Puisi Arie Toskir : Sengsara Belantara

Hutanku Nusantara
Hutan hujan basah
Paru paru dunia
Hijau, dingin, sejuk indah penuh pesona
itu dulu tempo dulu

Cerita di lembaran buku tentang dusun, kampung pedukuhan, gampong, jurong
Kini masih adakah
Memang masih ada tapi hanya yang tersisa
Ya yang tersisa


Itupun tinggal tungggu waktu semua serasa berubah dalam gelisah pasrah
Di telan buto kuasa serakah
Atas nama pembangunan
Modernisasi yang membawa sakit hati kaum pribumi
Datang dari kota
Membawa janji 
Kemakmuran sejahtera

Nyatanya
Datang ngeruk alam dengan pongah, tangan tangan serakah, tamak 
Tak pernah rasa bersalah
Kenapa ? Yang kuasa punya segalanya
Tipu menipu itu wataknya
Hukum dibuat tunduk pada kuasa
Keadilan dikalahkan dengan kertas ber- angka
Idealisme cukup ditukar dengan rayuan dan panggung pencitraan 

Kejujuran dikriminalisasikan atau di penjarakan
Bukan hanya rakyat kebanyakan yang kecewa berat  jadi korban para petualang dan pembalak 
Beruk dan orang utan pun terusir dari habitat kehidupan  
Hutan kini membawa bencana dan kesengsaraan
Tak ada lagi rasa tentraman
sahaja dan guyub
Semua tenggelam dalam penderitaan, tangisan dan jeritan
Bencana hutan 

Hutan belantara masih kudengar 
Itu dalam lagu
Dalam laga penjual janji saat kampanye merebut kursi 
Seminar di tebar di ruang mewah nan megah
Teori dan regulasi dilahirkan
Tapi hutan tak bertambah
Orang pintar, licik, dan rakus saling bantah membantah
Konsesi dan legalitas jadi alas pembenaran
Nyatanya pembalak hutanpun tetap berjingkrakan 
Tak peduli
Karena pat gulipat pilihan jalan mufakat

Dari orde ke orde bicara
Dari reformasi ke restorasi
Lestarikan alamku Lestarikan hutanku
Itu hanya harapan, impian atau hayalan yang tertuang dalam lagu, isu, cerita dan perdebatan
Kini 
Hutan, lebat dengan karbon oksida, air lumpur dan jelaga tumpah menjadi teman akrab Kehidupan di kota sampai desa

Hari esok 
Untuk anak cucu masih adakah hutan belantara

Ku tak mengerti
Kau tak mengerti
Semua dibuat tak mengerti
Hutan belantara
Berganti 
Sengsara belantara

FS
Pagar Alam
5/12/025

Penulis : Arie Toskir

Hariyanto Rachman (Arie Toskir) Seniman asal Tanjung Priok yang berkiprah sejak kecil di Qosidah, tari, teater dan pantomim. Juara 3 Pantomim Nasional di TIM 1988, Belajar teater di sanggar Matahari, pernah kuliah di IKJ Sinematografi tahun 1991 dan kini aktif mengajar di beberapa sekolah di kota nd Kab.Bekasi dan sebagai performer, deklamator, serta pemain film layar Lebar.