DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Terima Kasih Tuhan, Jakarta Kembali ke Pribumi

image
Anies Baswedan memainkan politik identitas dengan isu pribumi

ORBITINDONESIA - Persis seperti ucapan Anies Baswedan ketika memenangi Pilgub DKI Jakarta, 16 Oktober 2017 - lima tahun lalu, yang menyebut "Jakarta kembali ke pribumi", maka, Minggu, 16 Oktober 2022, kemarin, pun kita lega karena DKI Jakarta telah kembali ke pangkuan pribumi, yaitu Drs. Heru Budi Hartono, S.E., M.M, pejabat sementara yang ditunjuk oleh Presiden Ir.Joko Widodo.

Kali ini DKI Jakarta dipimpin pribumi yang sesungguhnya. Bukan pribumi turunan Arab - Yaman (Hadramaut) seperti Anies Rasyid Baswedan.

Setelah pernyataannya menjadi heboh - di awal jabatannya - lima tahun lalu - Anies Rasyid, cucu AR Baswedan, Pendiri Partai Arab Indonesia (PAI, 1934), sempat berkelit dan menjelaskan bahwa kata "pribumi" yang dia sampaikan dalam pidato politiknya, Senin (16/10/2017) malam itu, terkait dengan masa penjajahan Belanda di Indonesia, termasuk Jakarta. Dia tidak merujuk penggunaan kata tersebut di era sekarang.

Baca Juga: Irjen Teddy Minahasa Akhirnya Buka Suara, Begini Katanya...

Anies menceritakan setiap sudut di Jakarta menyimpan sejarah, sejak era Sunda Kelapa, Jayakarta, Batavia, hingga Jakarta yang merupakan kisah pergerakan peradaban manusia, katanya.

Jakarta adalah kota yang paling merasakan penjajahan Belanda di Indonesia. Sebab, penjajahan itu terjadi di Ibu Kota.

"Yang lihat Belanda jarak dekat siapa? Jakarta. Coba kita di pelosok-pelosok itu, tahu ada Belanda, tapi lihat depan mata? Enggak. Yang lihat depan mata itu kita yang di kota Jakarta," kata Anies.

“Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan (dijajah). Kini telah merdeka, saatnya kita menjadi tuan rumah di negeri sendiri," ujar Anies, Senin malam itu.

Baca Juga: Tukul Arwana Tersenyum Bahagia Saat Ulang Tahun ke-59, Anak Genggam Tangan Sang Super Hero

Tapi - apa konteks cerita masa penjajah dengan kondisi Jakarta hari ini?

Kita sama sama tahu - itu bagian dari permainan katanya, untuk menegaskan sebagai pembeda, dia dengan gubernur sebelumnya, karena di DKI Jakarta dia baru menggantikan Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok, yang notabene Gubernur berdarah Tionghoa, penganut Kristen yang kerap disebut “non-Pribumi”.

Sedangkan Anies Baswedan, yang karena beragama Islam, meski keturunan Arab Yaman - merasa diri “pribumi”.

SECARA OBYEKTIF, dikotomi “pribumi dan non pribumi” tidak relevan dan tidak produktif di negara bangsa yang modern seperti Indonesia.

Baca Juga: Bharada E : Saya Hanya Anggota yang Tidak Mampu Tolak Perintah Jenderal

Penerimaan warga Jakarta pada Ahok BTP sebagai wakil gubernur di era Jokowi dan Gubernur bersama wakilnya, Djarot Saiful Hidayat, merupakan bukti warga ibukota tak bermasalah dengan Ahok BTP. Dengan "non Pri"

Terlebih lagi, sejarah masa lalu Nusantara kita juga “melting plot” kaum pendatang dari seluruh benua. Corak busana pengantin Betawi di Jakarta menunjukkan campuran budaya Arab dan China yang menyatu dengan indah.

Akan tetapi di kalangan tertentu, di masa tertentu, ada yang gemar dan terus mengeksploitasi dikotomi "pribumi" non "pribumi", untuk kepentingan politik.

Antara lain justru oleh Anies Rasyid Baswedan dan pendukungnya. Selain dikotomi “Islam” dan “Non Islam”. “Muslim” dan “Kafir”. “Kampret” dan “Cebong”. "Asli" dan "Pendatang" - dll.

Baca Juga: Manajemen Arema FC Punya Permintaan Khusus Kepada Presiden Jokowi, Ini Dia...

Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Sumarsono mengingatkan, ada Undang-undang dan Instruksi Presiden yang melarang penggunaan kata "pribumi" dan "keturunan". Aturan itu untuk semua warga dan pejabat negara.

"Semua pejabat negara dan kita warga bangsa, hindari pakai istilah pribumi, itu UU No 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis," ujar Sumarsono, Selasa (17/10/2017). Dalam hal ini, Anies Baswedan mengabaikannya.

MENATA KATA adalah kepiawaian Anies Baswedan selama mengelola Jakarta, Oktober 2017-Oktober 2022. Dia sangat populer dengan predikat ini.

Tak ada gagasan orisinal ( “genuine” ) dan monumental dari peninggalannya, yang layak dibanggakan - selain mengubah bermacam istilah dan mangacaukannya.

Baca Juga: Bharada E di Persidangan, Ikuti Perintah Ferdy Sambo untuk Mengisi Peluru dan Mengokang Senjata

Misalnya, mengganti “rumah sakit” menjadi “rumah sehat”, “menggusur” menjadi “menggeser”, “rumah susun” menjadi “rumah lapis”, “normalisasi sungai" menjadi “naturalisasi”, “hari ulang tahun” (HUT) menjadi “hajatan” dan banyak lagi.

Dia juga mengganti nama jalan, yang mengacaukan administrasi kelurahan, merepotkan petugas pos dan ekspedisi – dan banyak lagi.

Dia menjadikan taman sebagai “parkir air” dan menolak pipa untuk mengirim banjir ke laut, karena sesuai “Sunatullah” air masuk ke bumi, bukan ke laut. Terakhir menyebut, hujan deras yang mengakibatkan banjir di ibukota karena “air turun bersamaan”.

Selain sengaja menegaskan kehadirannya sebagai pihak “pribumi”, dia menyebut “Fir'aun” dan “benda mati” untuk berkonfrontasi dengan gelora pembangunan infrastruktur Jokowi. “Kalau sekedar membangun kota megah, Firaun juga bisa” katanya.

Baca Juga: Berbeda dengan Ferdy Sambo, Richard Eliezer Tak Ajukan Eksepsi

Nyatanya yang dia pamerkan sebagai keberhasilan lima tahun kepemimpinannya di ibukota adalah infrastruktur – nota bene “barang mati” sebagai lawan bagi sebutan gagasan, pembanguna manusia, akhlak, yang dibanggakannya .

“Barang mati” yang dibanggakannya antara lain; jalur sepeda, trotoar lebar di jalan protokol, gedung JIS (Jakarta International Stadion), renovasi TIM, revitalisasi Kota Tua, rumah susun, dll, yang menurut istilahnya adalah ‘barang mati’.

Ikhwal stadion Jakarta International Stadium (JIS) yang dirancang untuk skala internasional, tapi tak memenuhi standar FIFA, sebenarnya merupakan gagasan era Gubernur Fauzi Bowo.

Eksekusi yang serampangan membuat JIS tak lolos FIFA. Bahkan tidak menjadi markas Persija – klub atas nama kota Jakarta, melainkan untuk kegiatan keagamaan dan politik kubu pro Anies.

Baca Juga: Jaksa Sebut Eliezer Sempat Berdoa Sebelum Tembak Brigadir Yosua

Sebelumnya diberi nama JIS, stadion di Jakarta Utara itu bernama BMW. Dicanangkan pembangunannya semasa Gubernur Jokowi, dilanjutkan Basuki Ahok dan Djarot, lalu dieksekusi serampangan oleh Anies, dengan anggaran dari Pemerintah Pusat hingga Rp4,6 triliun.

Meski megah dan berkilau, JIS tak memenuhi standar FIFA. “Yang penting JIS memenuhi standar MUI, “ seloroh pengecamnya.

Bukan rahasia lagi, sejak berkuasa di Balaikota di Jl. Merdeka Selatan dia sudah membidik Istana Negara yang berlokasi di Jl. Merdeka Utara, dan dengan sengaja berkonfrontasi dengan program presiden yang sedang berkuasa, yang kondang dengan semboyan “Kerja, Kerja dan kerja”.

Tak sungkan, Anies menyatakan sebaliknya.

Baca Juga: Meja Pengaduan Era Ahok Kembali Dihidupkan, Tujuh Aduan Warga Langsung Masuk

"Kita dalam bekerja nggak cukup hanya kerja, kerja, kerja saja. Nggak cukup. Harus ada gagasan dulu. Dari gagasan, lalu ada kata-kata, harus ada narasi. Karena, kalau ada gagasan tanpa ada narasi, dia akan di awang-awang," kata Anies dalam sambutannya pada Rakornas Perkumpulan Ahli dan Dosen Republik Indonesia di Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Senin (27/8/2018).

MANIPULASI adalah kebisa’an lain dari Anies Baswedan selaku politisi, setelah diberhentikan sebagai menteri kabinet Jokowi. Bahkan menyangkut sejarah perjalanan bangsa kita.

Dalam video berisi ceramah Anies Baswedan di markas Front Pembela Islam (FPI) Petamburan, Jakarta, pada 1 Januari 2017 lalu, Anies mengatakan bahwa sejarah pergerakan nasional Indonesia dimulai dari pendirian Partai Arab Indonesia (PAI) pada tahun 1934.

Kakek Anies – Abdurrahman Baswedan atau yang lebih dikenal dengan nama AR Baswedan (1908-1986) – merupakan sosok utama yang menggagas pendirian partai tersebut.

Baca Juga: Ditata dengan Anggaran Lebih dari Rp1 Triliun, Taman Mini Indonesia Indah Kian Mentereng Namun Tetap Merakyat

Media yang peduli sejarah nasional pun kemudian meluruskan. Apa yang dikatakan Anies Baswedan bertentangan dengan fakta sejarah yang sesungguhnya.

Sebab, dua tahun sebelum berdiri Partai Arab Indonesia (PAI), sudah ada Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang diprakarsai duo Liem Koen Hian dan Ko Kwat Tiong - di Surabaya pada 25 September 1932.

PTI menjadi wadah bagi etnis Tionghoa untuk ikut dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia – sebelum ada partai Arab.

Anies nampaknya juga menutupi fakta sejarah bahwa kakeknya, A.R. Baswedan di masa muda mengenal dunia tulis-menulis dan menjadi wartawan di media “Sin Tit Po”, berkat Liem Koen Hian, Pemimpin Redaksi yang berdarah Tionghoa.

Baca Juga: Aksi Mulia Sadio Mane Berujung Socrates Award di Ballon d’Or 2022

“Sin Tit Po” adalah koran berbahasa Melayu yang pro-gerakan Kemerdekaan Indonesia.

Jelas bahwa partai politik dengan nama “Indonesia” itu sudah ada sebelum berdiri Partai Arab Indonesia.

Enam tahun sebelumnya, pada 28 Oktober 1928 sudah ada "Sumpah Pemoeda" yang kita peringati hingga hari ini - yang tegas menyebut tekad, "berbahasa, berbangsa dan bertanah air satu Indonesia".

Bahkan pada 23 Mei 1914, sudah dibentuk Partai Komunis Indonesia (PKI) yaitu 18 tahun sebelum adanya PAI dan 31 tahun sebelum RepubIik Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta.

Baca Juga: Francesco Bagnaia Menolak Stres Hadapi MotoGP Malaysia

Sebagai alumni Univ Gajah Mada, mantan Rektor Univ. Paramadina, pemilik gelar S.E., M.P.P., dan Ph.D di belakangnya, yang didapat dari Chicago, Amerika Serikat, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, menyampaikan data dan obyektifitas sangat penting.

Faktanya, Anies Baswedan cenderung memanipulasinya, demi ambisi politik. Dan untuk kesalahan fatal itu, dia tak pernah meralatnya.

Maka, menulis risalah di akhir kisah Anies Baswedan, di DKI Jakarta, saya mengutip pidatonya di tahun 2017 lalu, yang masih relevan di tahun 2022 ini dengan pepatah Madura pilihannya:

Baca Juga: Inilah Fungsi Meja Pengaduan Era Ahok yang Kembali Dihidupkan Oleh Heru Budi Hartono

“Itik se’a telor, ayam se’ a ngeremi;
itik yang bertelor, ayam yang mengerami.
Kita yang bekerja keras untuk merebut kemerdekaan,
kita yang bekerja keras mengusir kolonialisme.
Kita semua harus merasakan manfaat kemerdekaan di ibukota ini

Terima kasih, Tuhan. DKI Jakarta telah kembali ke pribumi

(Oleh: Supriyanto Martosuwito)

Berita Terkait