DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Yuval Noah Harari: Dua Abad Mendatang, Manusia Akan Musnah Dari Muka Bumi

image
Yuval Noah Harari

ORBITINDONESIA - Yuval Noah Harari dalam buku Homo Deus: Brief History of Tomorrow memprediksi bahwa species Homo Sapiens akan musnah dari muka bumi. Ya betul Homo Sapiens adalah kita, manusia.

Kita manusia akan punah tdk lama lagi. Yuval Noah Harari memprediksi kepunahan manusia dalam waktu paling lama dua abad dari sekarang.

Punah yg dimaksud oleh Yuval Noah Harari dalam Homo Deus itu bukan kepunahan fisik manusia dari muka bumi. Fisik dan mental manusia akan tetap ada, tapi peran otoritatif manusia dalam mengambil keputusan akan punah.

Baca Juga: New Year Gaza 24 B

Baca Juga: Pulangkan Amerika Serikat, Belanda Lolos ke 8 Besar Piala Dunia untuk Hadapi Pemenang Argentina vs Australia

Peran otoritatif manusia sebagai pengambil keputusan baik secara individu atau secara kolektif masyarakat, berbangsa, dan bernegara akan punah.

Manusia tidak akan memiliki lagi otoritas dalam menentukan peran dan nasibnya di masa yang akan datang.

Baca Juga: Survei LSI Denny JA: Elektabilitas PSI yang Dipimpin Kaesang Hanya 1,5 Persen, Gerindra Salip PDI Perjuangan

Manusia tidak akan lagi memiliki kehendak bebas atas dirinya. Manusia akan digerakkan dan diarahkan kehidupannya berdasarkan jejak data yang disebarkan olehnya.

Data yang terinput baik secara sadar ataupun tak sadar dalam interaksi sosial di media digital akan menentukan kehidupan selanjutnya. Manusia akan ditentukan jalan hidupnya oleh algoritma.

Baca Juga: TERBAIK, Inilah Kummpulan Puisi Indah Singkat Hari Ibu Nasional 22 Desember 2022

Baca Juga: Ditemani Erick Thohir, Prabowo Subianto Makan Siang Bersama Pelaku Usaha Muda

Sebelum sampai pada prediksi ini, Harari mengulas sejarah pihak otoritatif dalam diri manusia. Ada dua pihak otoritatif yang menjadi peran sentral dalam sejarah peradaban manusia.

Otoritas pertama yang dijadikan sebagai acuan dalam pengambilan keputusan manusia adalah sesuatu yang terdapat di luar dirinya.

Dalam pengambilan keputusan, manusia pada zaman ini selalu mengacu kepada imajinasi, kitab suci, dan pemuka agama, seperti Paus, Pendeta, dan Khalifah.

Baca Juga: Yasonna H Laoly Dampingi Megawati Soekarnoputri Selama Jadi Juri Jayed Award 2023 di Roma

Mereka semua adalah pemegang otoritatif yang harus dijunjung tinggi dalam pengambilan keputusan manusia. Pihak otoritatif ini selalu jadi rujukan walaupun dalam banyak hal seringkali tidak sejalan dengan apa yang dirasakan oleh nurani manusia.

Baca Juga: SEDIH BANGET, Jalani Melukat, Denise Chariesta Menangis Menyesal Jadi Pelakor, Singgung Soal Anak dari RD

Dikarenakan keputusan yang didasarkan pada pihak otoritatif jenis pertama di atas seringkali tidak mengindahkan perasaan hati nurani manusia, maka timbullah pihak otoritatif jenis kedua.

Baca Juga: Jadi Juri Zayed Award 2024, Megawati Diwawancarai Radio Vatikan

Kalau pihak otoritatif jenis pertama domainnya ada di luar diri manusia, maka otoritatif kedua ini bersumber pada diri manusia.

Manusia pada zaman ini ketika akan mengambil keputusan yang terkait dengan diri personal ataupun secara kolektif tidfak pernah mempertimbangkan sumber sumber di luar dirinya.

Tidak akan mengambil sumber etika, moral, dan estetika dalam menentukan jalan hidupnya dari kitab suci, para pemuka agama, ataupun imajinasi.

Baca Juga: Dugaan Operasi Tangkap Tangan Gubernur Abdul Gani Kasuba, KPK Gelandang 3 Pejabat Maluku Utara ke Jakarta

Baca Juga: Trailer Transformers Rise of the Beasts Tampilkan Sosok Baru Optimus Primal Mirip Optimus Prime

Manusia akan selalu mempertimbangkan kebaikan dan keburukan untuk kehidupannya dari olah pikir hati nurani dan rasional logisnya.

Otoritatif jenis kedua yang selalu mempertimbangkan berdasarkan kepada integritas kemanusiaan maka disebutlah otoritatif yang humanis. Manusia yang mempunyai masalah, maka manusia sendirilah yang harus memecahkannya.

Baca Juga: BMKG: Hujan Lebat Berpotensi Turun di Beberapa Kota

Manusia dengan semua kemampuan yang ada dalam akal, pikir, dan nurani yang tahu jalan terbaik untuk mengatasinya.

Seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi di akhir abad ke dua puluh, maka terjadi pula perubahan yang sangat mendasar dalam interaksi sosial manusia. Hampir seluruh interaksi antar sesama manusia di abad ini meninggalkan jejak digital.

Baca Juga: Cuma 15 Menit, Ini Contoh Naskah Singkat Amanat Pembina Upacara Bendera Hari Senin di SD, SMP, SMA, dan SMK

Baca Juga: Peringati Hari Bela Negara, Ibnu Chuldun: Bersatu dan Berkontribusi untuk Indonesia Maju

Jejak digital yang bisa merekonstruksi profil personal para penggunanya. Personal profiling yang mungkin tidak disadari oleh penggunanya.

Tapi secara akurat personal profiling ini bisa memberikan alternative terbaik ketika sedang mencari pilihan pilihan untuk memenuhi kebutuhannya.

Misal, dia akan diberikan sejumlah pilihan film yang akan ditonton oleh YouTube berdasarkan jenis dan kriteria film yang telah ditonton oleh dia sebelumnya.

Baca Juga: Permohonan Layanan Melonjak, Sandi Andaryadi: Imigrasi DKI Jakarta Harus Bekerja Prima

Jejak personal data dari milyaran orang akan menjadi big data. Big data yang terkumpul dalam raksasa media Google, Facebook, Microsoft, Apple, dst. akan menjadi algoritma untuk menentukan kehidupan manusia di kehidupan yang akan datang.

Baca Juga: Penyebab Kecoak Mati dengan Posisi Telentang

Harari memberikan satu contoh nyata bagaimana big data dapat menentukan kehidupan manusia. Dia menyebutnya big data telah menyelamatkan nyawa Angelina Jolie.

Baca Juga: Denny JA: Puisi Esai Waktunya Masuk Kampus dan Sekolah

Big data menyebutkan jika terjadi mutasi gen BRCA1 dan BRCA2 maka 87 persen akan menyebabkan breast cancer. Walaupun pada saat test DNA kondisi badan Angelina Jolie sehat dan bugar dan perasaannya pada saat itu baik baik saja.

Tapi karena big data menyebutkan potensi terjadinya breast cancer besar, maka nalar dan pikiran sehatnya ditundukkan oleh big data. Maka diapun menjalani mastectomy untuk mencegah kanker payudaranya.

Inilah contoh konkret bagaimana big data bisa mengalahkan nalar sehat manusia. Algoritma mengalahkan perasaan dan akal sehat. (Oleh: Bambang Wijanarko) ***

Berita Terkait