masa lalu hanya sebagai data mati.
Dalam pandangannya, fakta sejarah adalah produk kesadaran manusia, sehingga objektivitas sejarah tidak berarti menghapus subjektivitas, tetapi mengendalikannya dengan metode.
Buku ini juga menegaskan pentingnya interdisiplinaritas. Sejarah harus terbuka terhadap teori-teori ilmu sosial — sosiologi, antropologi, ekonomi, bahkan psikologi — agar dapat menjelaskan mengapa sesuatu terjadi, bukan hanya apa yang terjadi.
Dengan pendekatan ini, Kuntowijoyo menjadikan sejarah bukan sekadar kronik, tetapi ilmu humaniora yang hidup, yang bicara tentang manusia dalam seluruh kompleksitasnya.
Kuntowijoyo: Sejarawan, Budayawan, dan Pemikir Islam
Untuk memahami corak berpikir dalam buku ini, kita perlu melihat latar belakang penulisnya. Kuntowijoyo (1943–2005) adalah sejarawan lulusan Universitas Gadjah Mada dan University of Connecticut, Amerika Serikat. Selain akademisi, ia juga dikenal sebagai novelis, penyair, dan pemikir Islam progresif.
Karya-karyanya seperti Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi atau Identitas Politik Umat Islam menunjukkan keinginannya untuk menjembatani ilmu pengetahuan modern dengan nilai-nilai Islam dan kemanusiaan.
Dalam Pengantar Ilmu Sejarah, latar belakang humanis dan religius itu terasa kuat. Kuntowijoyo ingin agar sejarawan tidak menjadi robot pencatat fakta, tetapi manusia yang bermoral dan sadar makna.
Kuntowijoyo menolak sejarah yang steril dari nilai, sebab menurutnya sejarah justru adalah arena di mana nilai-nilai diuji oleh waktu.
Ia menulis dengan gaya yang reflektif namun jernih — mengutip para pemikir besar seperti Collingwood, Toynbee, Hegel, dan bahkan Ibn Khaldun — untuk menunjukkan bahwa sejarah memiliki dimensi filosofis yang mendalam. Sejarah, dalam pandangannya, bukan hanya ilmu tentang apa yang sudah terjadi, tetapi tentang mengapa manusia memilih untuk bertindak.
Nilai Gagasan: Sejarah sebagai Ilmu yang Memanusiakan
Salah satu kekuatan utama buku ini adalah keberaniannya mengembalikan dimensi kemanusiaan dalam sejarah. Di tengah maraknya pendekatan kuantitatif dan statistik di ilmu sosial, Kuntowijoyo menegaskan bahwa sejarah harus tetap berpihak pada manusia, pada kisah penderitaan dan kebesaran manusia yang tidak dapat direduksi menjadi angka.
Ia menyebut sejarah sebagai “ilmu memanusiakan manusia dalam waktu.” Dengan kalimat itu, ia menegaskan bahwa sejarah bukan sekadar mempelajari perubahan sosial, tetapi juga mengajarkan empati, kesadaran, dan tanggung jawab.
Dalam konteks pendidikan Indonesia, gagasan ini sangat relevan: bahwa mempelajari sejarah bukan untuk menghafal pahlawan, melainkan untuk menjadi manusia yang sadar waktu, sadar perubahan, dan sadar tanggung jawab sosialnya.
Kuntowijoyo juga menolak pandangan fatalistik bahwa sejarah ditentukan oleh nasib. Bagi dia, sejarah adalah ruang kebebasan manusia. Masa lalu memang membatasi, tetapi juga membuka kemungkinan bagi tindakan moral di masa kini.
Maka, memahami sejarah berarti memahami potensi dan arah perubahan — sebuah ajaran yang dekat dengan etika Islam tentang takdir dan ikhtiar.
Kelebihan dan Keterbatasan Buku
Sebagai buku pengantar, karya ini sangat lengkap. Ia menyajikan dasar-dasar teori sejarah dengan bahasa yang mudah dipahami, namun tidak dangkal.
Kuntowijoyo berhasil menjembatani dunia akademik yang kaku dengan bahasa sastra yang lembut, sehingga pembaca dari berbagai latar belakang — mahasiswa, guru, maupun peneliti — dapat menikmatinya.
Namun, bagi sebagian pembaca modern, buku ini terasa padat dan padat referensi, terutama pada bagian filsafat sejarah yang banyak menyebut tokoh Barat tanpa penjelasan rinci.
Meski demikian, justru di situlah daya tariknya: Kuntowijoyo tidak menulis buku teks biasa, melainkan manifes intelektual tentang bagaimana berpikir secara historis.
Penutup: Sejarah sebagai Cermin Diri dan Arah Bangsa
Pengantar Ilmu Sejarah adalah buku yang mengajak pembaca untuk berpikir secara reflektif: melihat masa lalu bukan sebagai museum, tetapi sebagai cermin untuk memahami diri dan masyarakat.
Di tengah krisis identitas dan banjir informasi hari ini, buku ini tetap relevan. Ia menuntun kita untuk tidak sekadar tahu apa yang terjadi, tetapi juga mengapa kita sampai di sini — dan ke mana kita hendak pergi.
Dengan bahasa yang indah namun ilmiah, Kuntowijoyo mengajarkan bahwa sejarah bukan hanya tentang kemenangan dan kekalahan, melainkan tentang kesadaran manusia terhadap waktu dan tanggung jawabnya terhadap sesama.
Dalam pengertian itu, Pengantar Ilmu Sejarah bukan sekadar buku pelajaran, melainkan kitab renungan: bagaimana menjadi manusia yang mengingat, memahami, dan berbuat.***