Supriyanto Martosuwito: Pramono Anung, Antara Luka dan Bahasa
ORBITINDONESIA.COM - Mereka yang terluka dan berdarah tak perlu menunjukkan bahasa. Melainkan pertolongan darurat. Penolakan pada warga yang berdarah dan terluka adalah kesalahan serius bagi lembaga kesehatan yang seharusnya melayani tanpa diskriminasi.
Sebab, rumahsakit bukan hanya institusi medis, tetapi simbol peradaban, tempat di mana rasa sakit manusia bertemu dengan kepedulian dan kasiy sesamanya. Ketika rumah sakit kehilangan kemanusiaan, yang sakit bukan hanya pasiennya, tetapi juga nurani kota itu sendiri.
Ini adalah renungan dari kisah bernama Repan, remaja 16 tahun yang berdagang madu di Jakarta, menjadi korban begal dan datang ke rumah sakit dalam keadaan terluka. Dia bukan turis, bukan pejabat, seorang anak muda dari Badui Dalam, Banten yang menjadi korban pembegalan di Cempaka Putih, Jakarta.
Namun yang ia temui bukan tangan pertolongan, melainkan penolakan rumah sakit yang tertutup oleh prosedur administrasi. Kasusnya menjadi viral, bukan semata penolakan kedatangan Repan, tapi penyangkalan Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, yang tidak menunjukkan empati, malah menimbulkan luka kedua.
Ia menyangkal kabar adanya penolakan rumah sakit, dan menuding bahwa penyebabnya hanyalah “hambatan komunikasi”—seolah masalah itu berhenti pada ketidakmampuan korban berbahasa Indonesia dengan lancar.
Repan, remaja Badui Dalam membawa botol madu dan berdagang di Jakarta, telah mengumpukan Rp.3 juta dan membawa HP, yang semuanya dirampas begal. Luka yang dideritanya karena dia melawan. Hasil dagangan itu menunjukkan dia mengerti bahasa Indonesia.
Lagi pula, bagi petugas UGD, dengan kedatangan warga berdarah di tangan, komunikasi apa yang diperlukan? Dia membutuhkan pertolongan, jahitan dan perban - bukan teman ngobrol. Urusan administrasi menyusul kemudian.
Jadi, masalahnya bukan kendala bahasa. Tapi kendala nurani yang beku hati tertutup prosedur administrasi.
Pramono Anung, Gubernur Jakarta, dari PDIP, seharusnya berpihak pada Wong Cilik. Bukan berpihak pada Kepala Dinas Kesehatan, yang ABS. Apa dia tak perlu peduli, karena pasien bukan warga Jakarta ? Apa Jakarta masih sekejam itu kepada warga pendatang? ***