DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Polisi Harus Belajar dari Kasus Perkosaan Sum Kuning yang Penuh Rekayasa untuk Lindungi Pelaku

image
Ilustrasi kasus perkosaan Sum Kuning yang penuh rekayasa oleh polisi era Orde Baru.

ORBITINDONESIA - Kisah Brigadir Nofriansyah Josua Hutabarat bisa jadi mirip-mirip dengan kisah Sumaridjem (Sum Kuning) yang terjadi pada tahun 1970.

Pada 21 September 1970, Sum Kuning (17 tahun) membawa 200 butir telur ayam kampung untuk diasongkan ke para pelanggan di kota Yogyakarta. Karena kemalaman, sudah tidak ada bis ke Godean, Sum terpaksa pulang jalan kaki.

Ketika melintas di Asrama Polisi Patuk, sebuah mobil tiba-tiba berhenti. Sekelompok pemuda turun dan langsung menarik paksa Sum Kuning masuk ke dalam mobil. Mobil segera bergerak dan Sum dibius.

Baca Juga: Usai Kalahkan Chelsea di Liga Primer Inggris, Manchester City Kembali Bantai The Blues di Piala FA

Baca Juga: New Year Gaza 24 B

Dalam kondisi setengah sadar, Sum diperkosa bergiliran oleh 4 pemuda hingga pingsan. Setelah itu, Sum dibuang di tepi jalan di Palem Gurih, Gamping ± 4 km dari tempat penculikan.

Uang hasil dagangan sebesar Rp 4.650,- (setara Rp 700.000,- uang sekarang) pun digondol kabur. Uang ini jerih payah untuk modal jualan esok hari dan nafkah buat keluarganya.

Sum Kuning 4 hari dirawat di rumah sakit karena luka perdarahan kelaminnya. Imam Sutrisno, wartawan Kedaulatan Rakyat, melaporkan ke Polisi Militer, Denpom VII/2. Kasus ini merebak menjadi berita besar.

Baca Juga: Survei LSI Denny JA: Elektabilitas PSI yang Dipimpin Kaesang Hanya 1,5 Persen, Gerindra Salip PDI Perjuangan

Kepolisian Yogyakarta malah memainkan drama "Maling Teriak Maling" karena konon, perkosaan ini dilakukan oleh anak-anak petinggi di Yogyakarta. Ini masuk akal, karena hanya orang terkemuka dan orang kayalah yang memiliki mobil pada masa itu.

Baca Juga: Hari Gerakan Sejuta Pohon 10 Januari, Mengenal Sejarahnya Ternyata Terbentuk sudah 30 Tahun yang Lalu

Keluar dari rumah sakit, Sum langsung ditahan. Ruang geraknya dibatasi. Polisi malah menyiksa Sum dalam tahanan. Polisi mengancam Sum akan disetrum kalau ia tidak mengakui versi lain dari ceritanya.

Baca Juga: Ditemani Erick Thohir, Prabowo Subianto Makan Siang Bersama Pelaku Usaha Muda

Sum bahkan disuruh membuka pakaiannya untuk mencari tanda Palu Arit. Dia dituduh sebagai anggota Gerwani, organisasi perempuan di bawah PKI.

Sum dijadikan Tersangka pencemaran nama baik, dengan tuduhan menyebarkan hoaks. Bayangkan, sudah diperkosa, disiksa, dilecehkan polisi, Sum juga kini jadi Pesakitan
di kursi terdakwa.

Persidangan dilakukan secara tertutup. Bahkan wartawan yang menulis berita peristiwa ini harus berurusan dengan militer.

Baca Juga: Yasonna H Laoly Dampingi Megawati Soekarnoputri Selama Jadi Juri Jayed Award 2023 di Roma

Baca Juga: Piala AFF 2022 : Link Live Streaming Pukul 19.30 WIB, Vietnam Lawan Timnas Indonesia

Ada beberapa skenario yg disiapkan jaksa untuk memutarbalikkan fakta kasus ini. Dalam persidangan dihadirkan seorang penjual bakso yang disangkakan sebagai pelaku pemerkosaan. Yang ini dibantah oleh Sum di pengadilan.

Kontroversi kasus Sum kian merebak setelah muncul versi dari makelar mobil bernama :
Budidono.

Baca Juga: Jadi Juri Zayed Award 2024, Megawati Diwawancarai Radio Vatikan

Ia mengaku sebagai salah satu dari empat pemuda yg memperkosa Sum. Budidono memaparkan fakta mencengangkan bahwa ada keterlibatan anak para petinggi di Yogya.

Budidono, dalam laporan majalah TEMPO edisi 2 Oktober 1971 menjelaskan, orang-orang yang bersamanya adalah : Mur, putra Brigjen Katamso; Angling, putra Paku Alam VIII (Wakil Gubernur Yogyakarta), dan Ismet. Namun Paku Alam VIII membantahnya.

Baca Juga: 10 Ucapan Terbaik Memperingati Hari Gerakan Sejuta Pohon Tahun 2023, Cocok Buat Caption di Media Sosial

Baca Juga: Dugaan Operasi Tangkap Tangan Gubernur Abdul Gani Kasuba, KPK Gelandang 3 Pejabat Maluku Utara ke Jakarta

Sum dituntut oleh jaksa telah memberi keterangan palsu dengan sanksi tiga bulan penjara. Tapi akhirnya Sum diselamatkan Hakim Ketua Pengadilan Negeri Yogyakarta Ny Lamjiah Moeljarto.

Dengan berani Lamjiah membebaskan Sum dari tuntutan jaksa. Tak ada bukti Sum membuat kesaksian palsu.

Kasus pemerkosaan Sum Kuning yg tidak kunjung ada kejelasan membuat KAPOLRI Hoegeng Imam Santoso (1968-1971) turun tangan.

Baca Juga: BMKG: Hujan Lebat Berpotensi Turun di Beberapa Kota

Polisi jujur itu menjadikan kasus Sum Kuning sebagai ajang pembuktiannya sebagai Kapolri yang tak pandang bulu.

Hoegeng meyakini, muara kasus Sum Kuning ada pada versi yg menyebut keterlibatan anak-anak pejabat, bukan versi polisi Yogyakarta yang menyebut pemerkosa adalah orang-orang biasa.

Baca Juga: Dr Usmar: Para Capres Itu dan Trah Soekarno

Baca Juga: Peringati Hari Bela Negara, Ibnu Chuldun: Bersatu dan Berkontribusi untuk Indonesia Maju

Hoegeng segera meminta pertanggunjawaban Kepolisian Yogyakarta. Awal januari 1971, Hoegeng memerintahkan pembentukan Tim untuk menangani kasus Sum Kuning.

"Perlu diketahui bahwa kita tidak gentar menghadapi orang² gede siapa pun. Kita hanya takut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jadi, walaupun keluarga sendiri kalau salah tetap kita tindak. Geraklah, the sooner the better", ungkap Hoegeng

Hoegeng menceritakan perkembangan kasusnya kepada Presiden. Saat itu Soeharto tidak begitu tertarik dengan kasus Sum Kuning.

Baca Juga: Permohonan Layanan Melonjak, Sandi Andaryadi: Imigrasi DKI Jakarta Harus Bekerja Prima

Soeharto malah menginstruksikan agar kasus Sum Kuning ditangani oleh Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (KOPKAMTIB). Sikap Soeharto ini dinilai janggal, karena kasus Sum Kuning adalah perkara kriminal biasa.

Baca Juga: Pria di Ogan Komering Ulu Sumatra Selatan Ditangkap Polisi atas Dugaan Perkosa Putrinya Sampai Melahirkan

Sebelum kasus Sum Kuning terungkap, pada 2 Oktober 1971, Hoegeng diberhentikan sebagai KAPOLRI.

Baca Juga: Denny JA: Puisi Esai Waktunya Masuk Kampus dan Sekolah

Hampir dua tahun setelah pemerkosaan terhadap Sumaridjem, polisi menetapkan 10 orang sebagai tersangka. Orang-orang yang diduga sebagai pelaku tersebut ada yg berprofesi sebagai Tukang Sate dan kebanyakan adalah mahasiswa.

Dalam pemeriksaan, mereka juga mangkir dari panggilan kejaksaan karena tidak mengakui tuduhan dari kepolisian. Selanjutnya, 7 dari 10 pemuda yg dijadikan tersangka dinyatakan bersalah dan menjadi terdakwa.

Perkembangan selanjutnya, hanya dua orang yang ditetapkan sebagai pelaku dan masing² dijatuhi hukuman 4½ tahun. Itulah penggal kelam sejarah POLRI 51 tahun silam.

Baca Juga: Kepala Kanwil Kemenkumham DKI Jakarta Ibnu Chuldun Resmikan Laboratorium Peradilan Pidana Universitas Yarsi

Baca Juga: Mengerikan, Jang Uk Membakar Habis Jin Mu dan Antek Anteknya di Alchemy of Souls 2 Episode 10

Bagaimana POLRI sekarang ? Kita bisa cermati dari penanganan kasus Pembunuhan Brigadir Joshua.

Keterangan para pihak berubah ubah. Skenario motif pembunuhan juga berubah ubah. Kita juga tidak tau, FS leluasa mengatur skenario dari tahanannya apa tidak. Hasil otopsi ulang yg tidak dipublikasikan juga menambah kecurigaan masyarakat.

Baca Juga: Pembunuh Petugas Imigrasi Tri Fattah Firdaus Jadi Tersangka, Sandi Andaryadi: Kami Apresiasi Polda Metro Jaya

Perlakuan pada tersangka PC juga sangat istimewa: Tersangka tidak ditahan. Berbeda dengan para tersangka wanita lainnya yang sedang punya bayi. Tersangka tidak memakai rompi oranye, malah mengenakan kemeja & tas super mahal.

Apakah kasus Pembunuhan Brigadir J akan berakhir seperti kasus Sum kuning ½ abad yg lalu???

Baca Juga: Survei Voxpopuli Research Center: Elektabilitas Golkar Melorot, PDIP Masih Tertinggi

Baca Juga: Warga Negara Asing Asal Korea Selatan Jadi Tersangka Pembunuhan Petugas Imigrasi Tri Fattah Firdaus

Presiden Jokowi dengan tegas mengarahkan : "Kasus Pembunuhan Brigadir Joshua ini harus diusut TUNTAS secara TRANSPARAN."

Itu semua demi menegakkan keadilan dan memperbaiki citra POLRI di masyarakat yg sudah mencapai titik nadir.

Mari kita cermati bersama, apakah KAPOLRI punya nyali seperti pak Hoegeng apa tidak. ***

Berita Terkait